Black Rose - 08

1588 Words
Sudah lewat satu minggu aku menjalin hubungan yang tidak jelas dengan Edwin. Untuk beberapa hal, aku sudah mulai terbiasa dengan keberadaannya. Namun tetap saja, hubungan kami masih sering diwarnai keributan kecil. Tentang Kenny misalnya. Dan kali ini, aku sedang menemaninya makan siang di sebuah cafe dekat kampusku. Dia sendiri yang sedari tadi ribut menterorku untuk menemaninya makan. Jadi pada akhirnya aku turuti saja, selama dia mau makan di sekitaran kampusku, karena memang jam kuliahku belum selesai. "Kalau lagi makan, taruh ponselnya!" ujarnya mengingatkan. Ah... aku lupa. Dia sangat tidak suka aku memainkan ponselku saat kami bersama. Padahal aku melakukannya untuk mengusir penat. Berhadapan dengan orang kaku sepertinya terasa sangat membosankan, bukan? Tak mau berdebat, aku mengalah. Aku meletakkan ponselku ke dalam tas, lalu fokus pada hidangan di depanku. "Selamat siang, maaf mengganggu. Ini ada titipan untuk Kak Calista," ujar seorang waitress sembari meletakkan secangkir cokelat ke hadapanku. Tunggu! Tak hanya cokelat saja. Tapi juga ada setangkai mawar hitam yang ia letakkan di samping cangkir cokelat itu. Black rose lagi? "Dari siapa?" tanya Edwin cepat. Aku bahkan sampai lupa, kalau kini aku sedang bersama pria posesif itu. "Saya tidak tahu. Kami menerima pesanan dari telepon. Lalu mawar itu, tadi ada kurir yang-" "Berikan padaku transaksi pemesanannya! Jangan lupakan nomor rekening atau apalah yang dia gunakan untuk membayar pesanan ini!" potong Edwin tegas. Aku terpenjat. Apa itu perlu? Bahkan beberapa orang di meja lain mulai menatap kami. Aku paling tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini. Apa lagi aku sedang makan. "Apa itu perlu?" tanyaku memastikan. Tak ada yang salah dari pertanyaanku, bukan? "Apa menurutmu aku akan diam saja saat kekasihku mendapat cokelat panas dan bunga dari orang lain? Terlebih aku tidak tahu dia laki-laki atau perempuan," balas Edwin. Aku mendengus kesal. Tak mau masalah menjadi lebih panjang, aku mengambil kembali cokelat panas dan mawar hitam di mejaku, kemudian mengembalikannya ke atas nampan waitress itu. "Mbak bawa pergi lagi aja ya, Mbak. Saya nggak kenal sama pemberinya. Jadi saya nggak akan meminumnya," ujarku menengahi. "Tapi-" "Kita tidak tahu apa motif orang itu. Dan memangnya kalau ternyata dia mau ngasih guna-guna ke pacar saya melalui mawar hitam itu, kamu mau tanggung jawab?" sambar Edwin. "Lagi pula minuman saya masih banyak. Yang penting Mbak sudah mengantarnya ke meja saya. Kalau dia tanya, bilang saja sudah saya minum," imbuhku.  Waitress itu mengangguk setuju. Kemudian ia pamit undur diri. Aku menolehkan kepalaku ke arah Edwin. Laki-laki itu tengah tersenyum ke arahku. "Gadis pintar," pujinya. Apa pujian itu ia tujukan karena aku menolak cokelat dan mawar hitam tadi? Ah... dia tidak tahu saja jika mawar hitam itu memang sudah beberapa kali menggangguku. Tapi, apa jadinya kalau dia sampai tahu ya? Apa dia akan mengusut kasus itu hingga aku bisa menemukan orangnya? Menarik. Tapi mengingat sisi gila Edwin yang kadang memang di luar dugaan, aku memilih diam. Sepertinya bukan hal yang bagus untuk melibatkannya dalam masalah ini. Toh Papa juga diam-diam sudah menyelidikinya. "Apa sebegitu tampannya aku sampai kamu tidak berniat menghabiskan makananmu?" tanya Edwin membuyarkan lamunanku. Ada apa ini? Apa aku baru saja menatapnya terlalu lama? Dasar kau gila, Calista! Cepat-cepat aku melanjutkan kegiatan makanku. Aku mendengarnya terkekeh kecil, namun sebisa mungkin aku bersikap seolah tak mendengar apa-apa. Sepuluh menit kemudian, kami sudah berada di dalam mobil Edwin. Kami baru saja selesai memasang sabuk pengaman. Ia belum menyalakan mesinnya "Kamu mau langsung aku antar pulang? Atau mau aku antar ke suatu tempat?" tawarnya. "Tidak. Aku masih ada jam kuliah lima belas menit lagi. Kalau tidak keberatan, bisa kembalikan aku ke kampus?" tanyaku sopan. "Oke," balasnya. Cara bicaraku dengannya memang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku rasa, itu karena aku sudah mulai terbiasa dengan keberadaannya. Toh setelah aku pikir-pikir, keberadaannya juga tidak terlalu merugikanku. Edwin bukanlah orang yang suka terlalu lama berbasa-basi. Setelah tahu kemana ia akan membawaku, ia pun segera menyalakan mesin mobilnya. Ia menjalankannya dengan kecepatan sedang, seperti biasa. Aku menatap ke luar jendela. Tanpa sengaja, aku melihat sosok yang sangat familiyar bagiku di depan mini market yang letaknya tak jauh dari cafe. "Kak Gana?" gumamku. Aku tidak 100% yakin jika sosok yang aku lihat itu adalah Kak Gana. Tapi, bisa saja mengingat ini masih jam istirahat kantor. "Kamu barusan bilang apa?" tanya Edwin. Aku menoleh ke arahnya sebentar, lalu menatap lurus ke depan. "Ah, nggak," dustaku. Lagi pula Edwin tidak kenal dengan Kak Gana. Kalau aku membicarakannya dengan Edwin, yang ada laki-laki itu malah akan salah sangka dan membuat masalah baru. Tapi, apa itu artinya Kak Gana bekerja di sekitar sini? Aku baru tahu. Kami bahkan tinggal di satu komplek yang sama. Tapi aku tidak tahu banyak tentang laki-laki yang juga merupakan kakak dari sahabatku itu. Ya. Kak Gana memang sosok yang sangat sangat misterius, tidak seperti Kenny yang extrovert, bahkan tergolong frontal dalam berbicara. Bagaimana bisa dua orang yang sifatnya sangat bertolak-belakang itu merupakan sepasang saudara kandung? * Seperti biasa, Edwin juga menjemputku sepulangnya aku kuliah. Ia tidak ikut turun, karena ia masih punya banyak pekerjaan di kantornya. Mobil Edwin pergi sesat sebelum mobil Papa masuk ke pekarangan rumah kami. Aku tersenyum menyambut kedatangan cinta pertamaku itu. Begitupun Beliau yang langsung menghampiriku setelah turun dari mobilnya. "Anak Papa sudah pulang? Ayo masuk!" ajak Papa. Jika kalian pikir Papa akan memberondongku dengan berbagai pertanyaan setelah mengetahui ada 'sesuatu' di antara aku dan Edwin, maka dengan tegas aku katakan, kalian salah. Papa tampak tidak terlalu peduli dengan hubunganku dengan Edwin. Atau bisa dikatakan, Papa sadar kalau aku kurang nyaman membahas hal itu, jadi Papa mengalah dan memilih mengawasi kami dalam diam.  Papa juga pernah bilang, "Papa belum terlalu mengenal Edwin. Papa cuma tahu, dia anak yang pekerja keras. Jadi Papa tidak bisa menghakiminya dengan pengetahuan Papa yang minim ini." Yup. Begitulah Hendra Ardiansyah, ayahku. Beliau adalah laki-laki yang sangat bijak. Laki-laki paling sempurna di mataku. Aku dan Papa memilih untuk bersantai di ruang tamu. Kami baru sadar, beberapa hari ini kami jarang mengobrol santai. Terlebih, Papa memang cenderung jarang pulang awal seperti ini. "Maaf, Tuan, Non, mau Bibi bikinkan minum?" tawar Bibi. "Nggak usah, Bi. Aku nggak haus kok. Nanti aku ambil sendiri saja kalau haus," tolakku. Sama denganku, Papa pun menolak tawaran itu. Aku dan Papa berbincang santai tentang kejadian-kejadian yang kami alami hari ini. Oh iya, aku teringat akan suatu hal yang sepertinya perlu aku ceritakan pada Papa. "Pa, tadi siang, Edwin mengajakku makan di cafe dekat kampus," ujarku. Papa menyerit, "biasanya kamu tidak suka membahas soal dia di depan Papa. Papa kira kamu nggak nyaman kalau Papa bahas Edwin," balas Papa. Aku tertawa kecil mendengarnya. Sebenarnya memang benar. Lebih ke... karena aku tidak tahu harus menjawab apa kalau Papa tanya aneh-aneh tentang Edwin. "Bukan itu point pentingnya, Pa," kataku. "Lalu apa? Hmm?" tanya Papa penasaran. "Teror mawar hitam itu. Tadi, waktu kami makan, tiba-tiba ada waitress yang mengantar cokelat panas dan setangkai mawar hitam padaku," terangku. Aku lihat kerutan di dahi Papa semakin menebal. "Kamu tahu siapa pengirimnya?" tanya Papa. Aku menggeleng. "Apa mungkin Edwin? Maksudnya, saat itu kamu sedang bersama Edwin kan? Bisa saja dia sengaja memesan itu buat kamu," ucap Papa. Aku menggeleng cepat. "Bukan. Aku yakin bukan. Bahkan Edwin sempat marah dan meminta pihak cafe memberikan bukti pesanan dan nomor rekening pengirim cokelat itu. Soalnya waitressnya bilang dia pesan via online. Terus-" "Kamu dan Edwin tadi makan di cafe apa? Biar Papa yang selidiki," potong Papa cepat. Suasana menjadi tegang. Dan aku sangat tidak suka dengan suasana seperti ini. Aku tertawa kecil untuk mencairkan suasana. "Hahaha.. memang perlu ya, Pa? Aku pikir dia cuma menggertak doang. Bisa aja cuma orang iseng, kan? Mengingat sejauh ini dia tidak pernah membuatku dalam bahaya," jelasku. Papa menggeleng, "nggak bisa, Sayang. Kita harus tahu dalang di balik semua ini. Mungkin saat ini dia tidak berbahaya. Tapi kita tidak tahu apa yang bisa dia lakukan di masa yang akan datang. Papa nggak mau kamu berada dalam bahaya." Ada benarnya juga. Terkadang, aku cukup merasa terancam dengan teror mawar hitam itu. Sebenarnya, siapa orang itu? Dan apa motifnya? Kenapa dia menerorku seperti ini? Apa aku punya salah padanya? Aku tersentak saat Papa mengusap puncak kepalaku. "Kamu jangan takut, ya! Papa janji akan selalu melindungi kamu. Papa akan melakukan apapun untuk mengungkap teror itu. Pokoknya, Papa akan selalu memastikan kalau kamu akan baik-baik saja," ucap Papa lembut. Aku tersenyum. Aku tahu Papa sangat mengkhawatirkanku. Dan aku tidak mau menunjukkan ketakutanku yang akhirnya hanya akan membuat Papa semakin cemas. "Aku baik-baik saja kok, Pa. Aku juga tidak terlalu memikirkannya lagi," dustaku. "Janji ya, jika kamu mendapat teror seperti itu lagi, langsung lapor ke Papa! Siapa tahu Papa bisa menemukan titik terang dari sana," pinta Papa. "Iya, Pa. Papa sudah berpesan seperti itu berkali-kali. Calista akan lapor ke Papa kalau Calista dapat mawar hitam itu lagi," balasku sembari memeluk Papa, untuk menyembunyikan ekspresi ketakutanku, agar Papa tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan kini. Tentang teror mawar hitam itu, dia tidak berbahaya, kan? Sejauh ini memang tidak. Tapi Papa benar, kita tidak bisa menebak apa yang akan ia lakukan nantinya.  Bolehkah aku merasa takut? *** Bersambung.... Menurut kalian, apakah teror Black Rose itu berbahaya untuk Calista? Kira-kira siapa pelakunya? Apa sudah muncul? Atau akan muncul di pertengahan? Mari pecahkan puzzle bersama! Yang belum masukin cerita ini ke pustaka, silakan masukkan ke pustaka dulu biar nggak ketinggalan. Buat yang mau dapat pengingat kalau ceritanya udah up, silakan komen, biar kalau aku up nanti bisa dapat notif balasan komen dari aku :) Terima kasih sudah mampir dan mengapresiasi karyaku. Aku tunggu kritik dan sarannya. Jangan lupa, sampaikan dengan kata-kata yang baik, ya! Biar penulis juga happy bacanya :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD