09
"Tenang, Fai. Jangan takut, itu si Jacky Chan lagi pengen kenalan," ujar Husni sambil memandangi makhluk melata yang terus merayap ke perut dan meluncur turun ke kaki hingga tiba di tanah berumput dan menjauh.
Kepala ular itu bergerak cepat menyusuri pinggir kolam. Tubuhnya meliuk-liuk lincah hingga akhirnya menghilang di balik rerimbunan pohon yang tumbuh subur di sekitar kebun.
"Jacky Chan?" tanyaku sambil mengusap pundak yang masih terasa dingin.
"Hu um, penghuni kebun ini," jawab Husni.
"Aa' piara?"
"Nggak, karena jenisnya bukan yang berbisa jadi kubiarkan aja. Lumayan buat ngusir tikus yang suka ngerusak kebun."
"Nggak ngeri, A'?"
"Kadang kaget sih, pas lagi panen tau-tau dia nongol." Husni terkekeh, kemudian membantu Isna mengambil alih boboko yang ternyata berisi singkong goreng.
Kami bertiga duduk di saung yang letaknya berdekatan dengan kolam ikan kedua. Melanjutkan obrolan dengan santai sambil sesekali bercanda. Saat waktu bergeser ke Zuhur, Husni mengajak kami menunaikan salat empat rakaat di rumah. Setelah itu kami berpamitan dan berjanji akan berkunjung minggu depan.
Perjalanan pulang kali ini Isna yang jadi tukang ojek, sementara aku jadi penumpang. Baru juga beberapa meter dari pekarangan rumah bi Nyai dan Husni, tampak beberapa orang anak kecil tengah bergerombol dan memegangi dahan pohon yang patah.
"Heh, jangan dipukul itu!" pekik Isna sembari menghentikan motor.
"Kenapa ularnya mau dipukul?" tanyaku sambil turun dan bergegas menghampiri kumpulan tersebut.
"Sieun," jawab salah seorang anak yang memegangi dahan.
"Ularnya ganggu kamu nggak?"
Anak itu menggeleng.
"Berarti jangan dipukul, dia cuma lewat doang itu." Aku berjongkok dan memegangi kepala ular yang tampak siaga, menarik badannya yang cukup panjang lalu meletakkannya di pundak.
"Ular itu kalau nggak ngerasa terancam, dia nggak bakal nyerang," ujarku. "Lain kali kalau liat ular, mending dijauhin, ya. Kalau yang ini nggak berbisa, takutnya yang jenis lain kalian gangguin terus balik nyerang," sambungku yang dibalas anggukan bocah-bocah itu.
Aku membalikkan tubuh dan menaiki motor yang dikendarai ojek cantik menuju pekarangan rumah bi Nyai. Menurunkan Jacky Chan dan meletakkannya di dekat pohon jambu biji, memperhatikannya menjauh memasuki pekarangan, sebelum kembali menghampiri Isna yang sudah bersiap di motor.
Kami melanjutkan perjalanan dalam diam. Perut yang penuh membuat mata mengantuk. Akan tetapi, aku harus tetap menahan kelopak mata agar terus terbuka, karena medan yang dilalui ini cukup terjal. Kalau aku tidur bisa-bisa terjatuh dari motor.
Tiba-tiba motor berhenti di daerah yang sepi. Aku melongok dari samping kanan dan terperangah ketika melihat beberapa sosok pria bertato dan bertampang sangar tengah berdiri menghadang.
"Minggir!" seru Isna.
"Tenang, Neng. Kami cuma mau nanya ke temanmu itu," sahut salah seorang dari mereka yang tampangnya mirip orang enggak mandi seminggu.
"Kami buru-buru, nanti aja nanyanya!" Isna menjawab dengan ketus.
"Ini cewek sok amat sih!" timpal seorang pria di sisi kanan, yang sepertinya tak mengganti jaketnya dua abad. Dia maju beberapa langkah dan hendak menyolek pipi Isna, tetapi langsung ditepis gadis itu.
"Hei, yang sopan dong sama perempuan!" sentakku sembari turun dan jalan hingga berhadapan dengannya.
"Cuih, manehna oge cemen, berlindung di balik awewe!"
"Teu ecreug! Maneh tara ngasaan sakolah? Ngomongna kasar pisan!" semburku tak mau kalah.
Isna membeliakkan mata, mungkin terkejut mendengar bahasa sundaku yang jarang sekali digunakan. Sementara keempat orang lainnya saling beradu pandang. Pria di hadapan tampak kebingungan, mungkin dia tengah mencari kata-kata untuk membalas ucapanku, tetapi sepertinya sulit.
"Kami cuma mau nanya, kamu ini siapa? Kok kasak kusuk nyari-nyari informasi tentang gudang pabrik?" tanya pria penakut air itu yang kini berpindah ke belakang temannya yang tidak pernah merasakan didikan di sekolah.
"Apa urusannya dengan kalian? Lagi pula, bagaimana kamu tau kalau aku lagi nyari informasi tentang gudang pabrik?" tanyaku. "Apalagi kalian jelas-jelas bukan karyawan pabrik. Kok bisa tau detail tentangku?" cecarku, benar-benar penasaran.
Kelima pria itu saling menatap satu sama lain, dan tiba-tiba pria takut air itu merengsek maju dan hendak mencengkeram kerah kaus hitam mengilatku.
Aku menepis tangannya dan balas mencengkeram kausnya yang bau apek. Menahan hidung yang hendak bersin-bersin karena tak sanggup menghirup udara tercemar itu. Pria tersebut hendak melawan, kutangkis dan mencekal tangannya. Namun, detik berikutnya aku mabok, karena bau ketiaknya ternyata sangat dahsyat. Sekuat tenaga menahan agar tidak muntah, sembari menurunkan tangannya dan mendorong dia hingga terhuyung.
Hal itu rupanya membuat teman-temannya marah. Mereka serentak hendak menyerang dan aku pun bersiap untuk melawan. Tanpa disangka-sangka, Isna berdiri di sebelah kanan dan memasang kuda-kuda ala silat.
Kami sempat beradu pandang sesaat dan sama-sama mengulum senyum. Lalu mengokohkan kaki dan bersiap menerima serangan kelima pria tersebut.
Tiga orang pria menyerangku membabi buta. Aku menangkis dan sesekali balik menyerang mereka dengan mengerahkan jurus-jurus wushu yang pernah kupelajari saat remaja hingga kuliah dulu. Makin sering mereka menyerang, aku makin yakin bila mereka tidak punya latar belakang ilmu beladiri sama sekali dan hanya mengandalkan tubuh kekar. Kesempatan ini kugunakan sebaik-baiknya untuk melancarkan serangan di beberapa titik yang mematikan.
Pria yang sepertinya tidak pernah bertemu dengan deodoran adalah yang pertama tersungkur, setelah mendapatkan hadiah tiga tinjuan dan satu terjangan kakiku. Sementara yang dua orang lainnya makin beringas menyerang, mungkin kesal karena melihat temannya kalah.
Mereka maju bersamaan. Aku memajukan tubuh selangkah agar tinjuan mereka meleset. Lalu aku mencengkeram rahang mereka serta menyeret tubuh mereka menjauh dari medan pertempuran.
Tanpa belas kasihan, aku mendorong tubuh keduanya hingga menghantam batang pohon besar, lalu menendangi mereka bergantian hingga melorot dan terduduk di tanah.
Aku membalikkan badan dan hendak menolong Isna, tetapi akhirnya hanya terpaku di tempat dan memandangi gerakan silatnya yang memukau. Kedua pria yang menjadi lawannya, tampak kewalahan menghadapi gadis itu. Tanpa sadar aku mengulum senyum, sebelum akhirnya mengayunkan tungkai mendekati mereka dan berdiri di sebelah kiri Isna.
"Perlu bantuan?" tanyaku.
"Nggak usah, Aa' tunggu aja di situ," jawabnya dengan napas yang terengah-engah.
"Yakin?"
"Iya, udah ahh, berisik!"
Aku terkekeh dan mundur tiga langkah. Memperhatikan saat Isna menghajar kedua pria yang akhirnya terkapar sambil mengaduh kesakitan dan memegangi d**a serta perut mereka yang baru dihantam tendangan gadis itu.
Aku kembali mendekat dan berjongkok di depan pria penakut air. Menatapnya dengan tajam yang dibalas dengan ringisan dan umpatan nyaris tanpa suara. Isna ikut berjongkok di sebelah kanan dan tangannya diangkat dengan membentuk tinjuan.
"Tunggu, Is. Kita tanya dulu siapa bos mereka," ungkapku.