Episode 9 : Abi dan Abel

1757 Words
Kita kembali ke dalam permainan, penonton sekalian. Sudah cukup bermain-main dengan masa lalu salah satu peserta. Aku akan menyorot ke peserta yang kita bahas pada episode sebelumnya. Seorang wanita berusia 17 tahun, ya… semua peserta permainan ini pasti berusia 17 tahun, bernama Abel, dengan tubuh ramping dan mungil serta berkulit coklat eksotis, sedang berdiri termenung di dapur rumah tradisional khas jepang, menghadap empat gelas kopi yang beracun. Peserta dengan nomor 10 yang aku ambil dari Kota Nelayan tersebut, kebingungan memilih satu di antara empat gelas kopi di depannya. Abel bukan bingung memilih kopi mana yang tidak mengandung racun, melainkan ia harus memilih kopi mana yang terdapat racun karena kekasihnya yang bertubuh tinggi, Abi, sangat ingin ia bunuh. Episode sebelumnya menayangkan adegan di mana Abi menertawakan Abel yang mendapat perlakuan buruk dari pelanggan di Coco Bar. Bukan hanya perlakuan Abi yang membuat Abel geram, melainkan juga Abel menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat itu Abi sedang berada di dalam klub bersama dengan wanita lain. Abel berpikir, apa kurangnya dirinya? Apakah dirinya kurang cantik? Ataukah memang ia kurang menggoda? Sehingga Abi sampai menyewa perempuan lain untuk menemaninya. Sayangnya, Abel pun tidak berkaca bahwa dirinya juga setiap malam menemani lelaki lain. Dendam dan emosi yang sudah menghantui dirinya, membuat Abel hanya memikirkan cara untuk menghabisi kekasihnya itu. Sedikit kontradiktif memang dengan apa yang digambarkan pada episode sebelumnya, di mana Abel seakan dipaksa dan dilecehkan oleh Abi. Namun di balik itu, rupanya dua sejoli itu sedang menjalin asmara. Entah bagaimana awal mula mereka saling kenal, hingga saat permainan pertama berlangsung pun, informasi tentang dua orang itu masih belum lengkap. Abi yang berada di gudang pun masih termenung dalam keadaan bingung. Namun ketika disorot lebih detail, Abi jelas-jelas tidak terlihat bingung. Lelaki bertubuh tinggi itu hanya duduk di lantai sambil memandangi empat alat rumah tangga yang menggantung di dinding. Tatapan Abi tampak kosong, seakan ia sedang melamun. “Abi!” seru Abel dari luar gudang, membuat Abi membuyarkan lamunan. Pria itu segera menoleh dan tersenyum kepada Abel, namun masih enggan bangkit dari tempatnya duduk. “Kau bingung, ya?” tanya Abel ramah. Abel sebenarnya ingin berjalan masuk ke gudang, namun ia masih khawatir dengan hukuman yang akan didapatkan jika melanggar peraturan. Jika Abel ingin membunuh Abi, maka ia harus tetap bermain cantik. Abel sadar, ia hanyalah seorang pekerja kotor rendahan yang selalu dipandang sebelah mata oleh orang lain. Namun hal itu tidak membuat Abel serta merta menjadi orang yang bodoh, Abel hanya diam dan menunggu waktu yang tepat untuk membalas perlakuan Abi selama ini. “Tidak, aku tidak bingung. Aku hanya tinggal mengambil satu dari empat alat ini, bukan?” Abi menunjuk ke arah empat alat itu menggantung. “Benar, Abi. Kau pilih lah secara acak, jika kau sayang padaku, pasti firasatmu akan mengarahkan kepada pilihan yang benar,” ucap Abel sambil membalas senyum Abi. Pria yang dari tadi hanya duduk diam, kini bangkit dan mengambil kain lap untuk dibawa keluar. Selama Abel di luar dapur sendiri, waktu berjalan dua kali lebih cepat, membuat mereka berdua hampir kehabisan waktu. Abi berjalan santai keluar dari gudang, sebelum kemudian terdengar suara, “tik… tik… tik…” dari penghitung waktu yang terpasang di sudut ruangan, tepat di bawah pengeras suara. “Peserta nomor 10, silakan tentukan pembagian tugas, sekarang!” seru Pota dari balik pengeras suara. Abi dan Abel berdiri di tengah ruangan saling berhadapan. Abel menatap Abi tajam, ia tidak lagi bisa menyembunyikan emosinya yang hampir meledak. Abi melangkah, mendekat ke arah Abel, kemudian mengelus pipi wanita itu dengan sarung tangan yang masih terpasang padanya. Abel mengalihkan tangan Abi dari wajahnya, “jangan, mungkin saja racun dari alat-alat yang kau pegang masih menempel di sana.” “Aku dari tadi hanya diam di gudang, Sayang. Kain lap ini satu-satunya yang aku pegang. Andaikata kain ini beracun, maka tidak akan ada bedanya jika nantinya kau memegang kain ini dengan tanganmu sendiri.” Abi menepis tangan Abel yang berusaha melawannya, lalu kembali ia mengelus pipi Abel dengan tangan kanan, sembari tangan kirinya mengangkat kain lap yang ia pegang. Abel berpikir keras, ia tidak ingin mati di sini. Apakah memang ia harus bertukar barang dengan Abi? Ia sama sekali tidak bisa memercayai kekasihnya itu setelah apa yang Abi lakukan kepadanya selama ini. “Jadi, kau ingin memberiku kain itu? Kain yang kau pilih secara acak itu, kau ingin aku menggunakannya? Abi, jika aku mati, kau tidak akan bisa memakaiku lagi. Aku sudah memilih dengan teliti kopi ini.” Abel mengangkat kopi di tangannya, “aku sudah pastikan kopi ini tidak beracun.” “Jika seperti itu, berarti kau sanggup meminum kopi itu untukku bukan? Kau bilang, kau sudah memastikan kopi itu tidak beracun,” sahut Abi. Lelaki itu sepertinya juga tidak percaya kepada Abel. Abi berpikir, ada kemungkinan Abel akan menggunakan momen ini untuk membalas dendam atas apa yang Abi lakukan kepadanya selama ini. Jantung Abel berdegup kencang, ia tidak yakin apakah kopi yang ada di tangannya benar-benar bersih dari racun. Bagaimanapun, Abel memilih secara acak satu dari empat gelas, di mana kemungkinan untuknya mengambil kopi yang beracun lebih besar dibanding kopi yang bersih. Rasa takut yang mulai muncul di dalam kepala, membuat Abel menjadi ragu atas tindakannya sendiri. Haruskah ia mati di tangan kekasihnya? Haruskah satu-satunya kesempatan untuk membunuh Abi harus berbalik menjadi hari kematiannya? Abel menghela nafas, lalu perlahan ia mengangkat gelas kopi di tangannya mendekat ke mulut. Abel sudah siap, jika memang hari ini adalah hari kematiannya. Abel telah berpikir, lebih baik ia mati daripada harus hidup di tangan lelaki yang tidak bisa memperlakukan dirinya dengan baik. Abel sangat terkejut melihat Abi tiba-tiba mencegahnya meminum kopi. Abi berkata dengan lembut, “aku percaya kepadamu. Kau tidak akan tega membunuh orang yang sangat kau cintai sepertiku.” Abel bisa bernafas lega, meski ia memang harus menahan diri agar tidak meluapkan emosinya di sini. Sekuat tenaga Abel menahan bibirnya yang nyaris tersungging. Abel berharap, Abi tidak menyadari raut wajahnya yang mendadak berubah. Dengan cepat, Abi mengambil kopi dari tangan Abel, kemudian ia mengulurkan tangan kiri yang memegang kain lap kepada Abel. “Apakah kita harus mati bersama?” kata Abel yang tidak langsung mengambil kain lap dari Abi. “Apa maksudmu? Kau sudah membuktikan bahwa kopi ini tidak beracun, Abel. Apa lagi sekarang? Aku sudah percaya padamu!” Abi sedikit meninggikan suara, ia tidak suka dengan Abel yang berpikir rumit. “Tindakanku tadi tidak membuktikan bahwa kopi yang kubawa tidak beracun, Abi. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku rela mati demi dirimu, hanya itu. Sedangkan kau, kau tidak membuktikan diri bahwa kau rela mati untukku dengan menyentuh kain lap itu. Bagaimana aku bisa percaya padamu?” Abel mencoba membuat semuanya menjadi rumit, karena Abel tahu bahwa Abi tidak bisa diajak berpikir sulit. Menentukan alat yang ingin ia ambil saja tidak bisa. Bukan hanya tidak bisa, sejak permainan berlangsung, Abi hanya termenung duduk di lantai tanpa berbuat apapun, menandakan ia sebenarnya tidak begitu peduli terhadap permainan ini. Hanya saja, Abi memiliki pride yang tinggi, ia tidak suka diremehkan. “Hei, Kentang, bagaimana jika aku yang menanggung semua ini? Aku yang memegang alat kebersihan, aku juga yang meminum kopi. Bagaimana?” seru Abi sambil menoleh ke pengeras suara. “Hem… boleh juga! Aku rasa ini akan menjadi lebih seru. Jadi… baiklah! Aku izinkah kalian melakukannya, yeay!” Pota terdengar sangat gembira dan menikmati permainan ini. Ia sangat senang ketika melihat peserta yang justru menantang dirinya sendiri agar lebih dekat dengan maut. Abi menyerahkan kembali kopi di tangannya kepada Abel, sementara ia menjatuhkan kain lap dan melepas sarung tangan yang membalut telapak tangannya. Setelah itu, Abi mengambil kain lap yang terjatuh di lantai menggunakan tangan kosong tanpa sarung tangan, lalu meminta kembali kopi yang ada di tangan Abel. Abel menatap lekat ke mata Abi, ia sedikit tidak percaya jika Abi bisa semudah itu jatuh ke dalam jerat ucapannya. Abel tahu, Abi adalah orang yang tidak suka ditantang, namun tetap saja ia tidak menduga jika perlawanan Abi berakhir seperti ini. Perlahan, Abi menyeruput kopi dari gelas. Berbeda dengan peserta nomor 18 yang langsung meminum habis kopi dari gelas, Abi memilih menikmati kopi tersebut selayaknya orang minum kopi pada umumnya. Pelan-pelan, seteguk demi seteguk. Raut wajah Abi bahkan terlihat sangat menikmati kopi tersebut. “Kopi ini memiliki rasa yang pas. Tidak terlalu manis, tidak juga terlalu pahit. Serta… ada sedikit rasa almond ketika turun ke tenggorokan. Nikmat sekali!” Abi bahkan merem melek menikmati kopi tersebut. Mendengar ucapan Abi, Pota yang ada di ruang CCTV menjadi semakin bersemangat. Pota yakin, kopi yang Abi minum adalah kopi beracun. Jantung Pota berdebar semakin kencang, seiring berjalannya waktu, menunggu reaksi racun yang diminum oleh Abi. Satu menit, dua menit, bahkan Pota menunggu hingga lebih dari 10 menit, namun tidak ada reaksi berarti dari tubuh Abi. Pota mengepalkan tangan, ia bingung kenapa Abi tidak mengalami gejala keracunan. Padahal, ucapan Abi tadi benar-benar meyakinkan jika ia mengonsumsi kopi yang beracun. Apakah ia harus menambah waktu untuk Abi? Harusnya tidak. Waktu yang ia berikan untuk Abi, lebih banyak dibanding peserta nomor 18 yang lolos terlebih dahulu. Belum lagi, kain lap yang Abi ambil pun tidak memberikan reaksi apapun terhadap tubuhnya. Pota berteriak histeris, dengan kondisi mikrofon yang mati. Pota kesal, melihat permainan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal harusnya Abi menunjukkan gejala keracunan sekarang, namun pria itu masih juga berdiri tegap seakan tidak terjadi apapun. Nafas Pota memburu, ingin rasanya ia menghancurkan alat-alat komunikasi yang ada di depannya. Namun Pota harus menahan diri, karena mikrofon, kamera, dan semua alat yang ada di depannya adalah milik orang lain, di mana Pota hanya bertugas untuk mengawasi peserta. Jika memang Pota nekat merusak alat-alat tersebut, maka pemilik acara Couple Games akan membuat Pota mengganti seluruh kerusakan yang ditimbulkan. Pota tidak ingin tersangkut masalah dengan para petinggi Couple Games. Lagi-lagi, Pota harus mengatur nafas. Sesuai peraturan yang disepakati, Pota tidak boleh menunjukkan emosinya kepada peserta. Ia harus tetap bersikap selayaknya badut kentang yang ramah dan menyenangkan, agar para peserta tidak tertekan dalam memainkan permainan-permainan yang ada dalam rangkaian Couple Games. Setelah menarik nafas panjang, Pota menghidupkan kembali mikrofon dengan tangan gemetar. “Pa-pasangan nomor 10, lolos ke babak selanjutnya!” Lolosnya pasangan nomor 10 membuat Abel merasa kesal. Abel tidak tahu bahwa kopi yang ia ambil adalah kopi beracun. Abel juga tidak tahu, jika Abi tidak menunjukkan apapun setelah meminum racun. Apa yang Abel tahu hanyalah, ia mengambil kopi yang tidak beracun. Abel kesal, karena ia justru berhasil mengambil kopi bersih di antara gelas-gelas beracun. Abel semakin kesal, karena menganggap Abi memiliki keberuntungan yang bagus. Abel harus memikirkan cara lagi untuk membunuh Abi di permainan selanjutnya, meskipun itu akan menghilangkan nyawanya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD