Episode 12 : Pertarungan Terakhir Permainan Pertama

1706 Words
Waktu terasa berjalan sangat cepat apabila kita sedang tergesa-gesa, namun waktu juga bisa berjalan sangat lama saat kita sedang menunggu. Rasanya, satu menit pun seakan menjadi selamanya. Itu juga yang terjadi kepada Juan dan Eva yang sedang menunggu efek dari racun yang menyebar di dalam tubuh mereka. Juan termenung sambil melihat Eva, ia tidak ingin melewatkan detik-detik berharga yang mungkin tidak akan terulang lagi. Bukannya Juan tidak percaya dengan Eva, hanya saja Juan memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Berbeda dengan Eva, gadis cantik itu hanya menunduk. Ia tidak berani menatap mata kekasihnya. Lagi, bukannya ia tidak percaya bahwa Juan dapat memecahkan teka-teki alat-alat rumah tangga pada permainan ini. Hanya saja, ia tidak ingin melihat raut wajah sedih dan kehilangan yang ditunjukkan oleh Juan saat nantinya ia tersungkur karena tidak tahan dengan racun yang sudah menyebar ke seluruh tubuh. Dua sejoli ini sama-sama takut kehilangan. “Eva, perutku sakit,” ucap Juan lirih, membuat Eva mendongak, menatap kekasihnya yang mulai tampak pucat. “Apakah aku salah mengambil kopi? Tapi… tidak mungkin! Aku yakin kopi yang kau minum tidak beracun!” jawab Eva dengan bibir yang bergetar. Wanita muda itu terkejut sekaligus terpukul, ia sudah sangat percaya diri jika pilihannya benar. Sejenak kemudian ia berpikir, apakah reaksi yang ditunjukkan oleh racun yang terkandung di dalam kopi berbeda dengan apa yang ada di pikirannya? Eva merasa, ia sudah sangat teliti dalam memilih. Segala parameter pun ia pikirkan matang-matang. Tapi bagaimana bisa ia memberikan racun kepada Juan? “Eva, perutku terasa semakin perih!” Suara Juan terdengar semakin lirih. Pria itu bahkan harus memegangi perutnya, karena rasa sakit yang ia derita semakin berat. “Juan! Juan! Bertahanlah, Juan!” Eva melempar kain lap ke sembarang arah, kemudian ia segera berlari dan berusaha menyelamatkan Juan. “Hei, Panitia! Pota! Siapapun! Tolong Juan!” Eva berteriak sambil melihat ke arah pengeras suara yang terpasang di pojok ruangan. “Juan, bertahanlah! Juan, kau tidak akan mati di sini! Juan! Juan!” Eva merasa semakin panik, ia ingin segera menolong Juan. Sayangnya, tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Meminta tolong pun rasanya percuma, karena permainan ini memang dirancang untuk menghilangkan nyawa manusia, menganggap kehidupan warga kelas bawah seperti mereka hanyalah mainan bagi para tikus berdasi yang memiliki uang dan kekuasaan. Juan meringkuk di lantai, tidak kuasa menahan rasa sakit di perutnya. Eva yang semakin panik hanya bisa menangis dan memanggil nama kekasihnya. “Juan, bertahanlah! Jangan sampai kau pingsan, Juan! Aku yakin kau pasti hidup!” Berbeda dengan Juan yang merasa kesakitan, tubuh Eva masih tetap segar bugar setelah beberapa saat menyentuh kain lap pemberian dari Juan. Namun sayangnya, rasa panik dan takut kehilangan kekasih membuat Eva tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia bahkan lupa jika dirinya mungkin saja juga baru saja berurusan dengan racun. “Aaargh!” Juan mengerang kesakitan. Ia meringkuk sambil memegang perutnya yang terasa semakin menyiksa. “Perutku rasanya ingin meledak!” ucap Juan sambil meringis menahan sakit. Satu detik kemudian, Juan kembali mengerang, “Aaargh!” Teriakan keras Juan menggema bersamaan dengan suara lain yang berasal dari tubuh bagian bawahnya. Suara gas yang keluar dengan keras dari lubang pembuangan tubuh Juan, membuat Eva yang berada di dekatnya hanya bisa diam, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Setelah erangan dan suara gas itu mereda, Juan berguling hingga terlentang. Tatapan matanya berubah sayu, nafasnya tersengal dan wajah pucatnya perlahan memerah. Sejenak kemudian, Juan tertawa kecil hingga membuat tubuhnya sedikit tersentak. “Sial! Kukira aku akan mati!” gerutu Juan sambil menghadap langit-langit. “Sayang, apa yang…” Eva menatap Juan sambil bertanya-tanya, ada apa ini sebenarnya? “Kafein di dalam kopi menyebabkan lambungku memproduksi gas berlebih, aku belum makan apapun sejak datang ke tempat ini!” ucap Juan lirih. “Jadi…” Eva masih tetap terpaku, berusaha mencerna kejadian di depannya. “Kukira juga kopi yang kau berikan itu beracun. Ternyata, perutku hanya sedang gangguan, hehehe,” sahut Juan dengan suara yang masih lirih. Badannya lemas, sepertinya Juan mengeluarkan banyak tenaga ketika menahan perih di perutnya. “Pasangan nomor 22, kalian lolos ke babak selanjutnya!” seru Pota dari balik pengeras suara. Eva menunduk dan terdiam, Juan pun masih tidak bisa berkata apa-apa. Mereka tidak menyangka jika lolos ke babak selanjutnya. Sejenak kemudian, tiba-tiba badan Eva tersentak, seperti sedang menangis terisak. Juan yang menyadari hal itu karena sedang melihat ke arah kekasihnya, berusaha menenangkan tangisan dari wanita yang sangat ia cintai itu. “Hei sudahlah, kita bisa beristirahat sekarang. Permainan pertama sudah berakhir, jangan menangis, aku masih hidup,” ucap Juan sambil tetap berbaring. Tenaganya masih belum pulih setelah bertarung dengan gas perut dan asam lambung. Bukannya mereda, isakan Eva justru semakin menjadi-jadi, membuat Juan semakin khawatir. Sekuat tenaga Juan berusaha bangkit, lalu ia menepuk pundak Eva saat ia berhasil memaksa badannya untuk duduk. Sesaat kemudian, Eva menoleh ke arah Juan dengan senyum yang terukir di wajahnya. “Kukira kau akan mati, dasar payah, hahaha!” Eva tertawa terpingkal-pingkal, membuat Juan yang mengira kekasihnya sedang menangis menjadi bingung. “Rupanya kita hanya sedang bertarung melawan asam lambung, Juan, hahaha!” Suara tawa Eva semakin terdengar menggelegar. Meski matanya masih merah, rasa senang yang ia rasakan mampu mengalihkan rasa perih di matanya dalam sekejap. Eva yang masih segar bugar, perlahan bangkit dan mengulurkan tangan kepada Juan hendak membantunya. Dengan senyum yang masih terukir di bibir, Juan tanpa ragu menyambut uluran tangan Eva. “Aw, berat!” gerutu Eva berusaha sekuat tenaga menarik tangan Juan. Setelah dua sejoli itu berdiri, pintu geser atau shoji yang dilengkapi laser panas perlahan terbuka. Juan dan Eva saling melirik, rasa takut yang mereka rasakan sejak awal permainan seakan sirna, menyadari jika mereka saat ini lolos dari permainan pertama. Setelah puas tertawa, Eva memapah Juan keluar dari arena permainan, melewati shoji yang terbuka menuju lorong panjang dengan pencahayaan minim. Saat itu, Juan dan Eva tidak merasa curiga sama sekali dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kewaspadaan mereka menurun drastis digantikan oleh euforia karena berhasil menyelesaikan permainan. “Hei, Eva, bagaimana kau bisa memecahkan teka-teki kopi beracun itu dengan cepat?” tanya Juan sambil berjalan tertatih di lorong panjang tersebut. “Sebenarnya aku menemukan petunjuknya karena tidak sengaja, Juan. Saat itu aku tanpa sadar menangis, tidak terima dengan kenyataan bahwa kita terjebak di tempat ini. Aku harus berusaha sekuat tenaga agar kita bisa keluar dari tempat ini dengan selamat,” terang Eva. “Lalu?” Juan ingin mendengar cerita Eva lebih lanjut. “Tanpa sengaja, sambil menangis aku menyentuh salah satu bibir gelas. Karena risih dengan air mata yang mengalir, aku mengusap mata dengan jari tangan yang kugunakan untuk menyentuh bibir gelas. Sayangnya, mataku terasa perih setelah itu.” “Kemudian kau mengulangi perbuatan itu lagi, Eva?” “Bagaimana lagi, Juan? Aku harus memastikan jika teoriku benar, bukan?” “Lalu kau memintaku menjadi kelinci percobaan juga? Karena mataku tidak perih setelah dikucek menggunakan tangan yang kupakai untuk menyentuh bibir gelas, kau berpikir bahwa kopi yang kau bawa keluar tidak beracun?” telisik Juan. “Tepat sekali, Juan Sayang. Lalu kau, bagaimana kau bisa memecahkan misteri alat rumah tangga? Apalagi, waktu yang tersisa hanya tinggal sedikit.” “Ah itu…” Juan tampak enggan menjawab pertanyaan dari Eva. Sayangnya, Eva sangat ingin mendengar penjelasan dari kekasihnya. Karena kesal, Eva sampai menghentikan langkah di tengah lorong lalu melirik tajam ke arah Juan, membuat pria itu gemetar ketakutan karena aura buas yang menguar pekat dari tubuh Eva. “Baiklah, baiklah! Aku akan menjelaskannya!” Jawaban dari Juan membuat Eva kembali melanjutkan langkah. “Aku sebenarnya malu, karena membutuhkan waktu yang sangat lama hanya untuk memilih alat-alat sederhana seperti itu. Lebih memalukan lagi, karena saat aku sadar, racun yang ada di alat-alat itu sangat terlihat mencolok.” “Mencolok seperti apa, Juan?” “Alat-alat rumah tangga itu hanya dilumuri cairan beracun yang sangat mencolok. Bahkan cairan racun itu menempel di sarung tangan yang aku gunakan, membuat sarung tanganku mengkilap saat terkena sorot lampu.” “Jadi, kau menyadari racun itu karena bekas yang tertinggal di sarung tangan? Seperti itu saja harus memakan waktu sangat lama? Ish… bodoh sekali kau, Juan. Aku menyesal menjadi kekasihmu,” ejek Eva. “Hei, ayolah! Aku tidak sepandai dirimu dalam urusan teka-teki! Aku hanya pandai melarikan diri!” Juan tidak terima dengan perkataan Eva. “Pandai melarikan diri? Kalau begitu, kau harusnya bisa kabur dari tempat ini dengan mudah, bukan?” tantang Eva. “Bisa saja, asal… asal aku tahu di mana letak pintu keluar, hehehe.” Juan sepertinya hanya sesumbar saat mengatakan ia pandai melarikan diri. Secerdik apapun Juan, ia tetap saja tidak bisa melarikan diri dari Couple Games, karena permainan ini memiliki sistem keamanan yang mutakhir. Setelah perjalanan panjang, akhirnya Juan dan Eva tiba di depan pintu sebuah elevator. Juan dan Eva saling tatap dengan bingung, lalu pandangan mereka kembali teralihkan ketika terdengar suara “ting…” dari elevator di depan mereka. Perlahan, pintu elevator terbuka. Di dalamnya, terdapat peserta lain yang sudah lolos dari permainan pertama lebih dulu dari Juan dan Eva. Juan dan Eva masuk perlahan. Dua orang yang berada di dalam elevator bergeser, memberikan ruang kepada pasangan nomor 22 itu untuk masuk. Melihat peserta lain yang tampak murung, membuat Juan dan Eva tidak enak hati jika harus bersenang-senang di depan mereka. Juan dan Eva tahu, tidak semua orang sanggup memiliki kehidupan penuh tantangan seperti mereka. Juan dan Eva tidak bisa menyamakan kehidupan mereka dengan orang lain, membuat pasangan nomor 22 itu hanya diam sampai pintu elevator kembali menutup dan elevator mulai berjalan ke atas. Detik demi detik kembali terasa sangat lama, sama seperti ketika mereka menunggu efek racun bekerja setelah meminum kopi dan menyentuh alat rumah tangga. Kurang lebih sekitar sepuluh menit berjalan, elevator tidak segera sampai di tempat tujuan. Juan berpikir, sepanjang apapun jalur elevator, seharusnya mereka sudah tiba di tujuan beberapa menit yang lalu. Melihat ke arah tombol di bagian kanan elevator, para peserta yang berdiri di dalamnya sadar jika bangunan yang menjadi penjara bagi mereka hanya memiliki lima lantai. Suasana terasa semakin aneh ketika angka pada penunjuk lantai masih tetap sama seperti saat mereka masuk, padahal elevator tidak berhenti bergerak. Juan dan Eva saling tatap, begitu juga dengan dua peserta yang lain. Mereka sadar, ada sesuatu yang salah di dalam elevator. Apakah ada kesalahan sistem? Atau memang mereka sengaja dijebak di dalam elevator?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD