Black Rose - 07

1838 Words
Nggak harus jadi pacar dulu kan, buat jadiin kamu prioritas aku? Hari berganti. Sejak bangun tadi, aku memikirkan sesuatu. Edwin. Jika dipikir-pikir, akhir-akhir ini laki-laki itu terus berlalu-lalang di kepalaku. Apakah itu artinya aku juga mulai gila? Pagi ini ia akan menjemputku. Tapi bagaimana jika ia bertemu Papa? Apa Papa akan setuju dengan hubunganku dengan Edwin? Kenapa aku jadi khawatir sekarang? Ah... benarkan, aku mulai gila. Seharusnya, aku senang jika sampai Papa nanti melarang hubungan kami. Papa pasti bisa membuat Edwin menyingkir dari hidupku. Tapi.... apakah aku benar-benar menginginkannya pergi dari hidupku? "Sayang, cepatlah! Sarapan sudah siap," teriak Mama dari balik pintu "Iya, Ma, ini lagi pakai sepatu," balasku. Beberapa saat kemudian, aku keluar dari kamar dan bergegas ke ruang makan. Sudah ada Mama dan Papa di sana. "Morning, Ma, Pa," sapaku. "Morning, sayang," balas mereka kompak. Ya, seperti inilah suasana rumahku hampir setiap pagi. Baru saja aku menata lauk di piringku, seorang pelayan datang. "Maaf mengganggu, Tuan, Nyonya, Nona," ujarnya sopan. "Ada apa, Bi?" tanya Mama. "Ini. Tadi saya mendapat bingkisan ini di depan gerbang. Tapi satpam juga tidak tahu ini dari siapa," jawab pelayan itu. "Untuk siapa? Dan... memang tidak ada nama pengirimnya?" bingungku. "Di sini hanya tertulis 'Dear, Black Rose', Nona." Aku segera meletakkan sendok di tanganku. Black rose? Peneror itu lagi? "Lalu apa yang harus saya lakukan dengan bingkisan ini, Tuan?" tanya si pelayan itu lagi. "Buang saja!" suruh Papa cepat. Belum sempat pelayan itu beranjak, aku menahannya.  "Tunggu!" cegahku. Aku berjalan cepat ke arah pelayanku kemudian mengambil alih kotak itu. "Calista!" tegur Papa. "Aku penasaran, Pa. Mungkin ini ada kesalah pahaman atau salah kirim," balasku. Papa diam. Beberapa detik kemudian Papa berjalan ke arahku. Beliau membantuku membuka kotak itu. Sebuah kertas dan bunga mawar berwarna hitam, sama seperti yang biasa aku dapat akhir-akhir ini. Papa meraih kertas itu kemudian membacanya dengan keras. "Kau tidak akan bisa lari meski kau berusaha bersembunyi di balik punggung Edwin Romi, My Black Rose," Tidak! Sekarang aku yakin jika bingkisan itu memang ditujukan untukku. Ada nama Edwin di sana. Dan tampaknya, peneror itu benar-benar mengintaiku. Dia bahkan tahu soal Edwin yang bahkan Papaku sendiri belum mengetahuinya. Tunggu! Tapi Papa juga membaca surat itu. O o, sepertinya satu rahasia kecilku sedang terbongkar. "Edwin Romi? Maksudnya?" Aku menelan salivaku kasar mendengar pertanyaan Papa yang seperti menuntut jawaban. "Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari Papa, sayang?" tanya Papa lembut. Aku tak tahu harus menjawab apa. Memang seperti apa hubunganku dengan Edwin? Apa yang harus aku katakan pada Papa? "Ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu, Pa. Yang terpenting sekarang, kita harus tahu siapa yang selama ini meneror Calista," sambung Mama.  "Aku tahu," balas Papa cepat. "Ayo kita ke ruang monitor CCTV!" ajak Papa. Aku dan kedua orang tuaku segera ke ruang monitor CCTV yang ada di dekat dapur.  