Tentang yang pertama,
Pasti suatu kebetulan,
Sampai ada yang kedua,
Mungkin tidak sengaja?
_____________
Elsa baru saja turun dari mobil yang selalu dikemudikan bergantian oleh Jojo atau Marko, di tangan kanan gadis itu ia memegang sebuah shopping bag yang tidak terlalu besar. Elsa melangkah meninggalkan mobil yang belum melaju itu, dua manusia di dalamnya terus memerhatikan Elsa hingga putri majikannya itu benar-benar masuk ke area sekolah.
Elsa melangkah dengan santai di lantai koridor utama, cukup banyak penghuni SMA Yossida yang berlalu lalang di sana mulai dari kelas sepuluh hingga dua belas. SMA Yossida memiliki empat lantai, lantai satu hingga tiga digunakan secara berurutan untuk kelas sepuluh hingga dua belas, sedangkan lantai empat dikhususkan sebagai area berbagai macam ekskul salah satunya ekskul modeling, tapi Elsa yang notabene seorang model sama sekali tak tertarik masuk ekskul itu dan memilih ikut ekskul jurnalistik, Elsa suka menulis sesuatu pada blog miliknya, hanya berisikan keluh kesahnya tentang kehidupan sehari-hari.
Gadis itu memang lebih suka dunia tulis-menulis daripada melangkah di atas catwalk, tapi sayang karena Mentari memang selalu menutup mata untuk hal yang tidak ia sukai.
Kebanyakan dari penghuni SMA Yossida tahu siapa itu Elsa Naomi Mizuki, tapi jarang dari mereka yang sampai meminta foto selfie terutama karena gadis itu cukup cuek dan lebih sering menolak, dia tak suka memaksa senyum palsunya di mana pun.
Hingga Elsa tiba di depan lift, ada tiga lift berjejeran tapi semua tampak ramai. Gadis itu menunggu dengan sabar bersama beberapa siswi lain di dekatnya.
"El!" seru seorang gadis berambut lurus sebahu dan mempercepat langkahnya di koridor utama menuju Elsa, dia itu Lova—teman dekat Elsa dan mereka satu meja di kelas IPA tiga.
"Tumben udah dateng, biasanya sama si Affan," cibir Elsa seraya menyenggol lengan Lova yang kini berada di sebelahnya.
Lova nyengir kuda, "Apaan sih, nggak setiap hari juga kali, El. Lo bawa apa?" Tatapan Lova mengarah pada sesuatu di tangan Elsa.
"Ini?" Elsa mengangkatnya sebentar, "Ini hoodie si Bagas, mau gue balikin," sambungnya.
"Hoodie hitam yang kemarin lo pakai itu, El? Jadi itu punya si Bagas?" Lova menepuk dahinya sendiri.
Kening Elsa berkerut melihat tingkah berlebihan sahabatnya, "Emang kenapa? Nggak bau juga kok, gue semprot parfum malah," kilah gadis berambut panjang dan sedikit bergelombang di bagian bawah itu.
"Ya nggak kenapa-kenapa sih, El. Lo nggak takut gitu kena damprat si Widia, emang lo nggak tahu kalau si Bagas udah jadian sama Widia?"
Mata Elsa menyipit, "Widia anak IPS itu maksud lo?"
Lova mengangguk mantap, gadis itu langsung menarik Elsa masuk ke dalam lift setelah melihat salah satu di antaranya kosong. Untunglah keduanya masih kebagian tempat berdiri.
____________
Sudah pukul tujuh lebih lima belas menit tapi Satria masih berkendara di jalanan, dia juga melajukan motornya dengan pelan seperti tak ada niat bersekolah sama sekali. Saat itu Aming—satpam SMA Tamtama sudah menutup gerbang karena memang bel masuk sudah berbunyi lima belas menit yang lalu, jadi secara sengaja atau tidak Satria sudah telat jika harus masuk ke sekolah.
Motornya kian memelan dan berhenti tepat di depan gerbang, matanya menangkap pemandangan sekitar terlihat begitu sepi, laki-laki itu bersiul seperti memberi kode untuk seseorang.
Aming yang paham keluar dari pos satpam dan menghampiri Satria yang masih bertengger di atas motornya, kini mereka berdua dibatasi oleh gerbang yang tertutup.
"Tuh kan, Mas Satria telat lagi, telat lagi," gerutu Aming, dia begitu paham dengan tingkah laku Satria di sekolah.
Satria membuka kaca helmnya, "Buka dong, gue mau masuk," perintahnya santai.
"Masuk ngapain, Mas?" Kedua tangan Aming memegang tralis besi gerbang berwarna hitam yang lebih mirip jeruji penjara itu.
"Ya mau sekolah, lo kira gue ke sini mau ngapain, woy?" balas Satria tak acuh.
"Tapi kan sudah telat, Mas. Nanti kalau saya kasih masuk Mas Satria bisa kena omel kepala sekolah," kilah Aming, dia begitu bosan melihat kehadiran Satria yang selalunya telat jika datang ke sekolah, mungkin hampir setiap hari.
Satria memutar bola matanya, terpaksa dia mengeluarkan jurus terakhir yakni merogoh saku celana dan membuka dompetnya, ia mengambil pecahan kertas berwarna biru dan mengulurkannya pada Aming.
"Nih, mumpung gue baru gajian semalem gue bagi deh sama elo. Asal gue boleh masuk tapi," goda Satria dengan senyum miringnya.
"Kerjanya apa sih Mas kok gajian segala? Emang beneran kerja, Mas?" tanya Aming polos.
"Gue tidur aja digaji, nih buruan buka gerbangnya."
Segera tanpa perlu waktu lama Aming meraih uang itu dan membuka gerbang, mempersilakan Satria masuk ke area parkir sekolah. Laki-laki itu melepas helm dan menyugar rambutnya, kali ini dia tak mengenakan slayer di kepala dan hanya jaket jeans. Tak lupa Satria masih setia dengan celana OSIS berlutut robek, serta dua tindik di telinganya.
Dengan santai Satria tetap melangkah di koridor meski suasana sudah sepi karena kegiatan KBM sedang dilangsungkan, dia terbiasa seperti itu, hidup seorang diri dan tinggal di tempat kost membuatnya sering bangun kesiangan, mencari sarapan sendiri, serba mengurus diri sendiri, tapi Satria tak pernah kekurangan uang, ada seseorang yang hingga saat ini sangat ia benci bersedia mengurusnya.
Hingga Satria tiba di depan kelasnya yakni dua belas IPS lima, pintu kelas sudah terbuka lebar. Satria mengetuknya dan membuat semua penghuni kelas menjadikannya pusat perhatian, ia juga tak luput dari perhatian Pak Widodo—guru agama berkumis tebal dan berkacamata.
"Gue kire itu bocah kagak pan masuk," ucap Melki yang duduk paling ujung belakang bersama Faisal, keduanya kini memerhatikan interaksi antara Satria dan Pak Widodo.
"Pagi, Pak," sapa Satria yang masih berdiri di ambang pintu, tak ada rasa canggung atau takut sama sekali ketika ia menghadapi Pak Widodo, satu sekolah tahu guru agama berkumis tebal itu juga disebut guru killer, bahkan lebih menyeramkan dari guru MTK.
Pak Widodo tak menyahut sapaan Satria, dia meneliti penampilan Satria dari ujung kaki hingga kepala. Benar-benar bukan contoh siswa yang baik, Pak Widodo sampai menggeleng melihat muridnya yang sudah menginjak kelas dua belas itu.
"Kamu ngapain ke sini, hm?" tanya Pak Widodo dengan sorot mata tajam dari balik kacamatanya.
"Sekolah, Pak. Ini sekolah, kan?" sahut Satria begitu menjengkelkan.
"Sekarang kamu nggak ikut pelajaran saya, kamu ke lapangan saja!" hardik Pak Widodo yang mulai kesal.
"Lapangan? Ngapain di lapangan?"
"Terserah kamu, mau loncat indah, senam lantai atau jungkir balik saya nggak peduli. Saya nggak mau menerima siswa telat di kelas saya apalagi yang modelnya seperti preman, kalau mau jadi preman nggak perlu sekolah," jelas Pak Widodo begitu sarkas, tanpa menunggu balasan dari Satria ia kembali menghampiri kursinya.
Satria berdecak, lagi-lagi dia gagal masuk ke dalam kelas. Memang selalu jadi bahan konsumsinya setiap pagi, dia mengalah dan memilih kembali ke lantai satu di mana lapangan sekolah berada.
"Gue suka nggak ngerti sama si Satria, kenapa dia nggak mau tinggal sama Bokapnya yang tajir melintir itu," celetuk Faisal seraya menggaruk kepalanya.
Melki menoleh, "Nih ye, lu kagak usah komentar ape-ape dah soal idupnye si Satria, pan die nyang milih sendiri."
"Iya gue tahu, tapi apa susahnya sih nurut sama Bokapnya dan tinggal serumah. Jadi nggak setiap hari berangkat telat, kita udah kelas dua belas, gue takutnya dia bisa kena DO."
"Kagak mungkin, Babenye si Satria duitnye banyak buat beli sekolah ini juge bise."
Faisal menoyor kepala Melki, "Terserah elo deh kembaran Babe Cabita, kesel kalau ngomong sama elo."
Sedangkan Melki hanya membalasnya dengan cengiran ala kuda.
_____________
Seperti apa yang Lova ucapkan pagi tadi bahwa Bagas sudah berpacaran dengan Widia, semua itu benar adanya. Buktinya adalah saat ini tepat di dalam kantin Widia seorang diri sudah bergabung bersama Bagas dan kedua temannya yang duduk di pojokan kantin, Lova dan Elsa memang tengah memerhatikan mereka sambil mengantri makanan di depan sebuah stand.
Elsa dan Bagas saling mengenal satu sama lain dengan cukup baik, mereka sudah berteman sejak SMP dan orangtua masing-masing juga saling mengenal. Hanya saja keduanya tak pernah menginginkan hubungan lebih dari seorang sahabat meskipun terkadang ibu mereka menjodoh-jodohkan, tapi Elsa dan Bagas sama-sama menolak.
"Tuh ’kan apa gue bilang, si Widia itu udah jadian sama Bagas," celetuk Lova yang berdiri di sisi tukang kebab. Matanya fokus memerhatikan interaksi antara Bagas dan Widia.
Elsa mengusap dagunya yang terasa gatal, "Ya kenapa juga gitu? Suka-suka dia kali mau pacaran sama siapa, ih Lova kok kepo sih."
"Gue bukannya kepo, El. Tapi kurang sreg aja kalau si Bagas jadian sama Widia, lo tahu kan si Widia ceweknya ganjennya kebangetan, si Affan aja pernah digodain sama dia untung enggak terpengaruh," ucap Lova begitu menggebu.
Elsa mencebikkan bibirnya seraya tersenyum, dia mencolek hidung Lova. "Ya ampun soal itu lagi, siapa tahu sekarang Widia udah berubah karena dapetin Bagas yang super kece."
Bagas memang masuk dalam kategori most handsome boy di SMA Yossida, dia begitu rupawan dan berlesung pipi, keahlian lainnya adalah Bagas pandai pelajaran Fisika serta Kimia yang sudah jelas bisa membuat rambut keriting jadi lurus jika memikirkan dua pelajaran itu setiap hari, Bagas juga handal dalam hal berenang terutama karena dia adalah ketua ekskul renang yang cukup disegani.
"Tebak-tebakan yuk," ajak Lova.
"Tebak-tebakan apa nih?"
"Kalau gue menang lo harus traktir gue jajan di kantin selama seminggu."
Elsa berpikir sejenak, "Boleh aja, tapi tebak-tebakan apa dulu nih?"
Telunjuk Lova mengarah pada Bagas dan Widia yang asyik mengobrol itu, "Gue bisa jamin hubungan mereka nggak akan bisa melebihi satu minggu, atau bahkan kurang," terka Lova.
Kening Elsa berkerut, "Hah? Jadi lo sumpahin mereka, Lov? Ampun deh kejam banget."
Lova menatap Elsa dengan raut datar, "Ya nggak gitu, kita main tebak-tebakan aja. Gue yakin si Bagas nggak bakal tahan punya cewek kayak Widia, kan dia tipe playgirl."
"Oke deh, gue terima tantangan elo."
Kini keduanya bersalaman sebagai tanda kesepakatan yang sudah deal.
_____________
Siang ini tak ada niatan dalam diri Elsa untuk kabur, rasanya tamparan keras di wajahnya masih berdenyut hingga hari ini. Lagipula ia tak punya kegiatan dengan teman-temannya, saat itu di tepi jalan bersama beberapa siswi lainnya Elsa tengah menunggu Marko dan Jojo datang, lagi-lagi dua bodyguard itu telat menjemput. Untunglah ada teman ngobrol yakni Lova dan Affan, keduanya sudah bertengger di atas motor Affan yang berwarna hijau itu.
"Bawa motor jangan kenceng-kenceng, Fan. Nanti si Lova bisa terbang, dia kan kerempeng," ledek Elsa yang berdiri sambil melipat tangan di d**a, mereka tampak tertawa kecil bersama melempar ejekan.
Hingga mata Elsa menangkap sosok seseorang yang tak ia kenal menggunakan motor CBR warna merah berhenti di dekatnya dengan jarak sekitar dua meter. Elsa tahu pasti remaja itu bukan anak sekolahnya. Yang membuatnya makin intens melihatnya adalah karena Widia baru saja keluar melewati gerbang dan menghampiri laki-laki itu.
Kening Elsa berkerut, dia mencubit bahu Lova tanpa sadar sambil menunjuk ke arah Widia.
"Lov, Lov lihat deh. Itu bukannya si Widia, kan? Nyamperin siapa dia?" ucap Elsa yang begitu penasaran.
Lova dan Affan sama-sama menoleh ke belakang, mendadak Lova turun dari motor dan berdiri di sisi Elsa, menatap Widia dan makhluk asing dengan ekspresi sama.
Sampai laki-laki itu membuka kaca helmnya dan Elsa makin terkejut, ternyata dia adalah Satria si anak Tamtama yang tempo hari baru saja menolongnya.
"Astaga itu siapa lagi? Tuh kan gue bilang apa, si Widia itu playgirl banget. Buktinya di depan sekolah sendiri dia dijemput selingkuhannya," celetuk Lova cukup kesal.
Elsa tertegun, jadi laki-laki itu benar-benar Satria? Dia menelan saliva, jadi Widia mendua di belakang Bagas dengan siswa sekolah lain, kini Elsa mulai kesal dengan Satria, ternyata dia memang bukan laki-laki yang baik, terlihat pula dari cara dia berpakaian. Terlihat Widia menaiki motor Satria dan mereka melaju menyebrang jalan tanpa peduli orang-orang di sekitarnya.
Serius si Bagas diselingkuhin? Sama Satria? Jadi dia bukan cowok baik-baik dong, nyesel gue pernah ditolong sama dia. Batin Elsa begitu kesal.
______________