Siang ini Bu Rose menelepon, Beliau berniat mengajak Davin jalan-jalan. Beliau berkata akan datang menjemput selepas sholat Dzuhur.
“Dave sayang mau ikut oma jalan-jalan?” tanya Bu Rose sewaktu melakukan panggilan video dengan cucunya.
“Kita mau kemana, Oma?”
“Kemanapun yang Dave suka."
“Tapi bunda ikut juga kan oma?” tanya bocah kecil itu sembari mengunyah camilannya.
“Hah. Bunda?” Aku salah tingkah mendengar pertanyaan Bu Rose. Aku tahu beliau pasti terkejut saat mendengar panggilan Dave untukku.
“Iya. Bunda Melati, " jawabnya santai sembari menjelaskan siapa yang ia maksud dengan sebutan Bunda.
“Oh. Tentu saja sayang."
“Terima kasih oma."
“Oke, kamu ajak Dave bersiap. Lepas dzuhur kami datang."
“Baik, Bu."
Panggilan itu pun diakhirinya.
Setelah adzan Zuhur berkumandang, kuajak Davin bersiap-siap. Kuajak ia ikut menunaikan kewajiban. Sambil mengajarkannya ibadah yang paling utama. “Dave sayang, sebelum kita jalan-jalan sama oma. Kita sholat dulu yuk."
“Sholat itu apa, Bunda?”
“Sholat itu ibadah yang jadi kewajiban kita sayang. Seorang yang muslim harus mau mengerjakan sholat supaya mendapatkan kasih sayang Allah. Sholat adalah cara kita berhubungan langsung dengan Allah.”
“Gimana caranya, Bunda?”
“Mau Bunda ajarin?”
“Hu um," ucapnya menganggukkan kepala.
“Yuk bunda ajari wudhu dulu, Sayang."
“Wudhu? apa lagi itu?”
“Wudhu itu artinya kita membersihkan diri dengan air dari hadats kecil. Sebelum kita melaksanakan ibadah, Sayang," jelasku secara perlahan.
Aku sangat yakin Davin anak yang cerdas. Tak perlu berlama-lama ia akan cepat paham apa yang diajarkan untuknya.
“Dave mau belajar, Bun," ucapnya antusias.
“Oke, yuk."
Kugandeng tangannya melangkah menuju kamar mandi. Mengajarkannya beberapa hal dasar yang memang ia tidak tahu sama sekali.
Usai kuajarkan wudhu, kupakaikan pakaian untuk sholat.
Dia pun mengikuti setiap gerakanku dengan sangat antusias.
Usai kami melaksanakan kewajiban, mobil jemputan dari Bu Rose telah datang.
Beliau menghampiri kami ke dalam kamar. Persiapan yang kami lakukan tinggal sedikit saja.
Setelah semua siap, Bu Rose menggandeng tangan Dave menuju mobil.
Kami bertiga duduk di jok belakang, sementara ada seorang sopir yang mengemudikan mobil ini.
Baru kali ini aku diajak berjalan-jalan selama di Kota. Kunikmati keindahan Ibu Kota sambil mengajak Dave bercerita apa saja.
Aku memang harus banyak belajar agar bisa menjawab semua pertanyaan darinya yang serba ingin tahu.
Kulirik Bu Rose hanya tersenyum menanggapi interaksi kami berdua.
***
Kami sampai pada sebuah tempat wahana permainan anak-anak. Kami berjalan masuk ke dalam sebuah bangunan yang berisi banyak permainan. Sambil menunggui Dave bermain, aku bercengkerama dengan Bu Rose.
“Bagaimana keadaan kamu, Nak?”
“Alhamdulillah sangat sehat, Bu."
“Syukurlah. Aku melihat Dave begitu menyukaimu.”
“Alhamdulillah, Bu. Dave sangat patuh dan mudah belajar. Baru beberapa hari bersama tapi entah kenapa saya sudah merasa sangat menyayanginya. Dia hanya terlihat seperti anak yang kesepian dan butuh teman," jelasku panjang lebar.
“Dari dulu aku sudah berkata pada Raja untuk menitipkannya di rumah saat ditinggal bekerja. Tapi anak itu keras kepala dengan tetap membawa Dave.”
“Lalu bagaimana pendapatmu soal Raja?” sambungnya
“Maksud ibu pendapat dalam hal apa?” Aku bertanya heran. Bingung dengan maksud pertanyaan beliau.
“Lupakan." Beliau berkata sambil tersenyum.
Aku hanya menatapnya bingung.
Usai Dave puas bermain, kami mencari mushola di sekitar area bermain, untuk melaksanakan sholat ashar. Kemudian kami makan di sebuah warung lesehan. Ternyata walaupun orang kaya, Ibu Rose menyukai makanan-makanan sederhana.
Puas bermain., perut pun kenyang, kami memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah kulihat sebuah mobil mewah putih terparkir di halaman bersebelahan dengan mobil milik ayah Dave.
“Assalamualaikum," ucap kami bersamaan.
“Kalian dari mana saja?” tanya ayah Dave tanpa menjawab salam kami.
“Mama hanya mengajak Dave jalan-jalan sebentar."
“Halo tante apa kabar?” tanya seorang wanita yang sedari tadi di rumah bersama ayah Dave.
“Alhamdulillah baik, Nak. Kamu Diana, anak pak Ridwan ya?” tanya Bu Rose dengan menunjuk gadis di depannya, sepertinya mencoba mengingat sesuatu.
“iya, Tante. Ternyata tante masih ingat aku. Kupikir lupa, Tan.”
“Ya nggak dong, Sayang. Sudah lama sekali nih ya kita nggak ketemu. Apa kabar, Nak? Kabar ayah ibumu bagaimana?” keduanya kemudian salin bertukar ciuman pipi.
“Syukurlah mereka berdua sehat, Tante."
Kusaksikan interaksi mereka berdua. Tiba-tiba wanita itu melihat ke arahku dan Dave.
“Halo, Dave. Kamu sudah terlihat besar rupanya. Sini yuk sama tante." Dave tak menanggapinya. Tatapannya menatap gadis bernama Diana itu datar.
“Dan ini siapa, Tan?” Gadis itu menunjuk padaku dengan tatapan tak suka.
“Dia Melati, pengasuh baru Dave.”
“Oh ku pikir ibu baru Dave. Syukurlah kalau hanya pengasuh. Karena nggak mungkin Raja nikah sama perempuan kampungan kaya gini," cibirnya dengan tatapan sinis.
Aku diam tak menanggapi ucapannya. Karena aku pikir tak ada gunanya juga menanggapi wanita seperti ini, lagipula bisa jadi Bu Rose juga berpikiran yang sama dengannya.
“jangan bicara macam-macam soal Bundaku ya tante jelek." Ucap Dave tak terima.
Aku sedikit tercengang dengan ucapannya. Sekaligus merasa tak enak.
Kulihat raut wajahnya seketika berubah. Mungkin karena kata jelek yang diucapkan Dave.
Bu Rose dan Ayah Dave pun terlihat menahan tawa mereka.
“Sayang, tante cuma bercanda. Kenapa Dave marah?” ucapnya dengan merubah intonasi menjadi lebih lembut.
“Ayo bunda kita naik ke kamar Dave. Dave nggak mau lihat muka tante jelek ini." Dengan cepat Dave menarik tanganku.
Aku mengikuti langkahnya.
Sewaktu berjalan dengan Dave kudengar sayup dia berkata.
“Tante kenapa Dave bisa ngomong kaya gitu?”
“Jangan dimasukkan ke hati, Diana. Dave hanya anak kecil," ucap Bu Rose membela. “Dan lagi tadi kamu yang menghina pengasuh tersayangnya lebih dulu." Wanita bernama Diana tak menjawab ucapan Bu Rose.
“Raja, mama pamit pulang." Suara wanita anggun itu masih terdengar dari runguku. "Kamu mampirlah ke rumah tante, Diana."
“Iya tante," ucapnya dengan masih sedikit kesal.
Di kamar pun Dave terlihat sangat kesal. Kupeluk tubuh mungilnya. “Dave kenapa, Sayang?”
“Dave kesel sama tante jelek itu. Dia berani jahat sama Bunda," ucapnya meluapkan kekesalannya.
“Sayang, sekesal apa pun kita, kita tetap harus berbicara sopan dengan orang yang lebih tua." Kuusap kepalanya sayang sambil menasihati.
“Bunda tenang saja, Dave nggak akan biarin siapa pun jahat sama bunda.” Ucapnya berapi-api. Ternyata dia mempunyai jiwa pelindung dalam dirinya.
“Iya. Bunda sayang Dave."
“Dave juga sayang , Bunda.”
Dia kemudian memelukku dengan sangat erat.
Terkadang aku heran dengan rasa ini. Aku tak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Bahkan tak pernah mengenalnya. Entah kenapa seperti terbangun sebuah kedekatan di antara kami. Rasa sayangku padanya, bukan hanya sekedar karena pekerjaanku, tapi rasa sayang ini tulus untuknya.
Aku begitu menyayanginya. seolah-olah aku mengerti deritanya.