03
Meminjam motor kecil milik Wahyu, aku dan Arman ke luar dari rumah untuk mencari warung nasi. Suasana jalan tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang berpapasan dengan kami.
"Kuburannya ini?" tanyaku.
"Kayaknya, itu banyak nisan," jawab Arman yang sepertinya sengaja melambatkan laju motor.
"Biasa aja, nggak seram."
"Hu um, Wahyu nakut-nakutin doang."
Jarak beberapa meter dari lahan pemakaman tadi, akhirnya kami tiba di warung nasi yang menyatu dengan warung biasa.
"Bu, ada soto ayam?" tanyaku sambil menatap daftar menu yang ditempel di dinding.
"Ada, Kang. Bade baraha mangkok?" Ibu yang mengenakan jilbab biru keunguan itu balas bertanya.
"Semangkuk aja, Bu. Nasinya seporsi." Aku menarik kursi plastik dan duduk. Sementara Arman tampak masih memilih menu.
"Akang nu kasep, bade milih naon?" Ibu itu bertanya pada Arman yang sepertinya bingung hendak memilih apa.
"Ehm, nasi sama ayam geprek aja, Bu." Akhirnya sahabatku itu bisa memutuskan menunya.
"Sama es teh manis dua, ya, Bu," timpalku yang dibalas anggukan sang ibu.
Arman menarik kursi dan duduk di sebelah kanan. Meraih ponsel dari saku jaket dan mengutak-atik benda itu dengan serius.
Aku memutar tubuh menghadap ke jalan. Dua orang pria biasa memasuki warung nasi ini dan tersenyum ramah. Segera kubalas dengan anggukan sopan. Kedua pria itu terus masuk ke bagian belakang warung. Tebakanku, mereka adalah keluarga dari Ibu pemilik warung ini.
Saat pesanan tiba, aku dan Arman segera menyantapnya hingga habis tak bersisa. Terdiam sesaat untuk mengatur napas dan perut yang penuh, kemudian berdiri dan mendekati Ibu pemilik warung.
"Akang-akang teh penghuni baru, ya?" tanya perempuan dewasa itu sembari menyerahkan uang kembalian ke tangan Arman.
"Iya, Bu, baru nyampe tadi," jawabku.
"Rumahna palih mana?"
"Mess pabrik sentosa." Kali ini Arman yang menjawab.
"Oh, nu eta. Tos lapor ka pak RT?"
"Belum, Bu. Nggak tahu rumahnya yang mana," timpalku.
"Teu kudu diteangan, pan pak RT na suami ibu."
Beberapa saat kemudian, pria dewasa yang tadi melintas, keluar dengan membawa buku dan pulpen. Mengajak kami mengobrol basa-basi sambil mencatat identitas. Tak lupa Pak Tisna memberikan beberapa wejangan, terutama tentang adat istiadat setempat.
Setelah semua urusan selesai, aku dan Arman berpamitan. Tak lupa untuk mampir ke warung biasa di sebelah untuk membeli biskuit dan air mineral kemasan. Kali ini aku yang menjadi tukang ojek, sementara Arman menjadi penumpang. Motor melaju dengan kecepatan sedang agar kami bisa menikmati pemandangan.
Setibanya di mess, motor langsung dimasukkan ke ruang tamu. Wahyu yang sudah menunggu sejak tadi bergegas mengunci pintu. Aku dan Arman memasuki kamar mandi secara bergantian untuk mengambil wudu. Menaiki tangga dengan hati-hati agar tidak terantuk lagi.
Seusai menunaikan salat empat rakaat, kami mengobrol di kamarku. Suasana di luar sangat sepi, yang terdengar hanya suara jangkrik dan binatang malam lainnya.
"Mama udah nelepon beberapa kali. Tapi papa nggak ada nanya kabar sama sekali," keluh Arman. "Sepertinya, papa dan om Hilman marah banget ke kita," sambungnya dengan wajah sendu.
"Nggak apa-apa, mungkin mereka lagi sibuk," sahutku untuk menghibur diri.
***
Pagi menyapa dengan suara gedoran dari bawah. Kamar mandi yang hanya satu itu membuat ketujuh penghuni harus antre. Tidak bisa berlama-lama di dalam kamar mandi, karena bunyi gedoran itu tidak akan berhenti.
"Burhan! Buruan mandinya!" teriak Wahyu sambil memegangi perut.
"Si Burhan mah luluran wae unggal poe'," sahut Indra, pria bertubuh tinggi kurus yang berada di nomor antrean kedua.
"Tapi keluar mah tetap butek!" timpal Jaka, pria Betawi asli yang menjadi penghuni terbaru sebelum aku dan Arman.
Tawa ketiga pria itu tak urung membuatku tersenyum. Sementara Arman tampak masih mengumpulkan nyawa. Duduk di undakan tangga dengan wajah sendu, memandangi gorden pembatas biru dengan tatapan sayu.
Tiga puluh menit kemudian, aku sudah tampil rapi dengan kemeja lengan pendek biru muda dan celana panjang biru tua, seragam pabrik yang bahannya tidak sehalus dan selembut kemejaku yang lain.
Perjalanan menuju pabrik kami tempuh dengan berjalan kaki. Tampak beberapa orang dengan seragam yang sama juga mengarah ke tempat yang kami tuju.
Setibanya di bagian gudang, perempuan dewasa berdandan cetar kembali menyambut kami dengan suara mendesah.
Kembali aku teringat dengan sosok mami yang mengurus anak-anak asuhannya di klub malam. Tidak perlu diperjelas karena pasti sudah pada tahu maksudku 'kan?
Jangan pula bertanya kenapa tiba-tiba aku bisa mengatakan hal tersebut. Ingat, I'm Curaling!
"Kalian sementara ditempatin di bagian finishing, ya. Sekalian ngangkut barang ke truk kalau ada penjemputan," ucap perempuan dewasa itu yang bernama Marni.
Aku dan Arman sontak menoleh dan saling beradu pandang. Seumur-umur belum pernah jadi kuli angkut. Akan tetapi, saat ini kami tidak bisa protes karena sedang dalam misi penyamaran.
Dengan keengganan tingkat tinggi, kami bergabung dengan beberapa karyawan pria lainnya, yang sudah lebih dulu mengepak barang. Berkenalan selintas dan langsung bekerja seperti mereka. Diperintah ke sana ke sini hingga tubuh terasa capai dan kaki nyut-nyutan.
Tibalah waktu istirahat makan siang. Sekali lagi aku dan Arman terkaget-kaget dengan kecepatan makan rekan-rekan. Dalam waktu singkat makanan mereka sudah habis.
Berbeda halnya denganku dan Arman, kami makan dengan santai hingga dipelototi Teh Marni. "Kalian itu, nggak bisa apa makannya cepetan? Gayanya kok kayak priyayi!" omelnya sambil bertolak pinggang.
Arman yang hendak menjawab dicolek oleh pria kurus di sebelahnya. "Jangan dibantah, ntar tambah ngamuk itu si Teteh," bisik pria bernama Isan itu sambil pura-pura menggaruk leher.
Arman manggut-manggut dan segera berdiri. Jalan cepat ke ujung pabrik dan memasuki ruangan kecil yang disebut toilet. Aku mengekor bersama Isan dan dua orang lainnya. Menunggu Arman sembari mengobrol tentang situasi pabrik ini.
"Supervisor itu ada tiga, teh Marni yang paling senior dan paling cerewet. Yang dua lagi namanya kang Rahman dan pak Supri," jelas Isan.
"Kang Rahman pendiam, tapi aslinya baik. Kalau pak Supri, galaknya sama dengan teh Marni. Udah banyak yang dipecat sama pak Supri, jadi kalian kudu hati-hati," sambung Edi, pria bertubuh pendek dan agak montok.
Aku manggut-manggut dan menyimpan informasi ini baik-baik. Berharap bisa mengorek keterangan lagi dari teman-teman di sini. Agar kasus penyelundupan bisa segera dituntaskan, dan aku bisa pulang ke rumah tercinta.
Ahh ... betapa aku sangat merindukan kasur yang empuk dan nyaman.
***
Tanpa terasa hari pun beranjak sore. Bunyi bel tanda jam kerja usai telah berbunyi. Aku dan rekan-rekan segera jalan ke luar pabrik. Merasa lega satu hari melelahkan telah dilewati.
Sekelebat helm Doraemon dan motor matic kecil melintas. Spontan aku berteriak. "Iis ....!"
Entah karena gugup atau terkejut, pengendara motor itu tiba-tiba mengerem dan menyebabkan ban-nya bergeser karena aspal yang cukup licin.
Brrruuukkk!
"Arrrggghhh!" Teriakan banyak karyawan pabrik yang sebagian besar adalah perempuan.
Aku lari secepat kilat menghampiri pengendara yang terjatuh itu. Membantunya bangun dan duduk di aspal.
Wajah cantik Iis tampak meringis. Aku mengangkat sikunya yang ternyata luka hingga mengeluarkan darah. Iis membeliakkan mata melihat luka itu. Tiba-tiba tubuhnya melemas dan segera kutangkap. Dia pingsan!