SUAMI ONLINE 12 B
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Malam yang semakin larut membuat jalan gang menuju kontrakan menjadi sedikit sepi. Danesh langsung memasukkan motor ke garasi setelah Kenes membuka pintunya. Tubuh sudah merasa sedikit lelah menghadapi kejadian di warungnya Kenes yang menyedot emosi.
"Langsung bobo, ya, Sayang ... kamu pasti lelah bertemu dengan pria tadi," titah Danesh dengan tatapan sayu.
"Kamu duluan aja. Aku mau ke kamar mandi," jawab Kenes sembari tersenyum. Entah kenapa ia begitu ingin tersenyum menatap pria di depannya.
Seperti tertarik magnet, saat Danesh melihat senyum itu menghiasi wajah wanita yang kini menjadi separuh hidupnya. Bibir kemerahan itu seolah menghipnotis gejolak yang menari indah sejak di parkiran warung.
Keadaan dan tempat yang cukup mendukung membuat Danesh ingin menyentuhnya. Tangan kanannya mulai tidak bisa mengontrol gerakannya. Tiba-tiba Danesh sudah mengusap pipi lembut sang wanita dengan tatapan yang kelewat mesra.
Kenes merasa nyaman dengan sentuhan itu. Ia juga tidak takut menatap sepasang manik kehitaman yang kemungkinan bisa menyesatkan akalnya.
"Ken-ken ... aku benar-benar mencintaimu sejak saat pertama melihatmu. Aku sadar, aku bukan pria terbaik di dunia, tapi aku janji akan selalu berusaha sebaik mungkin. Aku harap kamu bisa menerima apa pun jika nanti ada banyak hal yang akan mengejutkanmu. Aku sayang sama kamu," ucap Danesh tanpa mengalihkan pandangan matanya, bahkan tatapan itu semakin lekat dan tajam.
Seolah sedang melumpuhkan kegengsian seorang Kenes Nismara.
Kenes merasa semakin terjerat akan kata-kata manis sang pria. Bibirnya pun seolah terkunci. Air mata tiba-tiba menitik satu per satu membasahi pipi saat tatapan mata itu terus tertuju pada dirinya. Entah karena apa, ia juga tidak tahu.
Tangan kiri Danesh berusaha mengusap air mata di pipi Kenes dengan lembut. Ia sungguh tidak ingin ada air mata di sana. Kedua tangan membingkai wajah sang istri mesra. Danesh mendekatkan kepalanya semakin dekat dan dekat.
Kenes memejamkan kedua matanya saat merasakan sesuatu yang hangat dan lembut menempel di atas bibirnya. Kedua tangan kecil itu mencoba menggenggam erat kaos sang pria saat kehangatan itu berubah menjadi ketegangan.
Satu menit berlalu mereka masih tenggelam dalam candu madu asmara. Mereka masih berusaha menyelami kedalaman perasaan masing-masing hingga menemukan satu titik yang bernama kenyamanan.
Mereka tidak pernah menyadari ada yang memperhatikan tingkah gila keduanya. Di balik roda motor, pemilik mata yang berkilauan di malam hari sedang mengawasi mereka dengan seksama.
"Meooong ...."
Hewan berbulu orange bercampur putih itu akhirnya bersuara menyampaikan rasa irinya. Dua manusia itu terpaksa menyudahi kenyamanan yang baru saja didapatkan. Namun, tawa keduanya pecah saat mendapati seekor kucing menatapnya dengan mata yang penuh iba.
"Kamu lihat ... kucing aja cemburu saat melihat kita mesra," ucap Danesh dengan tangan yang masih menggenggam jemari Kenes.
"Aku jadi merasa bersalah sudah membuat kucing itu merasa cemburu. Bagaimana kalau kucing itu tidak punya pasangan? Aku baru sadar satu perbedaan. Dulu ... waktu sendiri hati merasa kesepian. Tapi sejak ada kamu, hidupku jadi berwarna dan ramai." Kenes mencoba berkata jujur. Ia tidak mau berbohong tentang perasaannya pada diri sendiri.
Senyum Danesh lagi-lagi merekah begitu saja mendengar pengakuan Kenes. Mungkin sekarang juga gilirannya membuat pengakuan tentangnya.
"Kenes ... aku mau ngomong sesuatu, boleh?" kata Danesh yang seperti meminta izin.
"Di garasi? Boleh aja sih ... emang mau ngomong apa?"
Danesh menatap sekeliling. Ia baru sadar kalau mereka berada di garasi. Matanya melihat dua kursi plastik di sebelah motor. Mungkin baiknya duduk di sana, atau ... di kamar?
"Maunya ngomong di kamar apa di sini? Apa di kamar aja sekalian istirahat. Gimana?" tawar Danesh.
"Ya udah."
Mereka berjalan bergandengan tangan dengan senyum yang sama-sama merekah di wajah keduanya. Ya, waktu memang obat paling mujarab.
Dengan waktu, segala macam kesakitan dan kegigihan bisa terobati dengan caranya sendiri.
Cara yang bisa mengubah semuanya menjadi suatu pemahaman yang membuat manusia menjadi lebih baik. Seperti Kenes yang mulai bisa menerima Danesh dan pernikahannya.
Setelah sampai di kamar, Kenes dan Danesh mencuci kaki bersama, lalu beranjak naik ke tempat tidur. Rasa nyaman ternyaman adalah bisa rebahan ditemani pasangan.
Mereka tiduran sembari memandang wajah masing-masing. Aih ... jadi ingat lagunya Mba Ike Nurjanah. Kenes berpikir ingin menggoda Danesh dengan lagu itu, siapa tahu dia menyukainya lalu membalasnya.
"Memandangmu ... walau selalu. Tak akan pernah jemu di hatiku ...." Kenes bernyanyi dengan suara yang lumayan merdu.
Danesh tersenyum mendengar Kenes menyanyikan lagu lawas, dangdut pula. Namun, ia sedikit tahu lagunya. Jadi, bisa langsung membalasnya.
"Menyapamu ... walau selalu. Masih terasa merdu bagai di awal jumpa ...." Danesh mencoba mengeluarkan suara anehnya. Seketika Kenes tertawa dan ingin menyudahi godaannya.
"Udah, Mas ... aku jadi pengen ketawa denger kamu nyanyi. Oh, ya ... tadi katanya mau ngomong sesuatu. Mau ngomong apa?" tanya Kenes mengingatkan tujuannya ke kamar selain untuk beristirahat.
"Tapi janji ... enggak boleh marah?"
"Iya ... Sayang ... iya."
Sayang? Danesh bertambah yakin untuk bersikap terbuka karena sikap Kenes yang mulai menerima hubungan ini.
"Dengerin baik-baik. Ini tentang wisata sayur yang diceritakan oleh Yuyun." Danesh mencoba menelan salivanya untuk menjeda kalimatnya.
"Kenapa dengan wisata sayurnya? Aku enggak boleh ke sana?" tanya Kenes dengan wajah penasaran.
"Bukan! Bukan itu. Sebenarnya ... wisata sayur itu adalah usaha milik ayahku. Dan ... pri-pria yang diceritakan Anto itu adalah ... a-aku. Kamu enggak boleh marah, kan, udah janji." Danesh setengah hidup berjuang memberitahukan kenyataan tentang dirinya yang menjadi pusat perhatian para gadis di wisata sayur.
Seketika Kenes bingung harus bersikap bagaimana. Ia tidak tahu harus bahagia karena usaha suaminya terkenal atau bersedih karena suaminya menjadi incaran para wanita.
Danesh menjadi serba salah melihat ekspresi wajah Kenes. Ia tidak bisa menebak isi pikirannya.
“Haish! Jujur salah ... bohong apalagi. Kenapa harus serumit ini berhadapan sama mahkluk yang bernama wanita.”
-----***-----
Bersambung