Kuburan

1093 Words
02 "Kita ke sananya pakai ini?" tunjukku pada motor dengan gerobak di bagian belakang. "Iya, A', jalan ke mess itu sempit, mobil nggak muat," jawab seorang pria berkumis tipis dengan janggut empat belas helai, yang tengah menaikkan koper dan barang bawaanku serta Arman ke gerobak. "Terus, kami duduk di mana?" tanya Arman dengan alis bertaut. "Di gerobak, Aa'. Nggak muat di depan atuh," sahut pria bernama Burhan itu dengan suara yang terdengar kesal. Aku dan Arman saling beradu pandang, sejurus kemudian tawa kami pecah. Membayangkan kehebohan teman-teman di Bandung, saat melihat kami naik gerobak. Pasti mereka akan tertawa terbahak-bahak. Beberapa menit kemudian, kami sudah duduk di gerobak bagian depan. Berpegangan pada tepian berkarat, sambil berdoa dalam hati agar tidak terkena tetanus. Perjalanan dari pabrik menuju mess ini ternyata tidak terlampau jauh. Hanya sekitar lima ratus meter. Pulang pergi berarti satu kilometer. Lumayan, hitung-hitung sedang berolahraga. Setibanya di tempat tujuan, pandanganku terpaku pada bangunan dua lantai sederhana di hadapan. Cat tembok biru tua itu sudah mengelupas di beberapa bagian. Beberapa pohon di dalam pot tampak bersaing tumbuh dengan rumput. Sementara yang tidak kebagian pot, tampak berdesakan tak beraturan, tumpang tindih tak karuan. "Hayuk, jangan melamun wae!" ajak Burhan sambil menarik tas travel merah milik Arman. Jalan tegak maju menuju teras rumah yang tampak sepi. Burhan merogoh saku celana sebelah kanan, kemudian berpindah ke sebelah kiri. Pria itu mulai panik dan meraba seluruh bagian tubuhnya dengan cepat. "Kenapa?" tanyaku. "Kuncinya, ketinggalan," jawabnya sambil meringis. Aku memutar bola mata, sementara Arman malah duduk di undakan teras dengan santai dan sibuk dengan ponselnya. "Eh, sebentar!" Burhan berjongkok dan mengangkat pot di sebelah Arman. Menarik sebuah kunci yang terkena tanah dan mengelap benda itu ke celananya. Issh, jorok! Pria berkulit kecokelatan itu memasukkan anak kunci dan memutarnya dengan pelan. Setelah pintu terbuka, dia bergegas masuk tanpa memedulikan kami. Aku melangkah mengikuti Burhan dan memindai sekitar. Sebuah ruangan yang kemungkinan adalah ruang tamu, tampak sangat sederhana dan minimalis. Hanya ada sehelai tikar tipis yang sudah lepas di bagian ujung. Dinding semen yang diplester kasar dan dicat kuning pudar tanpa ada ornamen hiasan apa pun. Tepat di seberang pintu adalah lorong yang mungkin cukup panjang. Di bagian kanan dan kiri terdapat beberapa pintu. Burhan menyusuri lorong dengan cepat dan berbelok ke kanan. Aku mengikuti sambil menyeret koper dan menenteng tas travel. Mataku membeliak saat melihat undakan tangga yang curam. Menaiki benda dari kayu itu dengan hati-hati, agar kepala tidak tersangkut pada plafon yang rendah. Dug! "Aduh!" seru Arman dari belakang. "Hati-hati," ucapku, sedikit geli melihatnya mengusap dahi yang memerah. Setibanya di lantai atas, terdapat dua pintu di sebelah kanan dan satu pintu di bagian kiri. Sebuah pintu besar di ujung lorong tampak terbuka lebar. Beberapa helai pakaian berkibar di sana. "Ini kamarnya," ucap Burhan sambil membuka kedua pintu yang berdempetan. Aku jalan mendekat dan melongok, kamar ini berukuran kecil, mungkin hampir sama dengan lebar kamar mandiku. Hanya ada sebuah kasur tipis dan bantal di sudut kanan ruangan. Selebihnya kosong. "Kamarku yang ini," tunjuk Burhan pada pintu di sebelah kiri. "Yang itu tempat jemurnya," lanjut pria berambut ikal itu sambil menunjuk ke ujung lorong. "Kamar mandinya di mana?" tanyaku. "Di bawah, sesudah tangga itu dapur dan kamar mandi. Oh iya, gasnya urunan, ya. Seorang lima ribu," jelasnya. "Ada berapa orang yang tinggal di sini?" Kali ini Arman yang bertanya. Sahabatku itu meletakkan koper di kamar pertama. "Di bawah ada empat orang. Nanti sore kalian bisa kenalan," sahut Burhan. *** Sekali lagi kami menaiki gerobak hingga ujung jalan. Burhan meneruskan perjalanan kembali ke pabrik, sementara aku dan Arman hendak melihat-lihat tempat sekitar sini. Beberapa tukang ojek yang mangkal di depan sebuah rumah toko di sebelah kanan tempat kami berdiri, bergegas menghampiri dan menyapa dengan bahasa Sunda yang sangat fasih. "Pasar mah jauh, Kang. Kalau mau beli kasur, ke toko haji Iwan aja," ucap tukang ojek berjaket biru pudar, saat aku meminta diantar ke pasar. "Jauh nggak?" tanyaku. "Sakiloanlah," sahutnya. "Oke, deh. Nanti sekalian bolak-balik, ya," timpal Arman. Tukang ojek itu mengangguk mengiakan. Aku berpindah ke jok motor dan berpegangan dengan kuat di bagian bawah, karena pria ini ternyata temannya Valentino Rossi. Mengebut dengan semangat membara menuju garis finish. Motor yang ditumpangi Arman pun melakukan hal yang sama. Tak peduli penumpangnya khawatir terjatuh karena jalan yang berlubang dan tidak rata. Kedua motor berhenti di depan sebuah rumah toko yang cukup besar. Sepertinya ini adalah pusat keramaian di kelurahan ini. Deretan ruko di kanan kiri menambah suasana ramai di sini. Aku dan Arman memasuki toko furniture sederhana itu dan menanyakan harga kasur serta bantal. Setelah bernegosiasi dengan pemilik toko, akhirnya kami mendapatkan harga diskon karena membeli tambahan lemari dan bedcover set. "Bisa diantar kan, Pak?" tanyaku sembari mengeluarkan dompet. "Bisa, minta alamatnya aja," jawab pria dewasa berpeci putih itu sambil menghitung uang yang kuserahkan. Saat Arman menyebutkan alamat mess, pria bernama Haji Iwan itu mengernyitkan dahi. "Mess pabrik sentosa?" tanyanya. Arman mengangguk. "Kalian karyawan baru, ya?" tanya haji Iwan lagi. "Iya, Pak," jawabku. "Anak bapak juga kerja di sana. Bagian keuangan." Suara motor yang berhenti di depan rumah toko mengalihkan pandanganku. Sesosok perempuan muda yang mengenakan helm bermotif Doraemon masuk dan jalan cepat menuju ke tempat kami berada. "Assalamualaikum," sapanya sambil menyalami Haji Iwan dengan takzim. "Waalaikumsalam," sahut kami serempak. "Kebetulan udah pulang, ini anak bapak, Kang. Yang kerja di pabrik tea," jelas Haji Iwan. Perempuan itu membuka helm dan menyalami aku dan Arman. Seulas senyuman manis menghiasi wajahnya yang ... cantik. "Iis," ujarnya dengan suara lembut. "Oh, hai. Aku Fairel," timpalku. "Dan aku Arman," tukas sahabatku itu dengan cepat. Perempuan itu mengangguk sopan, kemudian membalikkan tubuh dan jalan memasuki bagian belakang toko. "Ehem ... ehem." Suara berat Haji Iwan seolah-olah menyadarkanku dari lamunan. Sambil menyugar rambut aku menyunggingkan senyuman tipis. Sementara Arman terkekeh, sepertinya dia tahu bila sahabatnya ini sedang salah tingkah. *** Memasuki kamar mandi di sore hari menjelang Magrib ini membuatku tertegun. Ruangan bersemen gelap ini benar-benar di luar dugaan. Tidak ada shower, apalagi bath up. Hanya ada ember berukuran besar dan gayung di dalamnya. Secepatnya aku mandi, ke luar dan nyaris bertabrakan dengan seorang pria bertubuh kurus. "Anak baru, ya?" tanyanya sembari menyalakan kompor gas tunggal. "Iya, Kang. Kenalin, aku Fairel," sahutku sambil mengulurkan tangan. "Aku Wahyu, asli dari Garut. Kamu dari mana?" jawabnya sembari menjabat tanganku. "Bandung. Ehm, Kang, di sini ada warung nasi, nggak?" "Ada, dari sini jalan lurus ke kiri. Setelah warung biasa, sebelahnya ada warung nasi." "Oke, Kang, nuhun." Aku berbalik dan hendak menaiki tangga. "Eh, tapi hati-hati," lanjutnya. "Kenapa?" Aku menoleh. "Sebelumnya harus melewati kuburan. Serem," ungkapnya sembari menggetarkan tubuh bak cacing kena abu gosok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD