01
"Dari mana, A'?" Suara berat nan tegas itu terdengar dari arah belakang.
Aku menutup mata dan menghela napas berat, mengembuskannya perlahan sambil berusaha mengubah ekspresi wajah agar tampak lebih santai. Membalikkan tubuh dengan hati-hati sembari mengulaskan senyuman tipis. Berharap pria dewasa di hadapan tidak terlalu marah padaku.
"Ehm ... dari rumah Arman, Pi," jawabku dengan suara pelan.
"Rumah Arman? Tadi kata papanya Arman, anak itu pergi sama kamu," tukasnya sembari menatapku setajam peniti.
"I-iya, Pi, tadinya pergi sama Arman, terus pulang dan ngobrol di rumahnya sampai lupa waktu," jelasku. Berharap kali ini pria berwajah nyaris serupa denganku ini bisa menerima penjelasan.
Pandangan Papi tetap tidak berubah. Dengan tangan dilipat ke belakang dan tubuh tegap, penampilannya makin mengintimidasi buatku.
"Besok aja dilanjut lagi ngobrolnya, Pi," sela Mami yang baru saja ke luar dari kamar.
Perempuan dewasa yang masih tampak anggun dan cantik di usia paruh baya itu mengedipkan sebelah matanya dan kubalas dengan hal yang sama.
Papi menoleh ke istrinya tersebut, dan seketika sorot mata itu berubah. Penuh cinta dan kelembutan. Hal ini yang terkadang membuatku terkagum-kagum dengan mereka. Bisa tetap mempertahankan cinta sekuat itu, di usia yang beranjak menua.
"Anak Mami yang ini, kelakuannya beda banget dengan mas dan kakaknya," keluh Papi yang dibalas Mami dengan usapan lembut di lengan beliau.
"Kan nurun Papi," canda Mami seraya tersenyum lebar.
Papi menghela napas berat. Memijat dahinya yang mungkin berdenyut. "Tapi papi kan bukan Don Juan," kilah Papi.
"Beuh! Sarua na!" imbuh Mami.
Aku menggigit bibir untuk menahan tawa yang nyaris keluar. Sedapat mungkin tetap berdiri tegak sambil memegang ujung tangga.
"Naik sana, besok pagi kita bicara lagi!" titah Papi.
Aku segera memberi hormat dan membalikkan tubuh. Sedikit berlari saat menaiki tangga. Merasa sangat senang karena bisa lepas dari serangan omelan Papi. Kali ini.
***
Pagi menyapa dengan ketukan yang disertai teriakan melengking Early. Adikku itu memang sangat pandai membangunkan. Terbukti, gedorannya lebih manjur daripada suara alarm ponsel.
"Aa', buruan bangun! Udah ditungguin Papi tuh!" jeritnya lagi.
"Iya, Neng cerewet! Aa' udah bangun," sahutku sambil menggaruk-garuk kepala.
Ketukan pintu berhenti. Akhirnya suasana kembali damai dan tenteram. Aku beringsut ke pinggir kasur, menurunkan kaki dan merentangkan tangan. Memutar kepala ke kanan dan kiri, tak lupa meliukkan tubuh hingga terdengar bunyi tulang berderak.
Suara ketukan yang diiringi jeritan khas Early, membuatku menutup telinga dan jalan cepat memasuki kamar mandi. Bersemedi sambil menyalakan keran air secara penuh, untuk menyamarkan suara adikku yang ngakunya mirip Celine Dion, tetapi kejepit pintu.
Beberapa menit kemudian aku sudah tampil rapi dengan pakaian kebangsaan. Celana pendek biru kehitaman dan kaus putih keunguan menyempurnakan penampilan.
Sesaat aku tertegun di depan cermin, membalas senyuman sesosok pria tampan bertubuh tinggi dan cukup gagah. Wajah nyaris serupa dengan Papi ini memberikan keuntungan besar, karena seumur hidup belum pernah merasakan ditolak perempuan manapun.
"Aa'!" Pekikan itu terdengar kembali.
Aku bergegas membuka pintu dan menatap seraut wajah cantik perempuan muda yang mirip dengan Mami itu sambil menjulingkan mata.
"Ish! Becanda wae. Ditungguin tuh!" Early menarik tangan dan mendorong tubuh atletisku ke arah tangga.
Kami menuruni benda berundak-undak ini bak anak kecil sedang bermain ular tangga. Setibanya di ruang keluarga, tampak enam pasang mata memandangi kami dengan berbagai ekspresi. Papi memasang wajah serius. Mami seperti biasa, tetap anggun dan elegan. Keduanya duduk berdampingan sambil berpegangan tangan. Bikin iri!
Mas Fahri, Kakak tertua memandangi dari kursi bagian tengah seraya mengulum senyum. Demikian pula dengan Teh Arina, istrinya. Perempuan berjilbab hijau kekuningan itu sepertinya sedang berusaha menahan tawa. Hal itu tampak jelas dari matanya yang menyipit.
Kak Eza, Kakak kedua memperhatikanku sembari menaikturunkan alisnya. Sedangkan Teh Ruby, istrinya itu sepertinya sedang berpura-pura memasang tampang serius. Perempuan berparas cantik itu memberi kode dengan kerlingan mata, tanda bahwa kali ini aku akan disidang. Lagi.
"Papi langsung saja, A'. Karena jujur, udah capek ngomelin kamu mulu," ucap Papi memulai pembicaraan.
Aku mengangguk dan beranjak duduk di satu-satunya kursi yang tersedia. Sementara Early menempel dengan manja pada lengan kursi yang ditempati Kak Eza.
"Papi akan mengirim kamu ke pabrik di Sukabumi. Ada beberapa kasus yang belakangan ini meresahkan di sana. Tapi, kamu ditugaskan di sana bukan sebagai bos atau putra dari Hilman Gilbran, melainkan sebagai karyawan pabrik biasa," ujar Papi dengan suara tegas dan mantap.
Bummmm!
Seketika aku merasa sedang tertimpa bom atom. Membayangkan harus tinggal di tempat yang jauh dari keluarga, sedikit membuatku bergidik.
Di usia dua puluh empat tahun ini, hanya sekali aku tinggal jauh dari rumah, yaitu saat harus melaksanakan kuliah kerja nyata di Garut. Itu pun dengan pengawalan ketat dari seorang pria yang disewa Mami untuk menjagaku.
"Ehm, nggak salah nih, Pi?" tanyaku ragu-ragu.
"Nggak ada yang salah. Papi sudah memikirkan hal ini masak-masak. Dan Mami serta keempat kakakmu juga sudah setuju," sahut pria yang tetap tampan di usia matang itu dengan santai.
"Semuanya sudah disiapkan di sana, Fai. Dan kamu akan didampingi Arman juga. Ini sebagai bentuk hukuman untuk kalian berdua, yang masih belum bisa mandiri," timpal Mami yang membuatku makin lemas.
Aku mengedarkan pandangan ke keempat orang Kakak, yang balas memandangi dengan senyuman mengembang.
Oke, fix!
Semuanya kompak mendukung Papi!
Aku sendirian di sini, berteman sepi dan angin dingin yang menderu dari pintu taman samping yang terbuka.
***
Senandung lagu yang mengalun dari bibir Kak Eza, mengiringi perjalanan kami menuju Sukabumi. Pak Iwan, supir keluarga yang sudah mengabdi sejak Papi masih lajang itu tampak menyetir dengan santai. Sekali-sekali mereka mengobrol dengan berbagai topik bahasan.
Aku dan Arman lebih banyak diam di kursi tengah. Memilih untuk sibuk dengan ponsel masing-masing, walaupun sebenarnya pikiran sedang mengembara.
Arman merupakan putra ketiga dari om Bayu, sahabat karib Papi sejak masih kuliah. Keduanya membangun perusahaan bersama-sama. Hingga bisa menggurita seperti saat ini.
Aku dan Arman sudah berteman sejak masih dalam kandungan. Usia yang hanya selisih enam bulan membuat kami sangat dekat. Bagaikan pinang dibelah kampak, begitu julukan orang-orang buat kami.
Memiliki wajah yang sama tampannya, membuat kami memang dipuja banyak perempuan. Walaupun, tentu saja, kegantenganku selevel di atas Arman.
Perjalanan ini berhenti di sebuah rumah makan di daerah Cianjur. Selepas menunaikan salat Zuhur dan menghabiskan makanan di atas meja, kami kembali meneruskan perjalanan ke Sukabumi dengan mata yang mengantuk.
"Sudah sampai, Pangeran," ujar Kak Eza sambil menepuk bahuku. "Dan ingat, jangan pernah menyebutkan bahwa kalian itu berasal dari klan Gilbran dan Hartawan," lanjutnya dengan tampang serius.
Pria berperawakan sedang itu langsung ke luar dari mobil dan menyalami beberapa orang dewasa, yang berdiri di pelataran teras sebuah bangunan besar.
Arman mendorongku ke luar mobil, kemudian mengekor sambil merapikan pakaiannya. Sementara Pak Iwan memarkir kendaraan di bagian depan bangunan.
"Perkenalkan, ini karyawan yang akan bekerja di bagian gudang. Ayo, perkenalkan diri," titah Kak Eza.
Aku membungkukkan badan sedikit, dan menjabat tangan seorang pria paruh baya berperut buncit. Kemudian beralih menyalami beberapa orang lainnya.
Seorang perempuan dewasa yang berdandan cetar membalas jabatan tanganku sambil mengedipkan mata. "Meni kasep, hayuk, nanti ikut teteh ke mess," ucapnya dengan suara mendesah.
Seketika aku merasa bagaikan pemuda tanggung yang akan dibawa dan dijual ke tempat prostitusi.