“Dave sayang mau bunda buatin camilan nggak?” Tawarku sore itu sepulang dari berjalan-jalan bersama Dave dan Omanya. Pasca kejadian yang membuat Dave kesal akibat ucapan Diana.
“Bunda mau buat apa?” Tanyanya antusias. Wajah kesalnya tak terlihat lagi. Sekarang ia sudah terlihat biasa saja.
“kita Buat es krim dari buah-buahan yang ada di taman mau?”
“Wah es krim, Dave mau dong bunda." Ia bersorak senang.
“Oke. Dave Tunggu disini ya. Sambil nonton kisah nabi Daud ya sayang." Kubuka aplikasi YouTube dan mencarikan channel yang menyiarkan kisah-kisah Nabi.
Ia menjawab dengan mengangguk. Setelah memberikan ponsel padanya, aku turun ke bawah dan beranjak menuju taman mini di pekarangan samping rumah ini. Kulihat wanita bernama Diana itu sangat menempel pada ayah Dave. Aku yang melihat pemandangan itu merasa sangat risih.
‘mungkin sudah biasa lelaki dan wanita di kota itu saling menempel walaupun belum menikah.' Batinku.
Kulihat sekilas wanita itu menatapku sinis. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi, bisa kulihat jika ayah Dave terlihat risih. Ia bahkan tetap fokus pada monitor yang ada di depannya. Berusaha tetap tenang sembari jemarinya mengetik di atas papan keyboard.
Aku berjalan keluar rumah tanpa memedulikan mereka. Kuambil beberapa buah seperlunya untuk membuatkan Dave es krim.
Aku melangkah menuju dapur masih melewati dua sejoli yang entah mengapa seakan dunia milik berdua. Tak peduli dengan orang yang lewat.
Saat aku sedang asyik membuatkan makanan untuk Dave wanita yang bernama Diana berjalan mendekat ke arahku.
Wanita dengan rambut panjang hingga ke bahu menatapku sinis.
“Hei pengasuh kampung apa yang kau lakukan?” ucapnya dengan pandangan merendahkan.
Aku mencoba untuk tidak memedulikan wanita yang satu ini. Bukan berniat mencari gara-gara. Lagipula dia bukan bosku. Dan aku tidak mendapatkan gaji darinya.
Masih dengan sangat asyik aku membuat camilan tiba-tiba dia meraih pergelangan tanganku.
“Heh gadis kampungan sepertimu sok sekali. Mau cari gara-gara ya. Kau tidak tau siapa aku?” terlihat wajahnya mulai tersulut emosi.
“Maaf nona. Saya hanya gadis kampung. Anda tidak takut terinfeksi gara-gara memegang tangan saya." Kataku seadanya mencoba tetap tenang.
Tiba-tiba dia melepaskan tanganku.
“Bernyali juga rupanya gadis kampung ini."
Tiba-tiba wanita ini jatuh terjengkang dan merintih. Padahal aku tidak melakukan apapun padanya.
“Aduh." Terlihat penekanan manja dari suaranya.
“Apa yang kau lakukan?” bariton suara berat itu mengagetkanku.
Ternyata ada ayah Dave. Wanita itu tersenyum mengejek seolah telah memenangkan sesuatu.
Aku masih tetap berusaha tenang. Tidak terlihat panik. Aku ingat pesan ibu. Hati ini harus tenang dalam menghadapi situasi apapun. Supaya masalah yang datang lebih mudah di selesaikan.
Bukannya menolong wanitanya, lelaki itu justru menatap aneh ke arahku. Akhirnya kulihat nona Diana berdiri dengan sendirinya.
“Hei pengasuh. Aku bertanya padamu apa yang terjadi”. Ucapnya lagi. Bahkan menyebut namaku saja ia enggan. Bukankah dia tahu siapa namaku?
“Sa. .” Baru aku mau membuka mulut untuk berbicara tetapi wanita itu memotong ucapanku.
“Aku datang untuk bertanya baik-baik. Tapi wanita ini justru mendorongku. Mungkin dia merasa dengan Dave membelanya membuat dia jadi nyonya rumah ini."
Sungguh fitnahan yang keji. Tampilannya saja yang terlihat modern. Tapi ucapannya seperti orang rendahan.
Ayah Dave masih menatapku.
“Anda bisa melihat dari rekaman CCTV tuan”. Jawabku mencoba tenang sambil melirik CCTV di plafon rumah ini.
Ayah Dave melirik keatas begitupun wanita itu. Terlihat perubahan gurat wajahnya. Yang awalnya merasa penuh kemenangan kemudian menjadi pucat.
“Ada apa bunda?” Tanya Dave tiba-tiba. Ia berjalan menuruni tangga dan menuju ke dapur. Mungkin karena mendengar keributan makanya Dave penasaran.
“Tidak ada apa-apa sayang." Senyumku mencoba menutupinya. Aku tidak mau dia tahu masalah orang dewasa yang bagiku ini sangat memalukan.
“Bunda es krimnya sudah jadi?”
“Belum. Kalau es krim buah kan harus tunggu beku. Bunda buatkan Dave minuman s**u buah segar."
“Enak nggak Bun?”
“Dave sayang mau coba."
“hu um."
Kuambilkan minuman s**u yang berisi potongan buah kedalam mangkuk kaca kecil. Aku mendudukkannya di kursi makannya dan menghidangkan minuman itu.
“Hemm. Ternyata enak banget Bun." Ia bahkan sampai menjilat bibirnya. Aku terkekeh geli melihat tingkah lucunya.
“Dave kecil suka ya?” Tanyaku sembari mengusap puncak kepala Dave.
“Suka banget." Tepancar senyum bahagia dari wajahnya.
Terlihat dua orang itu seperti terheran melihat interaksi kami.
“Pulanglah Diana." Suara ayah Dave terdengar seperti mengusirnya.
“Tapi aku...”
“Istirahatlah. Kamu juga belum pulang ke rumahmu setelah kepulanganmu dari Belanda.” Tuan Raja langsung memotong ucapan wanita itu.
“Yah baiklah." Ada gurat kecewa dari wajahnya. Dia mencoba mencium pipi ayah Dave tetapi lelaki itu menghindar.
Paham situasi aku melihat ke arah yang lain.
“Dave sayang. Tante pulang dulu ya. Kapan-kapan tante ajak Dave jalan-jalan.”
Yang diajak bicara tak menanggapi. Malah terlihat asyik menyantap makanan yang kubuatkan.
“Boleh suap Daddy?” bujuknya pada Dave.
Dave meliriknya sebentar. Kemudian menyuapkan minuman buah padanya.
“berikan aku minuman seperti Dave.” Pintanya padaku.
“Hah..” Aku sedikit kaget mendengar permintaannya.
“Apa aku tidak boleh memakannya?” Nada bicaranya berubah ketus.
“Ah maaf tuan. Baik saya ambilkan."
Lelaki berbeda generasi itu duduk saling berhadapan di meja makan menikmati camilan yang kuhidangkan.
Ada rasa bahagia menyusup kedalam hati melihat kehangatan itu.
“Bunda duduk sini sebelah Dave”.
Aku datang mendekat kearahnya. Dia mengarahkan sendok ke arahku hendak menyuap.
Aku menatap canggung. Tetapi sesaat kemudian dia memaksaku kembali. Dengan terpaksa aku menerima suapannya. Karena tidak ingin membuatnya kecewa.
“Yey bunda makan suapanku. Bekas kusuapkan pada Daddy”.
Mendengar ucapannya itu kami berdua sama-sama tersedak. Tentu saja kaget, kami sama-sama terbatuk dan suasana berubah canggung.
“Bunda kok mukanya merah?” tanyanya dengan begitu polosnya.
“Hah. I.. Ini karena tersedak sayang”. Jawabku cepat sambil sedikit terbata.
“Oh. Gimana enak nggak bunda?”
“E.. Enak banget sayang”. Jawabku masih dengan kegugupan. Entah ada apa dengan diri ini. Kenapa begitu gugup rasanya.
Kulirik sedikit wajah ayah Dave. Dia sedikit membuang muka. Mengalihkan pandangan.
‘sebegitu tidak sukanya kah dia?' Pikirku.
Setelah semua makanan mereka habis. ayah dan anak itu duduk di ruang tengah. kubiarkan mereka menghabiskan waktu berdua.
"Tuan." Bik Tun datang menghampirinya.
"Ada apa bik?" tanyanya terlihat ramah.
"Emm anu tuan. Maaf sebelumnya. boleh saya pamit pulang kampung. Anak saya mau menikah Tuan. dan mau ada prosesi lamaran dulu. kalau di perbolehkan saya mau izin cuti satu bulan tuan."
"Terus pekerjaan bibi di sini gimana? Siapa yang akan mengerjakannya. sementara Mira tugasnya bersih-bersih. dan sore dia harus pulang".
wajah Bik Tun terlihat bingung saat mendengar pertanyaan ayah Dave. Melihat ekspresi bingung Bik Tun, aku berjalan mendekat ke arahnya.
"Biar saya saja yang mengerjakannya tuan." jawabku
"Lalu bagaimana pekerjaanmu? Dave membutuhkan pengasuhnya " kata ayah Dave lagi.
"Saya bisa bangun lebih pagi untuk membuat sarapan. dan sore harinya bisa membuat untuk makan malam sambil menjaga Dave." Kucoba memberikan solusi.
"Apa kau bisa membagi waktumu?" ucapnya lebih serius lagi.
"in shaa Allah bisa tuan. Dave anak yang pintar dan penurut. saya bisa membagi waktu."
"Baiklah. asal jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Dave. kalau sampai terjadi sesuatu, aku tidak akan memaafkanmu."
"Baik Tuan." ucapku meyakinkan.
"Terima kasih banyak neng Melati." ucap Bik Tun sedikit sungkan padaku. "Bagaimana Tuan? bolehkan bibik ambil cuti?" tanya Bik Tun berbalik pada ayah Dave.
"Yah silakan bik. hanya satu bulan".
"Terima kasih tuan. hari ini bibi berkemas. dan besok bibi akan pulang".
"ya." jawab ayah Dave singkat.
Bik Tun berlalu meninggalkan ruang keluarga dan menuju kamarnya. kuajak Dave untuk mandi sore.
"Dave mau mandi bareng Daddy." pintanya pada ayahnya.
kami terdiam sejenak. kemudian ayahnya mengiyakan permintaan putranya.
ku biarkan mereka menghabiskan waktu berdua, sembari aku mengerjakan pekerjaan yang lain.