SUAMI ONLINE 8
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Menikah karena perjodohan dengan cara online memang terkadang bisa menyisakan sedikit ketakutan serta keraguan. Kedua rasa itu akan selalu menyelimuti kalbu karena hati yang belum bisa berdamai dengan keadaan. Apalagi jika harus melakukan sesuatu yang belum diinginkan, termasuk ciuman.
Kenes terpaku, nalarnya masih belum mencerna pertanyaan Danesh itu sesuatu yang hanya membutuhkan jawaban atau tindakan. Tubuhnya mulai berkeringat dingin. Ia belum siap sama sekali jika harus bersentuhan dengan hati yang bergejolak karena cinta.
Danesh dengan sabar menunggu jawaban dari Kenes. Ia sadar kalau pertanyaannya mungkin terlalu cepat di awal pendalaman karakter. Namun, ada rasa ingin menciumnya agar bisa seperti pasangan sah yang lain. Hal ini juga yang tidak bisa ia lakukan saat menikah karena terhalang cara.
Sebelum Kenes menjawab, Danesh mengambil sesuatu di laci meja kecil, di samping tempat tidur. Buku kecil berwarna merah bata dan hijau tua itu ia selipkan di bawah bantal.
"Sampai kapan aku nunggunya? Tinggal jawab, boleh atau tidak," ucap Danesh sambil memutar tubuhnya kembali menghadap Kenes.
Bibir Kenes bergetar, gugup. Sebagai wanita beristri yang sah secara hukum dan agama, ia tahu akan berdosa jika menjawab tidak boleh. Ia juga ingin memiliki predikat sebagai istri yang baik. Nasihat itu pernah ia dengar dari sang ibu.
Kedua matanya terpejam, lalu menghirup napas dalam. Satu keyakinan istri harus taat pada perintah suami membuat Kenes berpikir ingin menjadi wanita soleha. Meskipun masih jauh dari kata sempurna.
Kenes membuka matanya dibarengi embusan napasnya yang terdengar pelan. Lalu bibirnya terbuka dengan jawaban untuk kebaikan keduanya.
"Boleh."
Bibir yang berwarna merah muda itu, akhirnya mampu menjawab dengan satu kata. Satu kata yang kemungkinan akan mengubah kehidupannya.
Danesh tersenyum mendengar jawaban Kenes. Meskipun sorot matanya ada sedikit keraguan, setidaknya sudah ada izin jika ia ingin melakukannya.
Setelah mendapat izin, Danesh mencondongkan tubuhnya ke arah Kenes. Kedua mata mereka bertemu di jarak yang sangat dekat. Kenes hampir saja tidak bisa menelan ludahnya karena menatap wajah Danesh yang tersenyum penuh arti. Apalagi tatapan mata Danesh yang tertuju pada bibirnya. Hal itu sukses melumpuhkan akalnya.
Debar dalam d**a seakan meningkatkan rasa gugup dan mengubahnya menjadi ketakutan. Ketika wajah Danesh semakin dekat dan semakin dekat, Kenes memejamkan kedua matanya. Ia memasrahkan apa yang ada dalam raganya dengan hati setengah.
Danesh ingin tertawa melihat ekspresi wajah Kenes. Ia terlihat sangat manis jika sedang dalam keadaan gugup. Namun, ia sadar tidak akan meneguk madu itu sampai sang wanita menjatuhkan hati hanya padanya. Ia akan menunggu dengan sabar sampai waktu itu datang.
Danesh langsung mengalihkan tatapannya lalu memberikan kecupan lembut di kening wanita yang masih memejamkan mata. Kenes melirik sekilas saat sesuatu yang hangat terasa di keningnya. Ia bisa melihat dagu sang pria yang hampir menyentuh hidungnya. Sedetik kemudian, Kenes menutup kembali kedua matanya, menikmati kecupan pertamanya.
Hangat dan lembut.
Setelah Danesh merasa cukup, lalu ia menarik diri. Tangan kanannya mengusap lembut pipi sang istri. Kenes menjadi tersentuh mendapatkan perlakuan yang cukup manis. Danesh ternyata pria yang tidak terburu-buru.
"Terima kasih, kamu sudah mau mengawali kehidupan baru bersamaku. Ya, walaupun kita menikah online, tetapi bagiku kamu adalah istri yang nyata. Nyata bisa mencuri setengah hati ini," ucap Danesh sembari menunjuk dadanya.
Hati Kenes lama-lama dipastikan meleleh mendengar rayuan pria di depannya. Danesh lumayan cukup lihai bermain kata dalam merayu. Soal tindakan pun, ia cukup bertanggung jawab.
"Udah, deh. Enggak usah jualan gombal. Malu sama usia," jawab Kenes sambil menepis tangan sang pria yang masih mengusap pipinya.
Danesh terkekeh melihat kedua pipi Kenes merona. Tangannya berpindah dari pipi menuju bantal. Ia mengambil buku kecil yang belum sempat ditanda tangani Kenes.
"Kamu tanda tangan dulu, biar lebih sah lagi," ucap Danesh sambil meletakkan buku kecil berwarna hijau tua di atas tempat tidur. Buku yang berwarna merah bata sudah ia tanda tangani lebih dulu setelah acara selesai, dua hari yang lalu.
Kenes melirik buku kecil yang bertuliskan 'BUKU NIKAH ISTRI' tergeletak di atas tempat tidur. Ia tiba-tiba meragukan apakah pernikahannya bisa sah secara hukum dan negara. Padahal matanya melihat sendiri sang bapak menjabat erat tangan Danesh saat itu.
Entah kenapa kepalanya tiba-tiba memikirkan itu, membuat hatinya menciut kalau dituduh tinggal serumah dengan pria yang bukan suaminya.
"Aku boleh tanya satu hal enggak?" tanya Kenes sembari menatap Danesh sebelum tangannya bergerak membuat goresan.
"Tanya aja. Aku pasti jawab. Asal jangan bertanya tentang perpisahan," jawabnya. Senyumnya lagi-lagi seperti sihir.
"Sebenarnya pernikahan kita ini sah atau enggak sih? Kan, lewat online. Karena kesibukan di warung aku memang benar-benar tidak bisa pulang. Ini juga izin sama karyawanku cuma sehari. Malah jadi dua hari. Aku takut jika tetangga memandang sebelah mata. Pikiran orang tidak ada yang tahu." Kenes menjelaskan ketakutannya dengan begitu jelas.
Danesh bisa mengerti ketakutan itu. Ia hanya mengambil langkah yang sebisa mungkin masih memenuhi syarat sahnya pernikahan. Sebelumnya para orang tua juga sudah memikirkan hal ini sebelum pernikahan terjadi.
"Aku sempat mencari tahu sedikit di internet. Pernikahan online yang dihadiri wali dari perempuan dan calon suami juga para saksi bisa dinyatakan sah. Apalagi dilakukan di satu ruangan. Tapi nanti aku coba cari tahu lagi pada orang yang lebih ahli. Selama menunggu, aku tidak akan meminta hakku. Setidaknya sampai kamu benar-benar mau menerimaku sebagai belahan jiwamu," jawab Danesh dengan senyum khasnya.
Kenes mengerutkan dahinya. Ia berpikir kalau pria di depannya sudah tahu kebenaran tentang pernikahan dua hari yang lalu. Namun, ia bersyukur Danesh mau memahami rasa takutnya. Apalagi dia mau memutuskan menunda hal yang menjadi haknya. Hal ini membuat hati Kenes menjadi tersentuh, terbawa oleh sikap sang pria yang mau mengalah.
Ternyata semua ucapan Ibu, Om Heru, dan Bu Hesti mendekati kebenaran. Danesh memang pria yang baik. Kenes menjadi merasa bersalah sempat berburuk sangka padanya, bahkan ingin membuatnya menyudahi pernikahan ini.
"Udah ... enggak usah mikirin ini dulu. Aku meyakini kalau pernikahan kita ini sah. Sebab aku sendiri yang menjabat tangan bapakmu untuk mengucap janji suci," ujar Danesh sambil mengusap lembut pundak sang wanita.
"Kamu simpan dulu aja buku nikahmu. Kamu bisa tanda tangan lain waktu," ucap Danesh lagi. Ia tidak ingin memaksa.
Kenes menatap buku kecil di tempat tidur. Meskipun masih ragu, tetapi hatinya juga meyakini bahwa pernikahannya sah, sebab hatinya mulai merasa aman dan nyaman bersamanya. Jadi untuk apa menunda menuliskan sebuah goresan. Tangannya gesit mengambil bolpoint di meja kecil di samping tempat tidur. Kemudian membuka buku nikah dan menggoreskan tanda tangan.
Danesh menatap Kenes dengan binar bahagia. Ia tinggal menggoreskan tanda hati dalam hubungannya.
"Mau disimpan bareng atau sendiri-sendiri?" tanya Danesh setelah melihat Kenes selesai.
"Kamu aja yang nyimpen. Jadiin satu. Biar enggak susah nyarinya," jawab Kenes sembari menyerahkan buku kecilnya.
Danesh menyimpannya di laci meja kecil di samping tempat tidur. Sebelumnya kedua buku penuh sejarah itu dimasukkan dalam plastik berwarna bening.
"Mau mainan lagi atau mau ngapain?" tanya Danesh memberi pilihan untuk mengisi hari.
Kenes yang biasa bergelut dengan kesibukan, tiba-tiba mati kutu jika harus berdiam diri di rumah. Ia merasa beruntung karena sekarang ada Danesh yang menemani. Setidaknya ia mempunyai teman ngobrol dan bercanda.
"Enggak usah pake mainan kalau mau tanya, boleh?" pinta Kenes. Ia merasa kesal sendiri karena sering kalah dalam permainan.
Danesh berpikir sejenak. Sebenarnya ini menguntungkan, karena ia bisa mengenal lebih dalam lewat obrolan tanpa melalui permainan konyol.
"Boleh. Emang mau tanya apa lagi?"
"Tentang Silviana. Kenapa kamu menolak gadis secantik dia, masih muda lagi dibandingkan aku. Aku udah mau kepala tiga." Entah kenapa Kenes ingin mencari tahu tentang Silviana, wanita yang pernah bertemu di Alun-Alun.
Hati Danesh berdebar tidak menentu. Ia mengira Kenes sudah melupakan tentangnya, tetapi nyatanya masih membuatnya penasaran.
"Em ... kan, kemarin udah aku jelasin. Aku yakin kemarin kamu cuma pura-pura tidur. Dalam kasus pertemanan tidak semua perasaan harus berbalas. Memang ada yang dari temen jadi manten, tetapi tidak semua berakhir seperti itu. Bukankah hati tidak bisa dipaksa? Kecuali kamu ... keadaan memaksa takdir menciptakan pertemuan ini," jawab Danesh dengan mengerlingkan mata kanannya.
Seketika Kenes merasa bertemu dengan seorang perayu ulung. Desiran aneh yang sempat datang saat pertama melihat wajahnya di layar ponsel, kini datang lebih jelas. Ia mulai terpesona oleh Danesh. Bayangan tentang Emran sudah tidak begitu menyakitkan hatinya karena kehadiran Danesh.
"Gombal banget!"
"Beneran. Ngapain jualan gombal sama istri sendiri. Istri itu sudah seharusnya disayang dan dimengerti." Ucapan Danesh kali ini sukses membuat Kenes tersipu malu. Kedua pipinya berubah menjadi kemerahan.
"Oh, ya. Ibu-ibu yang nemenin kamu pas kita ijab, rumahnya yang mana?" tanya Danesh yang mengingat Kenes ditemani seorang perempuan saat melaksankan ijab.
"Maksudmu, Bu Hesti?" jawab Kenes heran karena pria di depannya masih mengingat orang yang menemaninya.
"Mungkin. Aku, kan, enggak tahu namanya. Aku mau ngucapin terima kasih karena sudah menemani kamu saat itu."
"Enggak perlu. Aku sudah mengucapkannya kemarin," terang Kenes yang terdengar seperti mencegah keinginan sang suami.
"Oh ... ya udah kalau gitu. Betewe, kamu punya berapa mantan?" Pertanyaan Danesh membuat Kenes terbatuk. Seolah ada biji kedondong di tenggorokannya, yang memutus suaranya.
"Uhuk, uhuk!"
Danesh menepuk lembut punggung Kenes sampai terlihat membaik. Kenapa hanya mendengar mantan tiba-tiba batuk? Jadi curiga.
"Udah batuknya?" Danesh memastikan keadaan Kenes. Napasnya terdengar sudah mulai stabil.
"Udah. Kalau mau tanya disaring dulu ya! Tiba-tiba tanya mantan," protesnya. Kenes masih memegangi dadanya.
"Ya memang enggak boleh, aku aja udah cerita tentang Silviana. Biar seri, ya, gantian dong. Biar tidak ada rahasia di antara kita," jawab Danesh tidak menyerah. Kapan lagi bisa bertanya, iya enggak? Iya-in aja biar seneng.
"Aku enggak pernah pacaran. Karena terlalu sibuk. Masih muda sibuk belajar, udah tua sibuk bekerja. Tapi ada beberapa pria yang mengajak pacaran. Dan ada salah satu yang sangat gigih, tapi aku enggak tertarik." Kenes menceritakan tentangnya sesuai fakta.
"Kasian sekali pria itu. Apa dia tidak sakit hati karena ditolak olehmu? Aku aja rasanya mau pingsan kalau kamu galak, apalagi kalau ditolak." Danesh membayangkan perasaan pria itu pasti rasanya sakit sekali.
Kenes menggelengkan kepala mendengar ucapan suaminya. Bisa-bisanya ia mengkhawatirkan perasaan orang lain, padahal dirinya juga sama sedang berjuang meluluhkan hati ini.
"Udah sih. Enggak usah mikirin dia. Aku mau keluar ke teras depan. Mau nyiram tanaman," ucap Kenes beranjak dari tempat tidur.
Danesh mengikuti langkah istrinya dari belakang. Ternyata berbincang dengan pasangan membuat lupa akan kebiasaan Kenes menyiram tanaman. Meskipun bukan tanaman mahal, tetapi Kenes selalu merawatnya karena memberi kesejukan untuk rumah.
Kenes mengambil slang air untuk menyiram tanaman. Danesh langsung sigap memutar kran tanpa diminta. Air keluar begitu saja dan langsung diarahkan ke tanaman. Dedaunan menjadi basah seketika.
Danesh berpikir ingin sedikit usil dan mengajak Kenes mengenang masa anak-anak. Ia menginjak slang air dengan kakinya. Kenes yang merasa aneh karena air terhenti, mengangkat slang air ke arah wajahnya. Ia ingin memeriksa apa ada kerusakan.
Kenes juga menggoyangkan slang air berkali-kali, tetapi airnya tak kunjung keluar. Ia juga mengintip lubang pada slang, takut ada sesuatu yang menyumbat.
Danesh menutup mulutnya dengan tangan, lucu melihat wajah Kenes seperti itu. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengangkat kaki dari slang.
"Satu, dua, tiga."
Danesh mengangkat kakinya tepat dalam hitungan ketiga. Seketika wajah Kenes terkena semprotan air dari slang.
"Hei! Siapa yang ngerjain?!" teriak Kenes dengan nada penuh amarah. Setengah bajunya menjadi basah. Rambutnya juga persis seperti kucing terpeleset got.
"Hahaha."
Danesh tertawa melihat penampilan wanita yang sudah tak berbentuk. Kenes yang mendengar Danesh tertawa, langsung mengarahkan slang air tepat di wajahnya. Ini saatnya pembalasan.
Danesh semakin mundur untuk menghindar, sedangkan Kenes semakin maju untuk menyerang. Danesh perlahan merebut slang dari tangan Kenes, lalu mengambil alih. Sekarang giliran sang wanita yang menjadi basah kuyup. Persis seperti bermain mandi hujan.
Kenes berusaha sekuat tenaga merebut slang dari tangan Danesh. Ia juga ingin ikut membalas. Namun sayang, ternyata tidak mudah merebutnya. Apalagi Danesh menyembunyikannya di balik punggung. Kenes terus berusaha merebutnya meski harus dalam posisi sangat dekat. Kedua tubuh mereka persis seperti sedang berpelukan.
Danesh berdiri mematung melihat usaha Kenes yang semakin membuat tubuh mereka menjadi tidak berjarak. Ketika kedua mata mereka bertemu, Kenes baru menyadari kalau dirinya sedang memeluk pria di hadapannya.
"Haish! Kok, malah pelukan gini sih ... dasar tangan enggak ada sopan santun," rutuknya pada diri sendiri.
Tatapan Danesh seakan mengunci kesalahannya. Kenes merasa tersihir. Mereka tidak pernah menyadari ada seorang pria yang melihat adegan romantis ala drama Korea versi kampung.
"Jadi kamu menolakku gara-gara pria itu. Tunggu saja, aku akan buat permainan untukmu."
----***-----
Bersambung