Sejak hari itu,
Entah kenapa namamu selalu berdengung di telingaku.
____________
Laki-laki itu tengah tertidur dengan posisi telungkup di sisi ranjang dan hanya mengenakan celana boxer warna hitam, tercetak jelas seperti apa tato bergambar mata di punggung sebelah kirinya, naluri seorang badboy begitu mengalir dalam diri Satria.
Sudah berkali-kali ponsel yang ia letakkan di atas nakas berbunyi tapi tak sekalipun tangan Satria berniat menyentuhnya, sengaja ia tak menggubris panggilan itu karena ia tahu siapa yang mau menghubunginya hingga berulang kali bahkan ketika malam hari.
AC tempat kost Satria sengaja ia matikan dan membuka jendela bertralis besi agar udara alami malam hari masuk dengan senang hati, tempat kostnya dikhususkan bagi para laki-laki jadi jika ia bertelanjang d**a pun tak ada yang berkomentar macam-macam.
Sudah dipanggilan kelima belas dan barulah Satria terusik, dia menggucak matanya lalu beranjak meraih benda pipih berwarna silver dari atas nakas, seperti apa yang sudah ia duga ternyata orang itu lagi. Karena sudah kesal akhirnya Satria memilih menggeser layar hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga kirinya.
"Hallo, kenapa sih telefon terus. Satria itu lagi tidur jadi jangan ganggu," cerocos Satria langsung pada luapan kekesalannya.
"Iya maafkan Papa, Papa cuma mau tahu kabar kamu aja, Sat. Sudah seminggu ini kamu nggak mampir ke rumah."
Satria mengacak rambutnya dan berdiri, "Aku masih bisa angkat telefon artinya baik-baik aja, udah kan cuma kayak gitu. Aku matiin, aku mau tidur lagi jadi tolong jangan ganggu, selamat malam." Belum sempat ayahnya membalas perkataan Satria, ia sudah lebih dulu mematikan panggilan secara sepihak.
Laki-laki itu melempar ponselnya begitu saja ke atas ranjang, ia melirik jam dinding di atas pintu yang menunjukan pukul sembilan malam. Satria kembali menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dan melanjutkan mimpinya yang tertunda.
_______________
Hari ini kulalui semuanya seperti biasa,
Tak ada tamparan keras seperti kemarin,
Mereka benar kalau aku gadis yang bebal,
Terserah,
Tapi inilah aku dan harapan terbesar adalah semua orang tahu apa yang kuinginkan.
Aku ingin mereka lihat siapa aku yang sebenarnya, entah itu Monster atau Zombie asal jangan jadi burung dalam sangkar terus-menerus.
Aku punya sayap tapi tak bisa mengepakkannya, semua itu terasa kaku, aku hanyalah burung kecil bersayap coklat yang ingin terbang mengitari gedung pencakar langit, sama seperti burung lain yang sudah terbang hingga ke pegunungan.
Elsa menyudahi ketikannya pada keyboard laptop di pangkuannya, dia menjatuhkan tubuhnya begitu saja di atas ranjang yang empuk dan berukuran Queen size. Mata coklatnya menatap langit-langit kamar dengan beberapa lampu lampion yang menghias seperti kumpulan balon terbang.
Siang tadi dia melewati photo shoot seperti biasa, sama sekali tak ada yang spesial baginya meskipun mendapat brand terbaru, semua baginya sama-sama membosankan. Ia sedang berpikir bagaimana cara membedakan senyum palsu dan senyum asli yang Elsa miliki, semua terlihat sama saja, sama-sama melengkung dan orang lain pasti berkata "kamu cantik".
Elsa beranjak dan menggeser laptop dari kakinya, dia turun lalu mengenakan sandal jepit dan beringsut keluar dari kamar. Melangkah mengendap-endap menuruni anak tangga meski lampu masih menyala.
"Kamu ngapain, hm?" Suara Mentari tiba-tiba terdengar, gadis itu menghentikan langkahnya dan langsung memutar bola mata dengan jengah. Lagi-lagi ia ketahuan, padahal niatnya hanya ingin keluar rumah dan berjalan di sekitar komplek perumahan saja tapi lagi-lagi Mentari memergoki aksinya, Elsa mengumpat dalam hati.
Posisi Mentari berada di depan pintu kamarnya sedangkan Elsa masih menginjak anak tangga dan hampir menyentuh tiga tangga terakhir, tapi sudah gagal.
Kini wanita yang sudah mengenakan piyama tidur itu melangkah menghampiri putrinya, gadis itu tak bergeming sama sekali dan tetap berdiri sembari melipat tangan di d**a.
"Udah malem, harusnya tidur. Jangan keluyuran, nanti kalau ada hal buruk di luar gimana? Kamu itu model, El. Siapa aja bisa berbuat jahat sama kamu, sekarang masuk lagi ke kamar," ujar Mentari yang berbicara sambil menuruni anakan tangga.
"Kenapa yah, Cinderella bukan, Belle juga bukan, Elsa frozen apalagi. Ah iya, Elsa ini Jinnya Aladin yang nggak bisa ke mana-mana, iya kan, Ma?" sinis Elsa, dia mengulas senyum miringnya.
Mentari mempercepat langkahnya hingga tiba di depan gadis itu, "Sekarang kamu masuk kamar lagi dan istirahat, besok masih ada sesi pemotretan." Sengaja Mentari tak mengidahkan ucapan anaknya tadi.
"Ini rumah apa penjara sih? Keluar dari pintu depan selangkah aja nggak boleh, kalau Mama bisa stres karena Elsa nggak ikut pemotretan begitu juga Elsa yang stres karena setiap hari yang dilihat cuma Marko sama Jojo." Lagi-lagi Elsa masih mencibir Mentari tanpa henti.
Terlalu kesal, Mentari menarik tangan gadis itu bersamaan dengan raut amarah yang tercetak jelas.
"Elsa! Kenapa harus lawan Mama setiap kali kita bicara, ini nih karena kamu bergaul sama teman yang salah jadi kamu berani lawan Mama," tegur Mentari dengan tangan yang ikut bergerak.
Elsa menatap lurus sang ibu, "Pergaulan? Pergaulan yang mana ya, Ma? Elsa aja nggak pernah main kalau enggak kabur, jadi bergaul seintens apa sih Elsa di luar sana. Kalau sekarang Elsa suka lawan karena itu pemberontakan, Ma."
"Elsa!" bentak Mentari dengan telapak tangan yang sudah terangkat.
Elsa menatap tangan Mentari, "Jadi Mama masih mau terusin yang kemarin? Mama emang nggak pernah ngerti soal Elsa, kalau begini dari dulu mending Elsa ikut Nenek di Jepang!" Setelahnya Elsa berlari menapaki tangga menuju kamarnya, dan kembali terdengar suara pintu yang ditutup keras.
Mentari hanya bisa menggeleng kepala dan bersabar menghadapi sikap putrinya yang selalu seperti itu, hanya saja dia memang tak pernah sadar jika terlalu mengekang Elsa.
______________
Mobil yang dikemudikan oleh Jojo akhirnya pergi dari depan sekolah setelah Elsa memaksa keduanya agar lekas pergi, tanpa perlu menunggu Elsa masuk ke area sekolah karena ia memang takkan mungkin kabur dan meninggalkan sesuatu yang menyangkut pendidikan.
Sengaja Elsa berdiri di depan gerbang sembari menunggu Lova, dia melipat tangan di d**a sambil membalas senyum beberapa siswi yang melewatinya, gadis itu memang tak terlalu akrab dengan orang-orang, dia hanya akrab dengan teman sekelasnya saja.
Kepalanya menoleh ke kiri dan menemukan motor CBR merah itu lagi yang membawa Satria serta Widia, ternyata Widia masih saja membonceng Satria. Kini Elsa benar-benar yakin jika mereka punya hubungan, tapi kenapa harus terang-terangan seperti itu di depan mata para penghuni sekolah tempat kekasihnya berada.
Sudah jelas, ketika motor itu menepi dan berhenti di sebrang jalan kedua mata Elsa tak pernah lepas menatap keduanya. Widia yang turun terlihat berbicara kepada Satria, tapi Satria terlihat tak menggubris dan menangkap sosok yang pernah ia tolong dari sebrang jalan tempatnya bertengger di atas motor sekarang.
Keduanya benar-benar beradu pandang, Elsa menatapnya penuh rasa tidak suka karena sudah mengganggu hubungan orang lain yang notabene adalah Bagas sahabat Elsa. Telinga Satria mendengarkan suara Widia yang menghilang bersamaan sapuan angin pagi hari tapi kedua matanya fokus menatap gadis berambut pirang itu, seketika Elsa memilih menyudahinya dan berbalik badan melangkah melewati gerbang sekolah.
"Cewek yang rambutnya pirang itu siapa?" tanya Satria seraya menunjuk ke arah Elsa yang tengah melangkah.
"Itu Elsa, kenapa?"
Tanpa menjawab pertanyaan Widia, Satria turun dari motor dan menyebrang jalan yang kebetulan lenggang. Dia tak peduli pada mereka para siswa-siswi Yossida yang menatapnya ketika Satria menerobos masuk melewati gerbang dan berusaha mengejar Elsa.
"Elsa!" seru Satria yang hampir dekat dengan gadis itu.
Seketika Elsa menghentikan langkahnya tepat di depan pilar koridor utama dan menoleh, dia begitu terkejut setelah tahu siapa yang memanggilnya bahkan dengan berani masuk ke area sekolah yang bukan ranahnya.
"Lo?" Elsa menunjuk laki-laki itu, mereka kini berhadapan. "Lo ngapain di sini?" tanya gadis itu.
Satria mendengkus, kedua tangannya masuk ke dalam saku jaket bomber merah yang ia pakai, mulutnya asyik mengunyah permen karet.
"Lo kenapa tadi ngelihatin gue kayak gitu, hm?" tanya Satria to the point, dagunya terangkat, menunjukkan sisi beraninya.
Sialan! Elsa mengumpat dalam hati, kenapa Satria harus sepeka itu. Dia tak langsung menjawab dan hanya saling tatap dengan Satria, beberapa orang yang lewat jelas memerhatikan keduanya terutama karena Satria adalah anak sekolah lain, beberapa dari mereka juga terlihat berbisik sambil berlalu, semua hal itu membuat Elsa tak nyaman.
"Kok nggak jawab?" tanya Satria mendesak sebuah jawaban, dia masih saja mengunyah permen karet, laki-laki itu dengan santai menyandarkan punggungnya pada pilar.
"Gue nggak lihatin elo, tapi Widia," kilah Elsa, dia terlihat begitu gugup sekarang.
Satria menatap Elsa dari ujung kaki hingga ujung kepala, gadis itu langsung menelan saliva, dia sering ditatap seperti itu oleh banyak orang tapi kali ini benar-benar risih. Rasanya Elsa ingin mencongkel dua bola mata Satria.
"Jangan lihatin gue kayak gitu," tegur Elsa tanpa canggung.
"Uh, sorry!" Entah kenapa Satria menutup kedua mata dengan telapak tangannya.
"Lo cuma mau tanya itu, kan? Gue mau ke kelas."
Satria menurunkan tangannya, "Satu hal lagi, lo itu unik, sayang kalo diajak jalan-jalan nanti lecet, dan pantesnya dibawa pulang terus dipajang kayak mannequien. Bye." Setelah berkata demikian Satria melangkah pergi.
Meninggalkan Elsa dengan kening berkerut, antara gemas dan sebal keduanya mendominasi keadaan Elsa saat ini.
______________