Pak Bambang selaku keamanan di rumahku pun turut membantu mengotak-atik rekaman CCTV di halaman rumah. "Lokasi ditemukannya bingkisan itu tidak tertangkap kamera CCTV, Tuan," terang Pak Bambang "Pa, sepertinya kita perlu bantuan polisi sekarang. Mama khawatir dengan keselamatan Calista, Pa," ujar Mama khawatir. "Iya. Papa rasa juga begitu. Bahkan dia tampak mengetahui banyak hal tentang kondisi rumah kita. Papa akan sewa intel untuk menyelidiki kasus ini. Papa juga akan minta bantuan polisi untuk memberi pengawalan pada Calista," balas Papa. Aku menghela napas. Aku merasa semuanya terlalu berlebihan. Bahkan ditunggui Pak Joko saat kuliah saja aku merasa tidak nyaman. Dan apa lagi sekarang? Di kawal polisi? "Tidak perlu, Pa. Aku rasa dia tidak begitu berbahaya. Bisa saja ini hanya akal-akalan orang iseng. Seperti Kenny, mungkin," tolakku. "Maaf, Tuan, Nyonya, di depan ada Tuan Edwin," ujar seorang pelayan. Suasana hening untuk beberapa saat. Aku mulai menundukan kepalaku. Bagaimana respons Papa terhadap kehadiran Edwin? Ck. Aku hampir saja lupa bahwa dia memang akan menjemputku pagi ini. Tapi aku tidak menyangka jika dia akan begitu terang-terangan bertamu, bahkan ketika ia melihat mobil Papa masih terparkir di depan. "Edwin? Untuk apa dia datang pagi-pagi seperti ini?" tanya Papa. Aku memainkan jariku dalam diam. Apa yang harus aku katakan pada papa? "Calista!" tegur Papa membuyarkan lamunanku. Apa yang harus aku katakan?? "Selamat pagi, Om, Tante," DEGGG!! Itu suara Edwin. Kedua orang tuaku segera menoleh ke arah sumber suara. Sementara aku? Harus bekerja lebih keras untuk menstabilkan detak jantungku. Untuk apa dia masuk ke sini? "Edwin?" kaget Papa. Edwin berjalan ke arah keluargaku. "Apa yang membuat kalian berkumpul di sini? Apa ada masalah?" tanya Edwin serius. "Tunggu! Kamu sendiri ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Papa balik. Edwin tersenyum kemudian menarik pinggangku dan memeluknya dengan satu tangan. "Untuk mengantar kekasih saya ke kampus. Saya sudah janji padanya kemarin," jawab Edwin santai. Aku segera mengalihkan tatapanku pada Papa. Aku takut dengan reaksi yang akan Papa berikan. Sesaat, Papa terdiam. Beliau menatap dalam manik mata Edwin, seolah mencari kebenaran di sana. Percuma, Pa. Aku sudah melakukannya berkali-kali. Dan pria di sampingku ini memang serius dengan kata-katanya. Sementara itu, aku berusaha melepaskan pelukan Edwin di pinggangku. "Edwin, lepas!" lirihku. Namun yang ada, malah pria itu mengeratkan pelukannya. Dia benar-benar gila. "Kalian berpacaran? Benarkah itu?" tanya Papa pada akhirnya. Aku diam. Sementara Edwin mengangguk mantab. "Sejak kapan?" selidik Papa. "Beberapa hari lalu," jawab Edwin. "Kamu sudah sarapan, sayang? Mau berangkat sekarang?" tanya Edwin padaku. Aku merasa kikuk sendiri dan tak langsung menjawab pertanyaan Edwin. Bagaimana bisa ia sefrontal ini di depan kedua orang tuaku? Kenapa hanya aku di sini yang merasa malu? "Calista belum sarapan. Lebih baik Nak Edwin juga ikut sarapan di sini," sambung Mama Aku melempari Mama dengan tatapan protesku. Bagaimana bisa Mama memberi tawaran seperti itu? Sementara anaknya saat ini sedang gelisah memikirkan pertemuan Edwin dengan papanya yang sepertinya kurang baik. "Hmm... lebih baik kami sarapan di luar," tolak Edwin. "Sulit mencari resto yang sudah buka sepagi ini. Kalian makanlah di sini saja!" ujar Papa kemudian berjalan mendahului kami. Mama segera menyusul Papa setelah sebelumnya mempersilahkan Edwin ke ruang makan. "Aku rasa Papa nggak suka sama hubungan kita. Lalu bagaimana?" tanyaku ketika hanya tinggal kami berdua di ruangan itu. "Biarkan saja," jawab Edwin enteng sembari menarik pinggangku ke arah ruang makan. Tak ada percakapan di meja makan. Sepi. Hanya suara dentingan sendok yang masuk ke gendang telingaku. Benar-benar suasana yang tidak nyaman. Selesai sarapan, Edwin segera berpamitan dengan kedua orang tuaku. Mama dan Papa diam saja dan membiarkan aku diantar oleh pengusaha muda ini. "Edwin," panggilku ketika baru saja keluar dari komplek rumahku. "Hmm?" balas Edwin Aku memikirkan respons yang Papa berikan setelah mendengar hubunganku dengan Edwin. Kemudian, aku menghela napas panjang. "Ada apa?" tanya Edwin menyadarkan lamunanku. "Aku rasa Papa tidak menyukai hubungan kita," ujarku hati-hati. "Kamu sudah mengatakannya tadi. Dan aku bilang, biarkan saja," balas Edwin kelewat santai. Aku diam. Memikirkan kembali tentang apa yang harus aku lakukan setelah ini. "Tapi, aku tidak ingin membuat Papa sedih ataupun kecewa. Papa selalu membahagiakan aku, aku tidak mau jika harus membalasnya dengan kekecewaan," terangku, masih dengan nada selembut mungkin tentunya. "Lalu?" tanya Edwin. Lagi, aku diam. Bagaimana cara aku mengatakannya? "Jika maksudmu adalah berpisah denganku, jangan harap aku menyetujuinya," ujar Edwin cepat dengan nada tegas. "Tap..." "Dan apapun alasannya, aku tidak peduli," potong Edwin. Aku menghela napas kesal. Namun sayang, aku tak dapat meluapkan kekesalanku pada pria ini. Karena aku tak mau memancing amarahnya lagi. "Sudahlah, kita tinggal menjalaninya saja. Tidak usah terlalu banyak berpikir!" lanjutnya. Bagaimana bisa ia berkata demikian? Seakan semua isi dunia ini adalah miliknya dan semua orang akan tunduk hanya padanya. Aku membuang pandanganku ke luar jendela. "Jangan tunjukan muka masammu itu, Calista! Aku sangat tidak menyukainya," titah Edwin. "Lalu aku harus bagaimana?" geramku. "Bersikaplah manis seperti anak kucing!" pintanya. "Aku bukan anak kucing," seruku. Edwin menolehkan kepalanya ke arahku sesaat. Kemudian ia terkekeh kecil. "Sekarang apa lagi?" tanyaku dengan nada kesal yang sangat kentara. "Kamu seperti anak kucing yang minta disusui induknya," jawabnya. "Aku bukan anak kucing," tegasku. Dia malah semakin terkekeh kemudian mengacak-acak rambutku dengan tangan kirinya. "Edwin!!" pekikku tak terima. Sepuluh menit kemudian, kami sampai di depan gerbang kampusku. Ketika aku hendak membuka pintu, Edwin menahan lenganku. "Apa lagi?" ketusku. Dia tersenyum, "biar aku yang bukain," ujarnya. Edwin segera keluar dan membukakan pintu untukku. "Ingat, jangan dekat-dekat dengan cowok lain!" Edwin memperingatkan. "Termasuk Kenn-" "Ya. Semua manusia yang berjenis kelamin laki-laki," potong Edwin. "Lalu aku harus berteman dengan siapa? Kenny itu sahabat aku, Edwin," keluhku. "Terserah. Asalkan perempuan," balas Edwin. "Ya sudah, aku berangkat dulu. Aku akan menjemputmu jam tiga sore nanti," lanjutnya. Detik berikutnya, aku merasakan sesuatu menyentuh keningku.  Edwin mencium keningku! Aku terpenjat dan tak bisa berkata-kata lagi. Terlebih, setelah debaran aneh terasa dibagian d**a kiriku. Kesadaranku kembali setelah seseorang memyentuh bahuku. "Lira!" kagetku. "Udah mau bel. Kamu mau berdiri di sini terus?" tanyanya. Aku tersadar dan segera berjalan memasuki kelas bersama temanku itu.  "Hay, Calista cantik," sapa Kenny yang sudah duduk rapi di belakang bangkuku. "Hay juga, Kenny jelek," balasku. "Kamu dianter pacar kamu yang galak itu ya?" tanyanya. Aku mengangguk. "Nanti dijemput juga pulangnya?" tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk. "Kenapa sih emangnya?" "Yah... kamu nggak bisa pulang bareng aku lagi dong sekarang. Secara, pacar kamu kan galak gila, posesif lagi," keluh Kenny. Aku menepuk bahu Kenny pelan, "sabar ya, Pak! Makanya sana cari pacar biar nggak jones-jones amet ke mana-mana harus sama aku," balasku dengan nada candaan. Kenny menghela napas kemudian menatapku sendu. "Nanti kalau aku punya pacar, waktu aku buat kamu kesita. Nanti waktu kamu butuh temen, aku takut aku nggak bisa ada di sisi kamu lagi," ujar Kenny serius. Benarkah barusan Kenny yang mengatakannya? "Ken, kamu-" "Kamu itu prioritasku. Sahabat yang aku sayangi lebih dari nyawaku sendiri," lanjutnya. Aku menatap manik mata Kenny. Mencari kebohongan atau candaan di sana. Tapi, nihil.  Aku menjadi salah tingkah. Kemudian aku menghadap ke depan untuk menghindari tatapan Kenny. Aku tidak terbiasa menghadapi Kenny yang seperti ini. Kenny yang ku kenal adalah Kenny yang konyol dan selalu membuatku kesal. "Selamat pagi anak-anak" sapa Bu Dini ketika memasuki kelas. Aku menghela napas lega. Setidaknya pikiranku akan teralihkan sejenak dari kata-kata yang baru saja Kenny katakan. * Bel istirahat berbunyi. Aku baru saja selesai menyimpan bukuku ke dalam tas. "Cal, kantin yuk!" ajak Kenny penuh semangat. Aku lihat, dia sudah kembali menjadi Kenny yang biasanya. Aku menarik urat senyumku. "Kok malah senyum? Kenapa? Aku ganteng ya hari ini?" tanyanya pede. Aku berdiri dan langsung menginjak kakinya dengan keras. "Ayo buruan! Aku lapar," ujarku setelah berjalan melewatinya yang tengah meringis kesakitan Aku terkekeh geli. Biarkan untuk satu hal ini aku mengabaikan perintah Edwin. Sebab, Kenny sangat berarti untukku. Tidak mungkin aku bisa menjauhinya. Bersambung .... Kira-kira ayahnya Calista akan setuju nggak sama hubungan Calista dan Edwin? Kalau enggak, apa yang akan Edwin lakukan? Kalau ada typo atau sesuatu yang nggak nyambung (salah nama, kampus, dll) harap sampaikan, ya. Karena seperti yang aku bilang sebelumnya, ini versi reborn dari cerita lamaku. Ada beberapa hal yang aku ubah dari cerita yang dulu :) Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa pastikan kalau cerita ini sudah masuk ke pustaka kalian, ya. Follow ig riskandria06 da sss Andriani Riska untuk mendapat lebih banyak info seputar ceritaku yang lain :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD