BAB 16 A

1407 Words
SUAMI ONLINE 16 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Kehadiran bayi mungil selalu menjadi dambaan setiap pasangan, apalagi untuk orang tua. Mereka akan selalu ingin memiliki dengan segera. Setidaknya jika memiliki cucu, maka akan ada ikatan yang lebih erat dalam keluarga. Namun, dalam hal ini bukan hanya membutuhkan keinginan saja, melainkan kesiapan mental yang matang juga diperlukan. Apalagi anak merupakan rahasia Sang Pencipta. Tidak semua pasangan langsung bisa mendapatkannya, kadang ada yang harus melewati penantian panjang. Semua itu tergantung ketetapan Tuhan. Manusia hanya bisa berencana tapi keputusan kapan waktunya, Tuhan yang berkuasa. Kenes masih terdiam. Ia tidak tahu apakah bisa mengabulkan permintaan orang tua untuk segera memberikan cucu. Ia berharap, mereka tidak menilai sebuah pernikahan dengan cepat atau lambatnya dari kehadiran buah hati. Kenes menatap sekali lagi wajah sang mertua yang menyiratkan harapan besar pada pernikahannya. Sungguh tidak sampai hati jika membuat mereka kecewa. "Kamu enggak menunda, kan, Sayang ...?" tanya mamannya Danesh setelah selesai makan. "Sebaiknya jangan KB dulu ya? Lagian, kan, kalian pengantin baru," imbuh sang mertua lagi. Kenes mencoba tersenyum mendengar nasihat dari mamanya Danesh. Ia sama sekali tidak ada pikiran untuk menunda kehamilan. Ia hanya ingin menjalani kehidupan rumah tangga dengan semestinya seperti pasangan lain. "Aku tidak KB, kok, Ma. Kalau semisal dikasih cepet, ya, alhamdulilah. Kalau belum dikasih, ya, tetep ikhtiar," jawab Kenes sebijak mungkin. Danesh menatap sang istri dengan pikiran yang entah. Ia mengira kalau ucapan Kenes seakan memberi tahu kalau dirinya siap berusaha bersama untuk memberikan keturunan yang soleh dan soleha. Diam-diam hati Danesh merasa lega kalau Kenes memikirkan buah hati. Ia takut kalau waktu sang istri akan dihabiskan untuk seluruh kegiatannya di warung. Apalagi dulu pernah mengabaikan soal jodoh demi fokus ke pekerjaannya. Akan tetapi, harapan itu kini menyala terang untuk kehidupan yang lebih sempurna. "Kami di sini akan selalu mendoakan kalian. Iya, kan, Yah?" tanya sang mama pada Ayah yang sejak tadi menatap menantunya dengan binar bahagia. Mimpinya menyatu bersama keluarga Karta–sahabatnya, kini menjadi kenyataan. "Itu pasti. Doa Ayah akan selalu ada setiap hari untuk kalian," jawab ayah mertua. Mereka lagi-lagi tersenyum dengan hangat. Kenes merasa nyaman meski pertanyaan mereka membuatnya sedikit tertekan. Danesh yang sejak tadi menjadi pendengar ingin sekali menyelamatkan Kenes dari situasi sekarang. Ia takut sang istri menjadi kepikiran karena keinginan mereka bisa berubah menjadi sebuah tuntutan. "Em ... Ma, Kenes sepertinya harus kembali ke warung. Kasian nanti kalau Anto kerepotan. Lagian Yuyun sudah menunggu terlalu lama," ucap Danesh sembari mengedipkan matanya pada sang istri agar segera berpamitan. Kenes mengerti kode yang diberikan oleh suaminya. Meskipun merasa tidak enak, tetapi ia juga ingin segera terselamatkan dari keadaan yang terbilang cukup menguras perasaan. "Aku pulang dulu, Ma, Yah ... kasian kalau Yuyun menunggu terlalu lama," pamit Kenes sambil mencium punggung tangan orang tua Danesh. "Hati-hati di jalan, ya ... nanti pulangnya nunggu dijemput Danesh aja. Jangan lupa juga ngabarin Ibu sama bapakmu untuk kumpul keluarga di rumahmu," pesan ayah mertua. "Iya, Yah. Assalamu'alaikum ...." "Wa'alaikumsalam." Kedua orang tua itu menatap kepergian anak dan menantunya dengan doa terbaik untuk kebahagiaan mereka. Karena melihat anak bahagia akan selalu membuat keduanya merasa ikut bahagia, bahkan lebih. ~~ Danesh mengantar istri tercinta sampai ke parkiran motor dengan bergandengan tangan. Senyum keduanya terus merekah. Sesekali mereka saling beradu pandang. Yuyun duduk manis di kursi panjang dekat pohon belimbing menunggu Mbak Bos sambil bermain ponsel. Sebelum langkah mereka sampai di depan Yuyun, Danesh menghentikan langkah wanitanya. "Sayang ...." Danesh memanggil. "Iya ... kenapa, Mas?" "Omongan Mama, enggak usah terlalu dipikirkan ya? Aku tidak akan memaksa jika kamu belum siap," kata Danesh dengan tatapan yang tidak menghakimi dan menyalahkan. Kenes tersenyum. Sepertinya Danesh begitu mencintai dirinya sampai rela mengabaikan keinginan sendiri. Ia menjadi malu karena selama ini Danesh lebih sering mengalah untuknya. "Aku enggak apa-apa, Mas. Omongan Mama kamu benar, kok. Kamu enggak usah merasa tidak enak. Aku yang harusnya tidak enak di sini, karena menunda memberikan hakmu sebagai suami. Aku minta maaf, Mas ...," sesal Kenes. "Hus! Kamu enggak perlu minta maaf. Aku yang salah karena tiba-tiba hadir dalam hidupmu dengan status suami tanpa ada perkenalan terlebih dahulu. Aku hanya meyakini kalau istri pilihan Ayah pasti yang terbaik. Nyatanya, aku bisa memiliki wanita tangguh sepertimu," jawab Danesh berusaha tidak membuat Kenes merasa bersalah. Ada rasa bahagia dalam d**a mendengar penuturan Danesh yang selalu tidak pernah menyudutkannya. Hal ini juga yang terus membuat bunga cinta tumbuh kian mewangi. Apalagi setelah mengetahui kalau Emran dan Danesh adalah orang yang sama. Perasaan di hatinya semakin menggebu. Kenes menggenggam erat tangan sang pria. Senyum juga tidak lupa ia suguhkan. "Mas ... bahas masalah ini enggak usah terlalu sering. Kita tidak perlu merasa saling bersalah untuk perihal yang tidak seharusnya. Pokoknya ... kita hanya harus berusaha yang terbaik untuk kebahagiaan kita sendiri. Ya, udah, aku ke warung dulu. Kasian Anto sendirian." Kenes mengungkapkan apa yang ia rasakan. Ia tidak ingin lagi berbohong tentang hatinya. Tatapan yang saling bertemu membuat sang pria bisa merasakan kesungguhan ucapan sang istri. Danesh mengelus lembut rambut Kenes dengan binar bahagia. Ia merasa bangga dengan pola pikiran istrinya. Ia masih tidak menyangka Kenes bisa sebijak sekarang. Padahal saat bertemu, judesnya itu .... Tanpa malu, sang pria membawa tubuh wanita yang kini begitu berarti ke dalam dekapan dan memeluknya erat. Baginya, memiliki Kenes adalah anugerah terindah. "Makasih, Sayang ... atas sikapmu yang tidak lagi keras," bisik Danesh. "Iya. Aku juga makasih karena kamu tidak pernah lelah berusaha mencairkan hati ini ... Emran ... Danesh Emran." Senyum Kenes merekah malu-malu setelah mengatakan satu rahasia yang baru ia ketahui. Seketika Danesh melepaskan pelukan. Wajahnya menyiratkan keterkejutan. Sejak kapan Kenes menyadarinya? Sedangkan sikapnya sama sekali tidak ada perubahan. "Ka-kamu sudah tahu kalau a-aku ...?" Pertanyaan Danesh menggantung begitu saja. Ia masih tidak percaya kalau Kenes sudah menyadari siapa dirinya. Kenes tersenyum dan mengangguk. "Sejak kapan kamu sadarnya kalau aku adalah Emran?" tanya sang pria ingin tahu. "Belum lama sih ... pas aku nangis pagi-pagi dan buat kamu bingung. Maaf ... kalau enggak cerita. Aku terlalu syok dan tidak percaya kalau kamu adalah orang yang sama," jawab Kenes. Danesh mengerutkan dahinya. Orang yang sama? Maksudnya sama-sama singgah di hati? "Orang yang sama? Maksud kamu apa? Bisa diperjelas enggak?" tanya Danesh yang masih gagal paham. Kenes semakin malu dan salah tingkah, bahkan tidak berani menatap sang pria. Namun, ia ingin mengatakan apa yang dirasakan oleh hatinya. Ia tidak ingin menyesal dalam perasaan yang terjebak kesimpulan sendiri. "Em ... orang yang sama-sama ... membuat aku jatuh hati," jawabnya lalu menyembunyikan wajahnya dengan menatap kakinya sendiri. Danesh menutup wajahnya sendiri dengan telapak tangan lalu melepasnya kasar. Sikap Kenes hari ini sukses membuatnya menjadi pria yang paling bahagia. "Aku ke warung, ya, Mas ... Yuyun udah nungguin," ucap Kenes yang sudah berani menatap sang pria. "Oke. Nanti pulangnya aku jemput. Kalau ada apa-apa kabari," pesannya yang terdengar peduli. "Inget! Jangan centil!" ancam Kenes dengan setengah bercanda. "Asiap, Sayang!" Danesh menjawab begitu semangat. Ketika akan melangkah, wanita yang pernah bertemu di Alun-Alun kembali datang menghampiri. Namun, Kenes bersikap biasa saja. Ia akan mulai belajar mempercayai prianya. "Eh, Mbak Silvia ... mau nyari sawi juga?" sapa Kenes ramah. Senyumnya juga menghiasi bibir. Danesh yang melihat perubahan sikap Kenes menjadi bangga. Silviana pun bersikap tak kalah jumawa. Ia sadar soal jodoh itu tidak selalu bisa sesuai dengan keinginan. Ia harus bisa merelakan apa yang memang bukan miliknya. "Ketemu Mbak Kenes lagi. Nyusulin Danesh ya? Tenang aja, Mbak ... nanti kalau genit biar aku tabok pakai sawi," jawab Silviana dengan tawa khas orang bercanda. "Boleh tuh, Mbak. Hehe ... aku enggak nyusul, nanti juga pulang sendiri. Kan, sudah hafal jalannya. Kebetulan lagi butuh sawi juga buat di warung. Kapan-kapan mampir ke warung seblak Kenes, Mbak. Nanti aku diskon teh manis anget deh ...." Kenes ikut menimpali candaan Silviana. Ternyata perasaanya lebih tenang dengan bersikap seperti ini. "Boleh, deh, kapan-kapan. Pernah liat juga warungnya tapi belum sempat singgah." "Oke. Kalau gitu aku duluan. Mari ...." Kenes berpamitan meninggalkan mereka berdua. Ia tidak peduli dengan ekspresi wajah suami yang menatapnya heran. Danesh melambaikan tangan sambil menatap punggung sang istri yang perlahan menjauh. Ia semakin yakin kalau Kenes mulai menjalani pernikahan ini dengan hati. "Udah sih ... gitu amat liatnya, kan, entar ketemu lagi," ucap Silvi yang gemas melihat Danesh. Meski tidak bisa memilikinya, setidaknya ia masih ingin menjalin pertemanan yang baik. "Namanya juga raja lagi jatuh cinta," jawab Danesh sembari tertawa lalu masuk kembali ke kebun sayurnya. Sedangkan Silviana mengikuti dari belakang. Kenes melirik sekilas saat mereka jalan berdua. "Aku percaya sama kamu, Mas," batinnya. ----***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD