SUAMI ONLINE 16 B
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Yuyun yang sudah menyadari keberadaan Mbak Bosnya langsung menyapa.
"Udah selesai, Mbak Bos? Kalau udah kita pulang," ajak Yuyun yang sudah bersiap duduk di motor. Sedangkan sekantong sawi duduk manis di sela kedua kakinya.
"Udah. Sawinya udah bayar?"
"Udah. Tapi kata Mas Bos cuma suruh bayar setengah," jawab Yuyun sambil menyodorkan uang kembalian.
"Jadi enggak enak belanja di sini," ujar Kenes menerima uang kembalian lalu memasukkan ke dalam tas.
Yuyun tertawa, ia tahu memang serba salah jika belanja di tempat orang terdekat. Semua serba tidak enak.
"Ya udah lah, Mbak Bos. Anggap aja rejeki kita. Pulang yuk?" ajak Yuyun sekali lagi.
Kenes melihat sekali lagi punggung suaminya yang semakin menjauh dari pandang. Hatinya selalu berharap tidak pernah ada orang ketiga dalam biduk rumah tangganya. Hanya kehadiran bayi mungil yang ia inginkan jika ada kehadiran orang ketiga.
"Udah, Mbak Bos ... jangan diliatin terus. Mas Bos aman, kok, di sini. Dia punya senjata sendiri untuk mengusir mereka," ucap Yuyun yang heran melihat Mbak Bosnya masih menatap kepergian suami.
Kenes berbalik. Lalu segera naik ke boncengan. Ia tahu kalau Yuyun sudah lelah menunggu.
"Ini udah naik. Buruan," titah Kenes sembari berpegangan pinggang Yuyun.
Ketika Yuyun sudah merasa aman, ia melajukan motornya meninggalkan wisata sayur milik suami Mbak Bosnya. Karena perjalanan pulang, Yuyun merasa lebih cepat sampai.
"Tadi cewek yang jalan bareng sama Mas Bos siapa, Mbak?" tanya Yuyun setelah ada pemberhentian karena lampu merah.
"Temennya Danesh. Kenapa?"
"Nanya aja, Mbak Bos. Sepertinya lumayan dekat. Tadi cemburu ya?"
"Enggak. Danesh udah jelasin semuanya. Sebelum ini, aku udah pernah ketemu," jelas Kenes.
Yuyun melirik lampu yang sudah berganti warna hijau, motor kembali melaju menyusuri jalanan yang lumayan ramai. Sebagai karyawan sekaligus teman berbagi cerita, Yuyun memahami bahwa setiap hubungan bisa seperti lampu traffic light. Ada kalanya harus berhenti jika hubungan tidak memungkinkan. Ada saatnya harus kembali melaju dan juga berhati-hati, jangan sampai logika dan hati saling bertubrukan.
Motor berhenti tepat di depan warung seblak milik Mbak Bosnya–Kenes Nismara. Terlihat ada beberapa motor pengunjung terparkir rapi di halaman warung.
"Waduh, Mbak Bos ... kasian Anto. Pasti kewalahan," ucap Yuyun saat turun dari motornya.
Kenes ikut melihat keadaan sekeliling. Sepertinya ucapan Yuyun memang benar.
"Yun, kamu kirim pesan untuk minta dianterin bumbu dan beberapa pelengkap lain ke Mbak Suci ya?" titah Kenes lalu berlari kecil masuk ke warung.
Yuyun banyak tahu kalau Mbak Suci adalah penyetor semua bumbu dan beberapa pelengkap pembuatan seblak. Mbak Bos sudah b**********n dari sejak pertama warung ini dibuka. Kabarnya mereka menjalin persahabatan. Katanya biar sama-sama saling membutuhkan dan mengeratkan tali silaturahmi.
Tidak ingin membuat Anto kewalahan lebih lama, Yuyun segera mengambil ponsel dan menulis pesan singkat untuk Mbak Suci.
Yuyun
[Mbak pesen bumbu dan toping kayak biasa ya? Ditunggu. Pembayarannya juga kayak biasa.]
Setelah memastikan pesan terkirim, wanita yang sudah bekerja sejak warung ini dibuka, bergegas masuk dan membantu yang lain.
Anto dan Mbak Bos terlihat cekatan. Yuyun langsung menghampiri dan membawa nampan untuk mengantar pesanan pengunjung.
"Untuk meja nomor berapa, Ant?"
"Nomor tiga level dua." Anto menjawab tanpa menatap Yuyun. Tangannya masih sibuk dengan masakannya.
"Oke. Cus ...." Yuyun langsung membawa pesanan ke meja nomor tiga.
"Meja nomor tiga, level dua?" tanya Yuyun lembut dengan senyum paling manis. Ia percaya pepatah kalau pembeli adalah raja. Jadi, sudah sewajarnya diperlakukan lembut dan sopan.
"Betul, Mbak."
Yuyun meletakkan dua mangkuk di meja dengan hati-hati. "Selamat menikmati," imbuhnya lagi.
Namun, langkahnya terhenti karena ada yang memanggil.
"Ada apa lagi, Mbak?"
"Teh manis hangat dua ya?"
"Asiap!"
Dari arah lain juga terlihat seseorang mengangkat tangannya sebagai kode ingin memesan. Yuyun bergegas menghampiri.
"Iya, Mas? Pesan apa?"
"Level tiga komplit ya ... minumnya teh manis hangat."
"Ditunggu ya, Mas ...."
Yuyun kembali melangkah ke dapur. Lalu menyampaikan semua pesanan pada Anto. Meski keadaan sudah biasa seperti ini, tetapi lumayan bisa melelahkan raga. Beruntung, Mbak Bos bukan tipe juragan yang mewajibkan gerak setiap saat. Jika ada waktu senggang, maka kesempatan untuk istirahat selalu ada.
"Ant ... seblak komplit level tiga," ucapnya dengan napas sedikit cepat. Mungkin lelah.
Kenes yang melihat menjadi kasian.
"Kalau capek, duduk dulu," ucap Kenes sembari menyodorkan segelas air putih. "Minum dulu ... biar aku aja yang buat teh manisnya."
Sikap seperti inilah yang membuat Yuyun betah bekerja di sini. Mbak Bos tidak segan turun tangan sendiri jika keadaan lumayan ramai.
"Makasih, Mbak Bos," jawab wanita yang langsung menerima gelas dan meminumnya. Ia memilih duduk sembari menunggu Anto membuat pesanan.
Yuyun menyadari kalau Anto memiliki pesona lain saat memasak. Wajahnya terlihat serius, tidak seperti biasanya. Seulas senyum tipis merekah begitu saja tanpa disadari.
"Aih ... mataku pasti lelah karena melihat Anto terlalu lama. Jadi ngerasa dia oke," gumam Yuyun sembari menggeleng beberapa kali.
Kenes geli sendiri melihat tingkah karyawannya. Mungkin Yuyun belum menyadari kalau ada rasa tertarik dalam dirinya. Pandangannya beralih kembali dan fokus membuat teh manis hangat.
Lagi, teh manis membuat Kenes berpikir tentang pertemuannya dengan Emran. Ia masih tidak percaya kalau jalan yang digariskan untuknya bisa begitu penuh kejutan. Ada ketenangan merasuk jiwa saat mengetahui mereka adalah orang yang sama. Hanya dirinyalah yang kurang peka dengan semua petunjuk yang ada.
"Aku memang bodoh ...," lirihnya.
"Siapa yang bodoh, Mbak Bos?" Yuyun tiba-tiba berada di depannya. Ia ingin melihat apa teh manis hangat sudah siap. Eh, orang yang buat malah lagi ngajak bicara sama gelas. Jatuh cinta memang kadang bisa membuat gila.
Kenes terkejut melihat Yuyun yang berada di depannya dengan mata berkedip-kedip.
"Mata kamu kenapa?"
"Ya elah ... ditanya malah balik tanya. Mikirin Mas Bos, ya?" tanyanya menggoda.
"Iya. Tiba-tiba jadi inget dia. Ya udah, nih, teh manis hangatnya udah jadi," jawab Kenes sembari meletakkan gelas satu per satu ke atas nampan.
"Tinggal telepon atau kirim pesan. Gampang, kan ... biar enggak kepikiran terus," usul Yuyun yang langsung pergi mengantar pesanan.
Kenes mulai menimbang baiknya telepon atau kirim pesan. Ia jadi mengingat kalau pernah bertukar nomor telepon. Ponsel dalam saku segera ia ambil, lalu mencari nomor yang belum sempat diberi nama.
Matanya menemukan nomor baru dalam kontak panggilan. Tangannya dengan lincah menuliskan pesan pembuka. Sebelumnya, ia memberikan nama 'Danesh Emran' pada kontaknya.
Kenes
[Lagi ngapain?]
Setelah memastikan terkirim, Kenes menyimpan kembali ponselnya. Ia harus kembali dalam kesibukannya. Meski raga lelah bekerja tapi ini lebih baik daripada berdiam diri. Dengan bekerja, semua persoalan bisa terlupakan meski hanya sekejap saja.
-----***-----
Bersambung