Episode 10 : Peserta Nomor 5

1541 Words
Selamat datang kembali pada permainan cinta paling syahdu di abad ini, Couple Games. Izinkan aku, Ramagendhis, narator kesayangan kalian, untuk kembali memandu jalannya acara kali ini. Para peserta masih berjibaku dengan teka-teki racun yang ada di permainan pertama, Household Game. Permainan sederhana yang menguji kerjasama dan rasa saling percaya atas keputusan pasangan ini, sekejap berubah menjadi mencekam karena para peserta tidak bisa memecahkan misteri yang sangat sederhana. Hanya racun, padahal hanya sekadar racun sederhana, tidak ada yang lain. Misteri sederhana seperti itu saja tidak bisa mereka pecahkan dengan cepat. Apakah musim ini aku salah memilih peserta? Rasanya, mereka semua terlampau payah. Apakah aku harus meminta Pota untuk mengeksekusi mereka semua dan mencari peserta baru? Hem… kita lihat saja! Jika memang nantinya mereka tidak layak melanjutkan permainan, aku pastikan mereka semua akan segera pergi ke surga. Kamera akan kembali aku fokuskan kepada dua pemeran utama kita, Juan dan Eva yang menggunakan nomor 22. Eva yang merasa sudah menemukan kopi bersih tanpa racun dengan mengorbankan kedua mata, berbanding terbalik dengan Juan yang terlihat bingung, takut untuk membuat keputusan. Ia berpikir keras, mempertimbangkan semua resiko yang bisa terjadi. Racun yang terdapat pada tiga dari empat alat rumah tangga yang menggantung di depannya, bereaksi saat kontak dengan keringat, kemudian meresap ke dalam tubuh. Juan melihat telapak tangannya yang berlapis sarung tangan karet, ia perhatikan dengan seksama. Di bawah sinar lampu dari rumah tradisional khas jepang, telapak tangannya terlihat mengkilat di beberapa titik, memantulkan cahaya lampu bagai air atau kaca. Juan sedikit menaruh curiga. Seharusnya, jika memang sarung tangan ini memantulkan cahaya, maka pantulannya akan terlihat di seluruh permukaan sarung tangan, tidak hanya sebagian. Juan mendekatkan sarung tangan ke wajah, memperhatikan dengan lekat apa melapisi sarung tangan itu. “Juan! Waktu tinggal sedikit lagi!” Eva berteriak dari arah dapur, membuat raut wajah Juan yang mulanya serius berubah menjadi kesal. Juan menoleh ke belakang, ke arah Eva yang menatapnya dengan cemas, “Diamlah sebentar! Aku berusaha memecahkan teka-teki di sini! Suara jelekmu tidak bisa membuat misteri ini menjadi semakin mudah!” Juan berteriak sambil mengernyitkan dahi, kemudian kembali berbalik dan mencoba mendapatkan fokus yang sudah buyar. “Haruskah aku membantu?” Eva hendak melangkah keluar dari dapur. “Diam di sana! Jika kau keluar, maka kita akan semakin mudah tereliminasi!” Ucapan Juan membuat Eva mengurungkan niat dan kembali melangkah mundur, menjauh dari pintu dapur. Eva sebenarnya juga masih gemetar, meski ia sudah berhasil memecahkan teka-teki dari pekerjaan dapur miliknya, namun permainan ini tidak akan selesai sebelum Juan juga berhasil memilih satu di antara alat-alat di depannya. Suasana tergambar dengan kondisi bertolak belakang dibanding para peserta lainnya. Kalian para penonton, apakah masih ingat dengan peserta nomor 5? Jika kalian lupa, aku akan memutar kembali ingatan kalian pada saat mereka ada di kamar mewah, sebelum permainan pertama ini dimulai, mereka berdua kedapatan sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan di dalam kamar. Sesuatu yang terlihat seperti… ah, mereka melakukan sesuatu yang sangat tidak wajar dilakukan oleh orang yang sedang panik. Aku sebagai narator pun ikut bingung, di saat hampir semua orang berpikir keras untuk melarikan diri, kenapa dua orang itu justru hanyut ke dalam cinta seakan dunia milik berdua? Namun setelah aku berpikir lagi, aku rasa apa yang mereka lakukan itu adalah hal yang wajar, karena bagaimanapun permainan ini adalah Couple Games, permainan cinta paling syahdu di abad ini. Saat peserta lain bangun di dalam rumah tradisional khas jepang, mereka pasti merasa semakin panik karena lagi-lagi berpindah tempat. Namun apa yang terjadi dengan dua sejoli yang benar-benar sedang dimabuk asmara ini sangat aneh. Ketika peserta nomor 5 bangun hampir bersamaan, si wanita masih sempat mengucapkan selamat pagi kepada kekasihnya. Bahkan ia masih sempat mengecup bibir kekasihnya dengan mesra, lalu si pria tersenyum sambil mengelus kepala si wanita. Sungguh pemandangan yang memuakkan terekam kamera CCTV. Aku terkadang juga bertanya-tanya, apakah dua orang ini tidak sadar jika aktivitas mereka diawasi bahkan ditonton oleh khalayak ramai? Pota yang menyaksikan mereka dari ruang CCTV pun sampai menutup mata topeng badut kentang yang ia pakai karena tidak ingin melihat aktivitas nakal yang masih berlanjut hingga ke arena Household Games. Ketika Pota mengumumkan peraturan permainan, dua orang itu terlihat masih tidak menghiraukan perkataan dari administrator. Bahkan ketika permainan dimulai, mereka berdua masih asyik bermesraan di ruang utama rumah tradisional khas jepang tersebut. Sesekali, si lelaki melihat ke arah penghitung waktu yang ada di pojok ruangan, tepat di bawah pengeras suara. Aku yakin, mereka sadar apabila waktu berjalan dua kali lebih cepat dari semestinya karena mereka tidak segera masuk ke ruang permainan masing-masing, namun dua sejoli itu masih terlihat cuek dan tetap saja melanjutkan aktivitas memuakkan yang mereka lakukan. Delapan menit waktu tersisa, pasangan nomor 5 baru masuk ke dalam ruangan masing-masing dengan santai. Pota yang ada di ruangan CCTV pun sampai merasa geram kepada mereka. Sejak dari kamar mewah, pasangan ini adalah peserta yang paling dibenci oleh Pota karena tidak menunjukkan reaksi yang diperlukan untuk kebutuhan hiburan acara. Tapi hingga saat ini, Pota masih belum mengambil tindakan untuk menghukum mereka berdua. Pota berpikir, dua orang itu masih ada di dalam batas wajar. Mereka tidak melanggar peraturan, tidak juga bersikap kurang ajar kepada Pota selaku administrator permainan. Mulanya, Pota cukup meremehkan mereka berdua. Sikap cuek yang peserta nomor 5 tunjukkan, seakan memberikan isyarat jika mereka akan dieliminasi dengan mudah dari permainan. Sikap tenang yang mereka tunjukkan juga, membuat Pota penasaran dan mengawasi mereka dengan seksama. Saat masuk ke dapur, si wanita nomor 5 hanya melakukan sebuah permainan anak sederhana, “cap cip cup kembang kuncup,” kemudian ia memilih satu gelas dengan acak dan dibawa keluar. Pota bahkan sampai bingung, bagaimana bisa ia dengan tenang memilih gelas tersebut sementara para peserta lain harus bersusah payah memecahkan misteri? Apakah wanita itu tidak takut akan memberikan racun kepada kekasihnya? Atau jangan-jangan, wanita itu sebenarnya menaruh dendam besar kepada lelaki namun tidak ia ungkapkan sebelumnya? Sayangnya, hal serupa juga terjadi di gudang, di mana peserta pria seakan tanpa ragu langsung mengambil kain lap. Lebih parah lagi, ia tidak berpikir atau bahkan melakukan cap cip cup seperti kekasihnya. Pota semakin geram saat melihat apa yang diambil oleh pria nomor 5. Apakah ini hanya kebetulan? Atau pria itu sudah tahu sebelumnya tentang permainan yang akan dimainkan di sini? Siapa sebenarnya mereka berdua? Pertaruhan terakhir hanya ada pada kopi yang diambil oleh si wanita. Apakah wanita itu bisa benar-benar dengan mudah memecahkan misteri kopi beracun? “Tik… tik… tik…” Suara penghitung mundur berhenti saat kedua peserta nomor 5 keluar dari arena permainan mereka masing-masing. “Peserta nomor 5, tentukan pembagian tugas sekarang!” seru Pota dari balik pengeras suara. Meskipun Pota sangat membenci kedua peserta tersebut, namun sesuai aturan permainan, administrator tidak boleh menunjukkan emosi kepada pemain. Dua peserta nomor 5 saling menatap sambil tersenyum sangat mencurigakan. Mereka berdua seakan mengabaikan perkataan Pota dan lagi-lagi hanya berfokus kepada pasangan mereka masing-masing. “Kita tidak akan bertukar peran! Bukankah begitu, Sayang!” seru si lelaki yang terdengar hingga ke ruangan CCTV. Si wanita hanya tersenyum mendengar ucapan kekasihnya. Apakah ini jawaban dari keputusan mereka yang mengambil barang-barang permainan dengan mudah? Jadi, mereka sudah memikirkan resiko saat mengambil barang-barang tersebut. Siapapun yang melakukan eksekusi terhadap alat-alat di dalam permainan, maka ia yang harus menanggung akibatnya. Jadi, masing-masing dari mereka tidak ingin membunuh pasangannya? Jujur saja, sebagai narator pun aku masih bingung dengan cara mereka berpikir. Bagaimana dulu aku bisa mendapatkan pasangan ini, ya? Si lelaki nomor 5 tanpa ragu melepas sarung tangan dan memegang kain lap dengan tangan kosong, sedangkan si wanita juga tanpa ragu meminum kopi di tangannya, bahkan ia menikmati kopi tersebut. Sayangnya, kopi yang tersaji di sana tidak dilengkapi dengan gula, sehingga membuat peserta wanita mengernyitkan dahi karena merasa terlalu pahit. Namun setelah beberapa saat, mereka berdua saling tersenyum dan tertawa satu sama lain, seakan baru saja melakukan sesuatu yang receh. Apakah dua orang itu tidak menganggap serius permainan ini? Hei, mereka seharusnya sadar jika permainan ini bisa sewaktu-waktu merenggut nyawa. Rasanya mereka saat ini tengah melakukan penghinaan yang teramat memalukan kepadaku! Detik demi detik terasa sangat lama bagi Pota. Sayangnya, pasangan nomor 5 sepertinya tidak merasakan gelisah seperti yang Pota rasakan. Di antara puluhan peserta, pasangan nomor 5 ini sepertinya satu-satunya yang bersikap paling tenang di antara yang lain. Semakin lama waktu tunggu berlangsung, semakin gelisah Pota rasakan di dalam pikirannya. Bahkan lagi-lagi Pota harus mengepalkan tangan menahan amarah. Pota hanya bisa berharap, gelas yang diambil oleh si wanita adalah kopi beracun. Sayangnya, harapan hanya tinggal harapan. Setelah beberapa menit menunggu, pasangan nomor 5 tidak menunjukkan gejala keracunan sama sekali. Dua orang itu masih tetap bugar, seperti tidak terjadi apapun. Saat melihat peserta lelaki, Pota sedikit paham kenapa ia masih bugar, karena lelaki itu mengambil alat rumah tangga yang benar. Namun saat melihat peserta perempuan, ia tidak menyangka peserta itu mampu mengambil gelas kopi yang benar bahkan seakan tanpa berpikir. Tangan Pota semakin gemetar saat ini, ia tidak terima jika permainan miliknya dipermainkan oleh peserta. Badut kentang itu merasa sangat berat hati ketika ingin menghidupkan mikrofon di depannya. Tapi bagaimanapun, ia harus tetap bertindak profesional hingga ditemukan bukti kecurangan pada peserta. Setelah mengambil nafas panjang, Pota akhirnya menghidupkan mikrofon sambil tangannya tetap gemetar. “Pe-peserta, maksudku pasangan nomor 5, lolos ke babak selanjutnya,” ucap Pota lirih, berbeda ketika ia mengumumkan peserta lain yang terdengar sangat antusias dan bersemangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD