Episode 11 : Penentuan 22

1672 Words
Couple Games baru memasuki permainan pertama, tapi sudah banyak hal yang terjadi. Ada hal unik, menyenangkan, menegangkan, menakutkan, menyedihkan, serta hal-hal yang tidak lazim bagi kita seperti peserta yang bisa menyelesaikan permainan pertama dengan terlampau mudah, sementara pemain lain harus berjibaku dengan keputusan sulit untuk memilih satu di antara empat barang di depan mereka. Juan adalah salah satu peserta yang mungkin kurang beruntung di dalam permainan ini, karena setelah permainan berlangsung hampir memakan tiga perempat waktu, Juan belum juga memecahkan teka-teki alat beracun yang ada di depanya. Eva yang ada di bagian lain rumah tradisional khas Jepang itu mulai terlihat khawatir menyaksikan Juan yang tampak bodoh menghadapi permainan ini. Ingin rasanya Eva berteriak kepada Juan, mengatakan bahwa permainan sebentar lagi akan berakhir. Sayangnya, perkataan Juan pada Eva sebelumnya, membuat gadis itu tidak berani mengganggu konsentrasi kekasihnya lagi. Eva hanya bisa menunggu sambil gelisah, keringat dingin mengucur semakin deras di sekujur tubuhnya karena Juan terlihat masih belum juga bergerak. Ia terus termenung sambil melihat dan memperhatikan sarung tangan yang ia kenakan. Tapi, apa yang dilakukan Juan di sudut yang tidak bisa dilihat oleh Eva karena tertutup oleh punggungnya bukan hal yang sia-sia. Pota yang ada di ruang CCTV memang melihat Juan seperti hanya memandangi tangannya sendiri, namun di balik itu Juan sedang berpikir keras tentang bahan racun yang terkandung di dalam alat-alat rumah tangga di depannya. Petunjuk yang Juan dapat dari Pota selaku administrator hanyalah racun yang ada pada alat-alat di depannya bereaksi dengan kontak langsung terhadap keringat. Artinya apa? racun tersebut bisa berbentuk cair atau serbuk yang dilumurkan ke peralatan rumah tangga di depannya. Ketika melihat ke arah telapak tangan, Juan menyadari ada sesuatu yang aneh pada sarung tangan yang ia gunakan. Sedikit cuplikan pada episode sebelumnya menayangkan jika Juan menyadari ada bercak-bercak mengkilap yang tidak rata pada permukaan sarung tangan. Hal itu sangat aneh menurutnya, karena jika sarung tangan itu memang memiliki bagian mengkilap sejak awal, maka penyebaran kilatan pantulan cahaya itu akan menyebar lebih rata dari apa yang ia lihat saat ini. Juan mendekatkan tangan ke hidung, mencium aroma dari bagian yang mengkilap tersebut. Samar-samar, Juan mencium aroma aneh seperti cairan pemutih, namun lebih pekat dan bercampur dengan aroma-aroma kimia lain yang tidak bisa ia gambarkan sebelumnya. Juan mulai mendapatkan petunjuk lebih banyak berkat aroma itu. Juan beralih memandangi alat-alat rumah tangga di depannya, lalu matanya beralih kembali melihat telapak tangannya yang tertutup sarung tangan. Berulang kali Juan melihat ke atas dan ke bawah, lalu Juan melangkah perlahan lebih dekat ke arah alat-alat rumah tangga yang menggantung. Juan masih tetap diam berkonsentrasi, namun di dalam kepala ia masih tetap berpikir keras. Juan berasumsi, racun yang ada pada peralatan rumah tangga di depannya telah berpindah ke sarung tangan yang ia gunakan. Berarti, ia telah memegang alat-alat beracun itu sebelumnya. Juan memejamkan mata, berusaha mengingat kembali benda apa saja yang telah ia sentuh sebelumnya. “Kemoceng dan alat pel,” gerutu Juan lirih. Sejenak kemudian, Juan mengambil kemoceng, lalu ia dekatkan gagang kemoceng ke hidungnya. “Uh…” Juan mencium aroma yang sama dengan aroma yang tercetak di sarung tangannya, namun aroma ini lebih pekat. Juan kembali menelisik, ia mengangkat kemoceng itu dan meletakkannya di bawah sorot lampu. Juan memicingkan mata, melihat jika gagang kemoceng itu memantulkan cahaya lampu samar-samar. Padahal, gagang kemoceng itu seharusnya terbuat dari bambu yang tidak dicat mengkilap. Pantulan cahaya lampu yang tercetak, tampak sangat aneh bagi Juan. Juan letakkan kembali kemoceng itu di tempatnya, lalu ia mengambil alat pel yang juga menggantung di sana. Lagi-lagi, Juan mendekatkan gagang alat pel itu ke hidung dan mencium aroma yang sama seperti aroma yang ia cium sebelumnya. Untuk memastikan asumsinya, Juan mengangkat alat pel itu tinggi-tinggi untuk memberikan pantulan yang lebih jelas dari lampu yang menyorot dari atas. Lagi-lagi dugaan Juan benar, gagang alat pel yang terbuat dari alumunium berwarna doff, seharusnya tidak memantulkan cahaya lampu. Tetapi gagang alat pel yang ia lihat di hadapannya memantulkan cahaya lampu yang lebih jelas dari kemoceng yang ia telisik sebelumnya. Juan bisa bernafas semakin lega, karena teka-teki alat rumah tangga beracun sebentar lagi bisa ia selesaikan. Juan hanya harus memilih satu di antara sapu dan kain lap. Setelah mengembalikan alat pel ke tempatnya, Juan kembali ingin menelisik alat ketiga yang ada di depannya. Saat Juan ingin menyentuh kain lap di hadapannya, Juan menghentikan tangannya saat sedikit lagi menyentuh kain lap tersebut. Juan berpikir, jika ia sembarangan menyentuh barang lain yang bersih, bisa saja ia justru menyebarkan racun pada barang tersebut karena sarung tangan latex yang digunakan sudah terkontaminasi dengan racun dari barang barang yang ia sentuh sebelumnya. Juan berpikir keras, bahkan ia sampai tidak berani menyentuh wajah dan rambutnya sendiri menggunakan tangan yang masih memakai sarung tangan. Juan sadar, waktu yang ia punya tidak banyak, ia harus secepat mungkin menyelesaikan teka-teki ini, atau mereka berdua akan terbunuh di permainan pertama. Juan mencoba untuk mendekatkan wajahnya ke alat-alat yang belum ia sentuh. Ketika ia mencium kain lap, aroma pemutih tidak terlalu tajam tercium. Lalu ia berpindah ke sapu, lalu ia hirup aroma gagang sapu itu dengan seksama. “Ugh!” Juan harus mundur satu langkah karena aroma bahan kimia yang dilumurkan ke gagang sapu terasa sangat menyengat. Bagaimana bisa aroma setajam itu menjadi samar ketika tidak mendekatkan wajah ke arah sumber bau? Apa yang salah dari ruangan ini? Juan kembali mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk tambahan. Saat itulah Juan menyadari jika di bagian atas gantungan alat-alat rumah tangga yang harus ia pilih, ada cerobong udara dengan kipas yang berputar menyedot udara ke dalamnya. “Jadi itu alat yang membuat benda-benda ini tidak memiliki aroma yang tajam?” Juan tetap memperhatikan lubang udara itu dalam beberapa saat. “Juan!” Suara Eva kembali menyadarkan Juan dari lamunan. Sepertinya wanita yang menggunakan kaos nomor 22 itu sadar jika kekasihnya tengah termenung. Juan menoleh kepada Eva dengan kesal, lagi-lagi ia merasa terganggu. “Waktu kurang sepuluh menit lagi!” Eva kembali berteriak. Ia tahu, Juan mungkin tidak akan suka diteriaki seperti ini, namun ia harus tetap melakukannya untuk mengingatkan kekasihnya bahwa waktu yang mereka miliki benar-benar tidak banyak. Sedikitnya waktu yang tersisa membuat Juan harus memutar otak lebih keras lagi. Ia harus segera memutuskan, alat mana yang harus ia bawa keluar. Juan kembali menghirup aroma satu persatu alat yang ada di depannya, untuk memilih alat mana yang memiliki aroma paling samar. Saat ujung hidungnya tiba di dekat kain lap, ia sadar bahwa alat itu memiliki aroma yang cukup samar. Bahkan ketika ia menelisik lebih lanjut, sumber aroma bahan kimia yang ada pada kain lap itu berasal dari alat lain yang membias pada kain tersebut. Dengan hati-hati Juan mengambil kain tersebut. Juan hanya memegang ujung kain, menjepitnya dengan jari agar racun yang menempel pada sarung tangan latex yang ia kenakan tidak menyebar hingga ke kain lap yang ia rasa bersih. Juan segera berlari ke ruang tengah, diikuti Eva yang juga keluar dari dapur dengan tergesa-gesa. “Awas!” Eva mengulurkan tangan, mencegah langkah Juan yang hampir menabrak gelas kopi yang tergeletak di lantai. Beruntung meski panik, Juan masih sempat mengerem langkah kakinya sehingga gelas yang ada di tengah-tengah ruangan itu tidak tertendang. Setelahnya, Eva segera mengambil kopi tersebut. “Tik… tik… tik…” Eva dan Juan bersamaan menoleh ke arah pengeras suara yang terpasang di pojok ruangan. Suara yang aneh itu, baru pertama kali mereka dengar. Saat melihat ke arah pengeras suara, Juan dan Eva sama-sama menyadari jika penghitung mundur yang dipasang di bawah pengeras suara tidak lagi berjalan. Nafas dua sejoli bernomor 22 ini semakin terasa berat, pikiran mereka berkelana liar ke segala arah tidak menentu, inilah saat penentuan bagi mereka berdua. “Peserta nomor 22, tentukan pembagian peran, sekarang!” Pota kembali berteriak dari balik mikrofon. Setelah banyak kejadian tidak menyenangkan di tengah permainan, badut kentang itu masih bisa berlagak tidak terjadi apa-apa demi menjaga suasana hati para peserta yang tidak tahu apa-apa. Juan dan Eva saling pandang, “bagaimana?” tanya Eva. Juan yang sejak awal tidak yakin dengan cara ia menyelesaikan teka teki, menjadi ragu saat harus mengambil keputusan. Pilihannya ada dua, yaitu ia harus menyerahkan kain lap yang ia bawa kepada Eva, atau Eva harus meminum kopi yang mungkin saja beracun. Juan terus diam dan berpikir, bagian mana yang memiliki resiko kecil? Apakah kopi? Atau kain lap? Setelah berpikir beberapa saat, sepertinya Juan cukup yakin dengan pilihannya. Ia merentangkan tangan, menyerahkan kain lap kepada Eva sambil berkata, “jangan pegang bagian yang telah kusentuh. Aku sangat berhati-hati, aku pastikan ini tidak beracun.” Eva tersenyum sambil menerima kain lap pemberian Juan. Setelah itu, lelaki berusia 17 tahun itu melepas sarung tangan yang ia kenakan. “Tenang saja, aku masih belum ingin kau mati,” ucap Eva sambil menyodorkan gelas berisi kopi kepada Juan. Sekarang, dua sejoli ini telah bertukar kado– maksudku… bertukar barang-barang di dalam permainan. Dua orang bernomor 22 ini tersenyum getir, saling menguatkan satu sama lain dalam diam. Kini, Eva telah memegang kain lap dengan tangan kosong. Sekarang hanya tinggal Juan yang harus meminum kopi dingin yang ia pegang. Eva mengangguk pelan, meyakinkan Juan jika ia tidak ingin membunuhnya. Juan menghela nafas, ia memandangi mata Eva yang masih berair dan merah karena iritasi. Juan pasrah, jika memang ia harus mati sekarang, maka matilah sekarang. Saat ini, ia memandangi wanita tercantik yang pernah hadir di dalam kehidupannya. Jika memang benar nyawanya akan hilang sebentar lagi, tidak ada penyesalan di dalam hatinya karena Juan telah mengarungi kehidupan bersama dengan orang yang sangat ia sayangi. Mungkin, lagi-lagi mungkin, ini adalah pengorbanan terakhir untuk Eva, jika Juan tidak berhasil bertahan hidup setelah meminum kopi yang dipilih oleh Eva. Meski begitu, Juan tidak akan menyalahkan Eva apabila kekasihnya memilih kopi yang salah untuknya. Perlahan, Juan menyeruput kopi dingin yang terasa pahit tersebut. Ia mengernyitkan dahi, karena benar-benar tidak bisa menikmati kopi tersebut. Belum lagi, Juan berpikir jika ia meminum kopi kematian yang membuat rasa pahit pada kopinya terasa lebih pekat lagi. Lalu sekarang, mereka hanya tinggal menunggu. Detik-detik terasa sangat lama, dua sejoli ini hanya bisa saling pandang. Apakah pilihan Juan benar? Apakah pilihan Eva benar? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD