Chapter 6

1364 Words
Bram tidak bisa menolak ajakan Risa dan Vani untuk makan malam bersama. Kebetulan juga dirinya belum makan dan sejak tadi hanya mengitari sepanjang jalan Malioboro dengan rasa bimbang. Ia datang kemari hanya untuk menghabiskan waktunya. Sebenarnya ia berniat bertemu dengan teman jurusannya yang secara kebetulan tengah berada di Jogja. Hanya saja tadi temannya mengabari secara mendadak bahwa ia tidak bisa datang karena ada urusan yang harus diselesaikan. Temannya itu memberi kabar satu jam sebelum Bram berangkat. Meski janji bertemunya batal, Bram tetap memilih untuk menuju Malioboro untuk menghabiskan waktu. Siapa sangka ia justru bertemu dengan Vani disini. "Kenapa sendiri aja?" tanya Risa penasaran. Bram pun mendongak dan tersenyum. "Iya, Kak. Tadinya mau ketemu temen tapi dia mendadak enggak bisa." "Temen?" tanya Risa seolah membutuhkan kejelasan. "Iya. Temen sejurusan. Namanya Anto," ujar Bram sejelas-jelasnya. Seolah sangat memahami maksud dari pertanyaan Risa yang terakhir. "O.." Setelah itu pelayan pun datang membawakan makanan pesanan mereka. Tiga mangkuk mie ayam spesial khas Jogja. Dengan keadaan disini yang begitu ramai pengunjung, mereka pun memilih tempat ini sebagai tempat makan setelah menanti beberapa menit untuk mendapatkan meja. Semua tempat begitu penuh dan rata-rata para pengujung seolah enggan untuk meninggalkan tempat duduk mereka. "Kayaknya enak," gumam Vani menatap makanan yang kini tersaji di hadapannya. "Ayuk makan," ajak Risa. Mereka pun menikmati makanan dalam keheningan. Sebenarnya bila hanya Risa dan Vani saja, maka mereka pasti akan makan seraya berbincang. Hanya saja dengan kehadiran Bram, keduanya seolah sepakat untuk menikmati makanan dengan keheningan penuh. Bram juga terdiam karena fokus untuk menikmati makanannya. "Ini enak banget," ucap Bram setelah beberapa saat. "Iya sumpah enak banget." Risa ikut berkomentar. Vani menganggukkan kepalanya merasa setuju. Sepertinya ia harus memesan beberapa porsi untuk dibawa pulang. Mama dan Papanya harus merasakan menu ini. ---------- Bram bangkit dari tempat duduknya. "Aku yang bayar ya." Vani dan Risa pun bersiap untuk mengeluarkan dompetnya dan menitip sejumlah uang kepada Bram agar lelaki yang membayarkannya ke kasir.. Pasalnya pembayaran di kasir tengah mengantri dan sepertinya akan jauh lebih baik apabila cukup satu orang di antara mereka yang menhampiri kasir. "Minta tolong sekalian bayarin punyaku sama Risa ya, Bram. Ini uangnya," Vani menyodorkan dua lembar uang tunai berwarna merah kepada Bram. Begitu juga dengan Risa. Risa pun menatap Vani dan akhirnya mengurungkan niatnya untuk memberikan uang. Vani sudah berniat mentraktirnya dan ia malas berdebat dengan Vani perihal pembayaran. Bram menatap tangan Vani dan Risa. "Nggak papa. Biar aku yang traktir." Vani pun terkejut "Eh. Nggak papa, Bram. Ini nitip bayar. Jangan kamu yang bayarin semua." Pasalnya Vani benar-benar memesan menu tersebut untuk dibungkus. Tidak tanggung-tanggung, gadis itu memesan lima bungkus. Ia menyukai menu ini jadi berpikir untuk menikmatinya lagi di villa. Ia memesan untuk dirinya, Risa, dan orang tuanya. Satu bungkus lagi untuk simpanan siapa tau ia ingin menikmati dua porsi. Bram pun hanya tersenyum dan menatap Vani. "Nggak papa. Aku traktir." Lelaki itu kemudian melangkah pergi menuju kasir. Vani yang masih dalam posisi duduk pun hendak bangkit untuk menyusul lelaki itu. Akan tetapi Risa mencegahnya dengan cepat. "Udah biarin aja, Van." "Tapi kan nggak enak, Sa." "Kalo kamu nolak, dia juga makin keukeuh mau traktir. Daripada debatin itu sampe ya udah biarin aja. Nanti kapan-kapan kamu yang gantian traktir dia." Vani terdiam kemudian menganggukkan kepalanya. Ia setuju dengan saran Risa. Itu artinya ia memiliki hutang untuk mentraktir Bram di lain waktu. Setelah Bram menyelesaikan pembayaran dirinya pun menghampiri Vani seraya membawa plastik berisi makanan yang Vani pesan untuk dibungkus. "Makasih ya, Bram. Kapan-kapan aku yang traktir." Bram tersenyum menatap Vani. Ia pasti akan terus mengingat hal itu "Ditunggu ya," ucap Bram. Bram akan menantikan saat itu. Saat dimana Vani menepati janjinya untuk mentraktir Bram. Dirinya berharap bisa melakukan hal itu bersama Vani hanya berdua saja nantinya. Vani menganggukkan kepalanya. Risa tersenyum menatap dua orang itu yang kini tengah berpandangan. Dirinya tidak ingin menyela kegiatan saling pandang mereka. Hanya saja ia memang perlu berbicara. "Makasih banyak ya, Bram." Bram kemudian menatap ke arah Risa dan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Iya sama-sama, Kak." "Abis ini kamu mau kemana?" tanya Risa. "Mau balik, Kak." "O langsung pulang. Kita juga langsung pulang kan ya, Van?" tanya Risa. Vani pun menganggukkan kepalanya. Mereka telah sepakat datang kemari hanya untuk menuruti keinginan Vani dan Risa. Vani ingin melangkah di trotoar jalan Malioboro untuk merasakan hangatnya malam Jogja. Sementara tujuan utama Risa adalah untuk berfoto sepuas mungkin di papan tulisan jalan Malioboro. Tujuan keduanya telah terpenuhi dan menikmati kuliner adalah penutup yang manis. "Kalian kesini naik apa? Mau aku anter?" tanya Bram. "Kami bawa mobil, Bram. Nggak papa kok." Bram pun membulatkan mulutnya membentuk huruf O. "Oke deh," ujarnya. Vani kemudian menatap makanan pesanannya yang masih berada di genggaman tangan Bram. "Makanannya, Bram." Bram pun baru tersadar kemudian menyerahkan barang itu kepada Vani. "Oh iya, maaf." "Makasih ya," ujar Vani. ------------- "Jodoh banget ya, Van? Bisa-bisanya ketemu Bram disana." "Kebetulan aja, Sa." "Yakin cuma kebetulan?" ledek Risa. Vani pun memilih untuk diam saja dan kembali fokus menyetir. "Itu nanti makanannya dingin nggak ya pas sampe villa?" tanya Risa pada diri sendiri. "Dipanasin lagi aja kalo dingin." "Oke deh." Risa kemudian mulai memainkan ponselnya selama di perjalanan. "Oh iya. Kameranya mati, ya?" tanya Risa. "Iya tadi kehabisan baterai." "Baru aja mau ngeliat-ngeliat foto tadi." "Nanti aja, Sa." "Oke, Bu Bos." Risa kemudian teringat sesuatu. "Oh iya si Bram belum dapet foto-fotonya berarti ya?" "Iya belum." "Ada foto dia. Nanti dikirimin aja, Van." Tadi kamera itu sempat memotret Bram yang berpose sendirian di depan papan jalan Malioboro. Hal itu pun terjadi atas paksaan Risa. Risa memaksa Bram untuk berfoto sendirian sebagai ucapan terima kasih Risa karena Bram telah membantu memotretkan Risa dan Vani. Alhasil terdapat banyak foto Bram di kamera Vani. Foto itu hasil jepretan Risa. Sementara itu Bram belum menerima file fotonya dan mereka telah berpisah. "Iya, nanti dikirimin." ------------------ Angel menghela napasnya ketika ia melihat ponselnya menyala di atas meja. Itu telepon masuk dari Bram. Dirinya akan berangkat menuju toko Bram pagi ini. Ia telah siap dan hanya tinggal mengambil ponselnya dari atas nakas lalu setelah itu dirinya bisa keluar kamar dan berangkat menuju tempat tujuan. Dirinya belum sarapan dan berniat untuk sarapan di toko saja nanti. Ia bisa memesan makanan jadi akan lebih baik untuk sekarang dirinya langsung berangkat. Mengabaikan telepon yang masuk ke ponselnya, gadis itu pun meraih ponsel dan hanya menggenggamnya seraya melangkah keluar kamar. Dirinya menuruni tangga dari lantai dua menuju lantai satu. Panggilan masuk dari Bram terus saja berlangsung bahkan hingga Angel telah mencapai anak tangga terakhir. Ia mengetahuinya karena melirik layar ponsel seraya menggenggam benda pipih itu. Begitu dirinya tiba di depan pintu, ia mendapatkan pesan masuk dari Bram. Langkah kakinya pun terhenti untuk menekuri layar ponsel. From : Brambang angkat Lalu segera setelah membaca pesan tersebut, panggilan masuk kembali muncul dari lelaki itu. Angel pun menghela napasnya kemudian mengangkat panggilan masuk tersebut. Sepertinya sudah cukup untuk mengabaikan Bram setelah dirinya mengabaikan lelaki itu sejak kemarin. "Halo." "Halo, My Angel. Serem banget sih dari kemarin ngambek." Angel kembali menghela napasnya. "Kenapa?" "Jutek banget, dong." "Buru, Brambang! Ada apa?" tanya Angel lagi. "Lo dimana?" "Mau otw ke toko lo." "Posisi lo dimana, Angel?" "Udah mau berangkat ini." "Seriusan? Lo dimana? Gue jemput ini." "Nggak usah menghayal deh, Bram. Lo masih di Jogja." "Lo di rumah?" tanya Bram. "Iya. Seriusan ngapain nelpon?" "Buka pintu, deh." "Seriusan lo nelpon ngapain?" "Iya seriusan. Buka pintu deh." Angel pun berdecak sebal kemudian menatap pintu di hadapannya. Ia jadi heran sendiri mengapa dirinya menghentikan langkah untuk menerima telepon dari Bram. Padahal ia bisa melakukannya seraya melangkah keluar dari rumah menuju mobilnya. Begitu membuka pintunya, Angel langsung disambut oleh buket bunga mawar besar. "OMG!" pekiknya langsung memegang d**a karena terkejut. Buket mawar merah itu terpampang nyata di hadapan wajahnya. Ia kemudian menatap ke bawah dan menemukan sepasang kaki yang berdiri beberapa jarak di hadapan kakinya. Jelas dibalik buket bunga besar itu ada seseorang. "Siapa?" tanya Angel. "Morning, My Angel." Buket mawar besar itu kemudian dikesampingkan dan terlihatlah wajah lelaki yang tadi tertutupi. Angel pun membulatkan matanya karena merasa terkejut. "Brambang! Kok lo disini!" Bram yang berada di hadapan Angel pun tersenyum semanis mungkin. "Surpriseee!!!" ujarnya dengan semangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD