SUAMI ONLINE 18 B
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Danesh yang memang juga tengah berisitirahat dan ingin mengirim pesan, tiba-tiba satu pesan masuk lebih dulu. Inikah namanya telepati?
Meskipun bibir tersenyum tapi batin sang pria menjerit menahan lara memikirkan perasaan Kenes saat ini. Tangannya bergegas membalas pesan yang bertuliskan 'kangen.' Bukan hanya dia yang kangen, tetapi dirinya juga kangen, banget malah.
Danesh
[Sabar ... entar habis Asar, aku jemput. Aku juga kangen banget sama kamu. Baik-baik ya ... muach! Satu kecupan untuk wanita kuat. Terserah mau di mana aja, kamu yang tentuin.]
Seketika senyumnya merekah saat mendapati ponselnya berdering. Satu pesan dari suaminya menunggu untuk dibaca. Matanya kembali berbinar membaca pesan yang tertulis. Danesh memang selalu bisa membuatnya tersenyum dengan caranya sendiri.
"Ish ... kalau gitu nanti pas ketemu mau aku tagih kecupannya. Dasar ... dari pertama ketemu enggak berubah. Selalu sesuka hati," batin Kenes dalam hati.
Walau begitu, ada yang merekah di dalam d**a. Ia kini merasakan ketulusan sang pria. Danesh yang selalu sesuka hati, selalu memberi tanpa pernah menuntut dan siap menunggu sampai hati ini menguat. Ya, sekarang semua rasa itu telah mengakar kuat mencari pegangan terkokoh hanya pada satu tempat.
Setelah tubuh kembali strong, Kenes menyudahi istirahatnya. Pesan dari sang pria mampu melupakan ucapan Ratan. Ia percaya kalau Danesh akan menjaganya sampai akhir dan tidak akan membiarkannya terluka. Raganya kini telah siap bekerja lagi sampai nanti bertemu suami tercinta.
Kenes memutuskan melakukan empat rekaatnya sebagai pelengkap ketenangannya di ruangan kecil yang disekat gorden sebelah dapur. Ia sengaja membuat ruangan itu agar tidak terlalu jauh mencari tempat ibadah.
Hati lebih tenang kala hati dan bibir menyebut nama Sang Khalik. Senyumnya juga bisa lebih lepas. Setelah merapikan mukena, Kenes kembali beraktifitas seperti biasa.
Kedua karyawannya tersenyum melihat perubahan wajah wanita yang memberi mereka pekerjaan.
"Kalian istirahat dulu aja, lagian sudah tidak terlalu ramai, hanya beberapa. Tapi jangan lama-lama ya? Kalau udah makan dan lain-lain langsung balik lagi," titah Kenes sembari tersenyum dan duduk di meja kasir.
"Oke, Mbak Bos!" Keduanya menjawab serentak dan berlalu ke belakang untuk makan dan salat.
Kenes menatap kepergian mereka sekilas. Lalu duduk melamun menunggu pengunjung. Baru saja akan memulai khayalan, satu pengunjung menghampiri.
"Mbak, tadi teh anget sama seblak level komplit jadinya berapa?" tanyanya sembari membuka dompet.
"Semua lima belas ribu, Mas."
"Ini, Mbak ...." Pria berjaket jeans itu mengulurkan uang pas pada Kenes.
"Makasih ...." Kenes menatap kepergian pria itu sampai punggungnya tidak terlihat lagi.
Harga seblak memang bervariasi, tergantung toping yang dipesan. Semakin komplit maka semakin mahal. Kenes menghargai seblak komplit dengan toping ceker, sosis, sayur dan juga bakso seharga dua belas ribu. Harga paling murah tujuh ribu hanya dengan sayur dan sosis juga krupuk.
Kenes begitu bersyukur karena usahanya sekarang lumayan terkenal. Apalagi kadang membuka jasa pengiriman. Makanya diperlukan tenaga pria untuk membantu untuk berjaga-jaga.
Setelah formasi lengkap, mereka kembali bersibuk ria dari waktu ke waktu sampai sore menjelang petang. Lelah raga sudah biasa, semua demi masa depan.
Di sana Danesh pun sudah bersiap untuk menjemput sang istri. Setelah berpamitan pada orang tuanya, ia bergegas melajukan motor dengan hati cemas bercampur bahagia. Ia takut kalau si Ratan datang mengganggunya lagi. Jadi, ia harus segera sampai di warung.
Tiga puluh menit berlalu setelah menyusuri jalanan dari persawahan hingga perumahan, akhirnya tiba di depan warung Kenes. Danesh masih melihat dua kendaraan terparkir di halaman warung. Ia memilih melangkah ke warung untuk menemui sang istri.
Matanya melihat wanita itu tengah sibuk di meja kasir. Mungkin sedang menghitung pendapatan hari ini. Yuyun dan Anto juga nampak sedang duduk santai di kursi.
"Ehem! Assalamu'alaikum ...." Suara sapaan seorang pria membuat mereka mengangkat kepalanya.
"Wa'alaikumsalam ... ada apa, Mas? Cari siapa? Atau mau pesan teh manis hangat?" jawab Kenes sembari melempar pertanyaan seraya mengenang pertemuan pertama dulu.
Danesh tersenyum dan pura-pura menatap ke arah lain. Kepalanya masih ingat saat ke sini sebagai Emran yang hanya memesan teh manis hangat.
Haish! Kenapa sekarang malah gerogi.
Sepasang matanya mencoba kembali menatap manik kehitaman milik wanita yang sedang tersenyum menatapnya. Ah, apa maksudnya ini?
"Em, boleh deh, teh manis hangat satu ya? Nanti biar aku bayar sama yang dulu. Semoga nanti udah ada kembaliannya," jawab Danesh tak mau kalah menggodanya.
Kenes menutup bibirnya yang ingin tertawa jika mengingat kejadian dulu, rasanya malu sekali. Tanpa menjawab, Kenes segera bangkit dan membuat teh manis hangat. Sementara sang pria memilih tempat duduk di meja nomor dua. Yuyun dan Anto hanya menonton sembari membersihkan meja yang baru saja ditinggal pengunjung.
"Ini tehnya, Mas." Kenes meletakkan segelas teh manis hangat di hadapan sang pria lalu berlalu pergi menuju meja kasir.
Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ada yang memanggil namanya.
"Ken-ken! Masa suami mau minum teh malah ditinggal sih? Temenin dong ... biar tambah manis ya?" pintanya sembari mengedipkan matanya.
Wanita yang masih membawa nampan itu mengembuskan napasnya perlahan. Tehnya saja sudah manis pakai minta ditemenin segala, nanti kalau kena diabetes gimana?
Kenes menarik kursi hingga menimbulkan bunyi derit lalu mendudukinya. Ia merasa aneh, tidak bertemu rasanya kangen, tetapi saat berhadapan rasanya ... entahlah.
"Temenin sebentar. Setelah habis baru kamu siap-siap untuk pulang. Biar kamu bisa istirahat di rumah," ucapnya sambil menyesap tehnya dari sedotan. Netranya tak pernah lepas menatap makhluk yang menurutnya paling indah sedunia.
"Iya," jawabnya singkat.
Kenes sesekali membuang tatapannya jika kedua mata itu bertemu. Ia tidak ingin terhipnotis olehnya di tempat ini. Malu kalau sampai nanti terjadi hal-hal yang diinginkan.
Danesh tersenyum tipis ketika sang istri membuang tatap matanya. Ternyata Kenes kalau lagi malu-malu terlihat lebih cantik.
Lima menit berlalu begitu saja tanpa ada obrolan. Bahkan sampai teh tersisa setengah, mereka masih terdiam dan saling mencuri pandang. Danesh memainkan sedotan membentuk putaran dalam air tehnya.
"Kamu siap-siap gih ... Biar pas tehnya habis bisa langsung pulang," ucap Danesh memecah keheningan.
"Ya udah. Tungguin."
Kenes bangkit dan mengambil tas yang tergeletak di bawah meja kasir. Yuyun dan Anto terlihat masih sibuk membereskan beberapa mangkuk dan gelas.
"Yun, aku pulang duluan enggak apa-apa?" tanya Kenes merasa sedikit tidak enak.
"Enggak apa-apa, Mbak Bos. Kasian juga sama Mas Bos udah nunggu," jawab Yuyun yang menghentikan kegiatannya sejenak.
"Untuk hari ini pulang lebih awal aja ... dan ini ...." Kenes memberikan amplop berwarna putih pada kedua karyawannya. Sebulan sekali mereka menerima haknya.
Yuyun dan Anto menerima dengan hati bahagia. Mereka sudah menunggu sebulan untuk hari ini.
"Makasih, Mbak Bos," jawab keduanya secara bersamaan.
"Ya udah, aku pulang duluan ya? Seperti biasanya aja kalau mau pulang."
Kenes melangkah menuju pria yang sedang duduk manis menunggunya. Ya, Danesh memang selalu sabar menunggunya dalam hal apa pun.
"Udah selesai?" tanyanya sembari menghabiskan teh manisnya.
"Udah. Ayo pulang," ajaknya lalu melangkah lebih dulu.
Danesh bergegas menyusul wanita yang sukses mencuri hatinya secara penuh. Baginya mencintai wanita sama halnya dengan mencintai diri sendiri, bahkan melebihi. Karena ada satu naluri keinginan untuk melindungi dari berbagai hal.
Kenes mematung di samping motor menunggu sang pria. Danesh langsung memakaikan helm ke kepala istrinya. Tatapan yang saling beradu seakan saling berbicara tentang isi hati. Namun, tidak diungkapkan dengan kata-kata.
"Udah." Danesh menatap sejenak lalu menaiki motornya.
"Makasih," jawabnya sembari naik ke boncengan. Tentunya dengan berpegangan erat.
Keamanan dalam berkendara selalu menjadi nomor satu. Helm sudah, pegangan juga sudah. Danesh melajukan motornya menyusuri jalanan untuk sampai ke tempat ternyaman, yakni rumah kontrakan sang istri.
Angin berhembus yang menerpa kulit membuat Kenes merasa sejuk. Biarlah semua beban terlupakan untuk sejenak. Rasanya menjadi lega dan aman jika bersama pria yang tengah fokus menatap jalanan.
Di pertigaan belokan menuju gang rumahnya, mereka tidak menyadari ada seseorang yang sedang menunggunya.
-----***-----
Bersambung