Dendamnya Iis

1041 Words
10 "Bos naon?" tanya pria itu, mungkin bergaya amnesia. "Oh, pikun, ya?" ledekku, kemudian berdecih dan menarik kerah bajunya hingga tubuhnya terangkat. Sekali lagi aku mabok, kali ini bukan karena bau ketiak, tetapi bau mulutnya yang aduhai. Entah habis makan apa dia. Akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan cengkeraman dan beralih mendorongnya hingga tergeletak kembali. "Tinggal jawab aja, atau kamu mau dijadiin samsak sama Iis?" tanyaku dengan suara keras. Pria itu menutup rapat mulutnya, tetapi kemudian dia menjerit ketika Isna mencabut paksa rambut di kakinya. Aku ikut-ikutan meringis karena tahu itu rasanya pasti pedih. "Jawab!" seru Isna sembari siap-siap buat mencabut lagi sehelai. "Aduh, Neng! Ampun! Ampun!" teriak pria tersebut. "Iya deh, ini mau ngasih tau. Tapi tolong distop!" jeritnya sambil berusaha menepis tangan Isna yang sudah bergerak mengincar rambut yang hendak dicabut. "Buruan jawab!" sentakku. Kesal dengan sikapnya yang lamban. "Itu, juragan Nanang!" sahut pria itu. Aku memberi kode pada Isna agar menghentikan siksaan. Gadis itu menurut meskipun misuh-misuh. Mungkin dia masih dendam karena belum puas menyiksa pria bau mulut itu. "Juragan Nanang?" ulangku. Pria itu mengangguk. "Apa hubungannya dia dengan gudang pabrik?" "Nggak bisa cerita, Kang. Sieun!" "Kenapa takut?" Pria itu menoleh ke kanan dan kiri, seolah-olah memastikan bahwa tidak ada yang mendengar pembicaraan kami. "Itu, Kang, juragan kerjasama dengan orang yang kerja di pabrik." "Siapa orang yang kerjasama dengan dia?" Pria itu hendak membuka mulut, tetapi suara bentakan seseorang dari arah belakang membuatnya terdiam. Aku dan Isna serentak menoleh dan terpaku kala menyaksikan pria yang wajahnya tidak bertemu dengan air itu tengah memegangi batang kayu. Kala dia mengangkat tangan, aku refleks mendorong Isna menjauh, lalu bergeser ke kanan dan berdiri. Mata berputar mencari alat untuk menangkis serangan, tetapi tidak ditemukan. Di tengah-tengah kepanikan itu sang pria bergerak maju dan hendak memukulku. Dengan gerakan cepat aku menarik pria bau mulut dan membuatnya sebagai perisai. Bug! Bug! Dua kali pukulan kayu dihantamkan ke tubuh pria yang menjerit kesakitan. Kemudian aku melemparkan tubuhnya ke kiri dan balas melakukan serangan bertubi-tubi ke d**a, perut, kaki, dan terakhir pukulanku menghantam leher pria takut air tersebut hingga terjengkang ke belakang. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan itu, aku melompat dan menduduki perutnya. Sekali lagi mendaratkan tinjuan, kali ini ke rahangnya. Seketika pria itu terdiam dan terkulai. Sepertinya kini dia sudah berlayar ke samudera mimpi. Aku memindai sekitar, menatap ketiga pria yang kini tengah berdiri terhuyung-huyung. Memberikan ancaman lewat tatapan sinis dan mematikan. Benar-benar menunjukkan kemarahanku karena belum mendapatkan informasi. Ketiga pria itu saling beradu pandang sesaat, kemudian sama-sama membalikkan tubuh dan lari menuju motor yang terparkir tidak terlalu jauh dari tempat kami bertarung. "Jangan dikejar, Is. Biarin aja," ujarku saat melihat Isna tengah bersiap menuju motornya. "Tapi, Kang! ...." Isna tak jadi melanjutkan ucapan karena tangan kiriku sudah terangkat dan mengembangkan kelima jari, tanda melarangnya untuk membantah. Aku mengalihkan pandangan pada kedua pria yang tengah tergeletak. Rasa sakit di tangan membuatku memutuskan untuk membiarkan mereka terlelap di tempat itu dan mengajak Isna untuk segera pulang. "Sini, Kang, diobatin dulu tangannya," ucap Isna, sesaat setelah kami tiba di ruang tamu rumah toko ayahnya. "Kalian berdua teh nekat pisan!" omel Bu Neneng yang duduk bersebelahan dengan suaminya. "Distop dululah nyari informasinya," lanjut perempuan berjilbab putih lebar itu sambil mengulurkan kasa ke Isna. "Tanggung, Bu. Udah telanjur diintai mereka," sahutku sambil meringis ketika obat antiseptik diteteskan ke atas luka di buku-buku jari kedua tangan. "Iya, Bu. Iis juga udah kadung kecemplung. Tapi Ibu tenang aja, kami pasti bisa menghadapi mereka," timpal sang gadis sembari membungkus tanganku dengan kasa. "Yang penting harus hati-hati, Neng, Kang. Kalau jumlah mereka terlalu banyak dan terlalu bahaya, kalian mending mundur dulu. Atur strategi sebelum memulai lagi," sela Pak Iwan. "Iya, Pak. Rencanaku juga begitu. Kalau perlu, Iis mundur aja. Biar aku sama Arman yang maju," jelasku. "Nggak mau! Enak aja nyuruh Iis mundur!" Gadis itu menepuk tanganku, tak peduli aku mengaduh. "Minggu depan kita berangkat ramai-ramai, biar lebih aman," sambungnya yang membuatku terpaksa mengangguk menyetujui. "Kalian mau ke sana lagi?" tanya Pak Iwan. "Iya, Pak. Aa' Husni tengah menghubungi teman-temannya yang menjadi korban pemecatan dari pabrik. Rencananya kami akan berkumpul untuk mencari informasi tambahan," ungkapku. Pak Iwan manggut-manggut, kemudian beliau tampak merenung sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Is, coba minta bantuan sama Heru. Dia mungkin bisa cari-cari info tentang kegiatan kerjasama Nanang dengan orang dalam pabrik." Isna mengangguk mengiakan ucapan ayahnya. Sementara hatiku tiba-tiba berdenyut mendengar nama pria itu disebut. "Emangnya Heru bisa?" tanyaku, sedikit meremehkan pria yang bahkan belum ditemui itu. "Moga-moga bisa, karena ... Nanang itu masih terhitung pamannya. Nanang itu saudara sepupu pak lurah," tukas Pak Iwan yang seketika membuatku terdiam. *** Langit sudah gelap kala aku terbangun dari tidur siang yang sangat nyenyak. Kumandang azan Isya bergema dari masjid terdekat. Tak berselang lama terdengar suara gedoran di pintu kamar yang disertai dengan kemunculan Arman. "Mau salat ke masjid nggak?" tanyanya. Aku menggeleng lemah. "Badanku sakit semua," keluhku. Arman melangkah memasuki kamar dan duduk bersila di hadapan. Memandangiku sambil mengulum senyum, lalu dia pun terbahak dan membuatku gemas hingga melemparkan bantal ke arahnya. "Sok-sokan berantem!" cemoohnya seusai tertawa. "Terpaksa ini, dari pada kabur. Lumayan kan, dapat informasi," sahutku. "Iis nggak luka?" "Sikunya tergores. Pahanya juga kena tendang tadi, tapi dia beneran bagus silatnya." "Yoih, kan anak jawara. Kata Rahma, Iis itu dulu sempat diikutsertakan dalam lomba pencak silat antara sekolah se-Sukabumi. Lumayan dapat juara tiga dia di kategori cewek." "Sepertinya aku harus rutin berlatih wushu lagi. Tadi rasanya udah kaku semua gerakan." "Ya iyalah, kita kan udah stop berlatih sejak wisuda." "Hu um. Besok, kita mulai latihan lagi, Man. Karena pihak lawan kita nggak bisa dianggap enteng. Mereka orangnya banyak." Arman manggut-manggut, kemudian berdiri dan beranjak menjauh. "Mau sekalian dibeliin makanan nggak? Habis dari masjid aku langsung ke warung nasi." "Boleh. Aku mau nasi pake sayur pare, ikan pesmolnya dua, sama tempe goreng dua juga." "Tumben." "Laper berat." "Laper atau emosi?" Tawa Arman kembali menyembur kala aku melemparkan kotak tisu ke arahnya yang segera lari ke luar kamar. Sepeninggal Arman, aku bangkit dan berdiri. Jalan gontai ke tempat jemur untuk mengambil handuk. Sebuah motor yang berhenti di depan mess membuatku penasaran dan memerhatikan. Tampak dua orang pria turun dan sepertinya tengah mengobrol dengan Arman. Dari kejauhan tampak sebuah motor lagi mendekat dan aku seketika membeliakkan mata kala mengenali sosok yang berada di motor tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD