Episode 8 : Pekerja Malam Coco Bar

1635 Words
Permainan pertama, Household Game, telah berjalan hampir separuh waktu. Setidaknya ada dua pasang yang telah dinyatakan lolos dan satu pasangan yang dinyatakan gagal karena melawan administrator. Aku, Ramagendhis, di sini akan selalu melaporkan berita terkini dari permainan cinta paling syahdu di abad ini. Couple Games, permainan cinta yang paling layak ditunggu setiap episodenya, karena akan selalu menyajikan kisah cinta paling menyayat hati. Pada episode kali ini, Couple Games akan menyorot salah satu peserta yang memiliki latar belakang unik. Mereka adalah pasangan yang menggunakan nomor 10. Saat ini, dua sejoli itu masih termenung di bilik mereka masing-masing tanpa kata yang terucap dari keduanya. Si pria dan si wanita berpikir keras, gelas kopi dan alat mana yang kira-kira tidak memiliki racun di dalamnya. Ada kisah menarik tentang pasangan nomor 10 ini. Couple Games tidak akan memilih peserta secara acak, kita selalu melakukan seleksi ketat kepada calon peserta yang dibawa ke dalam permainan. Seleksi yang dilakukan meliputi seleksi fisik, serta latar belakang yang dimiliki oleh peserta. Kebanyakan, mereka yang masuk ke dalam permainan berasal dari kelas bawah atau orang-orang bawah tanah yang kemungkinan besar tidak akan dicari apabila menghilang dari masyarakat. Bagaimana mungkin dicari, jika mereka selalu dianggap sampah oleh masyarakat kelas atas? Jika ada pihak keluarga yang melaporkan kehilangan anggota keluarga mereka kepada petugas kepolisian pun, rasanya percuma. Karena kita semua tahu, bagaimana busuknya hukum di negara Paperville. Ketimpangan sosial ada di mana-mana, penindasan merajalela, bahkan orang-orang yang dianggap tidak layak untuk berdiri setara di masyarakat, dilokalisir di suatu wilayah terpencil dengan akses fasilitas publik yang sangat buruk. Jika benar ada pihak keluarga yang melapor sekalipun, pertanyaan dari petugas kepolisian kepada pihak pelapor mungkin hanya, “Berapa banyak kalian sanggup membayar kami agar kasus ini diusut?” Kenyataan mengerikan itu membuat panitia penyelenggara Couple Games merasa aman meski melakukan penculikan yang jelas-jelas ilegal di masyarakat. Latar belakang unik ini juga dialami oleh pasangan nomor 10. Aku, Ramagendhis, menemukan mereka saat sedang bersenang-senang dengan seorang pekerja malam di Coco Bar, salah satu tempat hiburan malam di Kota Nelayan yang terletak di bagian timur Paperville. Kala itu, ada satu pemandangan menarik perhatian yang berasal dari meja sebelah. Seorang pelayan berpakaian terbuka tengah duduk menemani seorang pelanggan yang mengenakan perhiasan emas di tangan dan lehernya. Pria itu menggoda dan menyentuh bagian-bagian terlarang dari pekerja malam tersebut. Sebenarnya pemandangan ini cukup umum di sini, mengingat para wanita malam itu memang dipekerjakan untuk disentuh. Pemandangan wajar itu menjadi aneh karena wanita malam itu tampak merenung, tidak menikmati pekerjaannya, dan bahkan terlihat terpaksa saat bekerja. Padahal saat aku melihat pekerja lain, mereka semua tampak senang dengan pekerjaan mereka, atau setidaknya mereka pandai menyembunyikan beban yang ada di pundak demi memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Aku sempat bertanya kepada wanita malam yang sedang menemaniku, “bagaimana suasana kerja di klub ini?” Wanita yang sedang merangkul dan sesekali mengelus area pribadiku itu menjawab dengan santai, “suasana kerja di sini sangat menyenangkan, Tuan. Bahkan Coco Bar adalah klub memperlakukan pekerjanya dengan sangat manusiawi. Tidak ada klub lain di Kota Nelayan yang mau melakukannya.” “Begitukah?” Aku terus saja memperhatikan wanita malam yang tampak merenung di seberang meja itu. Setelah puas bersenang-senang dengan wanita malam milikku, aku meninggalkan Coco Bar sekitar pukul dua pagi, sebelum klub itu tutup menjelang fajar. Aku berdiri di dalam kegelapan di luar klub, sengaja menunggu Coco Bar tutup. Cukup lama aku menunggu, hingga saat menjelang fajar, akhirnya lampu Coco Bar mulai padam dan para pekerja yang tinggal di luar klub mulai keluar satu persatu. Aku memperhatikan masing-masing orang yang meninggalkan klub, kemudian menemukan wanita yang murung tersebut. Setelah keluar dari klub pun, ia masih menekuk wajah, mengabaikan para nelayan pagi yang setia menunggu para pekerja malam keluar dari klub demi mendapat pemandangan gratis dari para wanita cantik itu. Aku tahu, tidak semua orang mampu membayar tiket masuk ke Coco Bar. Akses yang mahal itu pula, membuat pekerja di sana memiliki kualitas fisik yang sangat bagus. Dari jauh, aku mengikuti wanita itu berjalan menyusuri jalanan senja Kota Nelayan. Di tengah udara dingin dini hari pun, wanita itu masih tetap mengenakan pakaian tipis. Hanya kain sejenis selendang yang ia gunakan untuk menutupi tubuh bagian bawah, sementara tubuh bagian atas dibiarkan tetap menggunakan "pakaian kerja." Jelas saja hal itu membuat mata para nelayan terbelalak. Sesekali, ada satu atau dua pria yang berjalan mengiringi wanita itu sambil menggoda, tetapi ia tetap tidak bergeming. Mungkin baginya, pelecehan itu adalah makanan sehari-hari. Dari belakang, aku hanya bisa menghela nafas. Ah entah kenapa, saat itu aku menjadi sedikit bersikap manusiawi. Wanita muda itu terus berjalan menyusuri wilayah utara Kota Nelayan hingga fajar menyingsing di ufuk timur dan udara dingin perlahan menghangat. Aku terus mengikutinya hingga ia berbelok ke sebuah gang kecil. Aku pun mengikuti wanita itu hingga ke dalam gang. Terlihat di sana, ada banyak anak kecil sedang memperbaiki jaring yang koyak. Anak kecil yang rata-rata belum genap berusia 10 tahun itu memandangi wanita pekerja malam yang berjalan, dengan mata nakal. Miris memang, anak seusia itu sudah mengerti tentang hal-hal yang belum saatnya mereka ketahui. Wanita itu terus mengabaikan warga yang menatapnya dari ujung ke ujung, hingga ia tiba di satu rumah kecil. Di depan rumah itu, berdiri seorang lelaki muda yang tampak bugar, namun dalam kondisi yang setengah mabuk, terlihat dari gerak-gerik tubuhnya. Tanpa rasa malu, lelaki itu segera merangkul dan mencium si wanita di depan para warga yang tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Wanita itu sedikit berontak, sepertinya ia tidak suka dengan perlakuan si lelaki. “Ayolah, Sayang! Bukankah seperti ini pekerjaanmu sehari-hari?” bentak lelaki itu kepada si wanita pekerja malam. Wanita itu hanya bisa diam tanpa kata. Si lelaki memegang rahangnya dengan kuat dan mengangkatnya, lalu mencium wanita itu dengan kasar. “Kau suka, bukan? Kau pasti suka, bukan?” Lelaki itu terus saja melecehkan si wanita pekerja malam. Hingga akhirnya lelaki itu menyeret si wanita pekerja malam masuk ke rumah kecil tersebut dengan paksa, membuat wanita itu berjalan tertatih namun tidak kuasa melawan. Aku yang menyaksikan mereka dari jauh, lagi-lagi hanya bisa menghela nafas. Aku tidak ingin ikut campur terlalu dalam pada konflik pribadi orang lain. Setidaknya sekarang aku tahu, apa yang membuat wanita itu tertekan ketika bekerja. Malam selanjutnya, aku kembali datang ke Coco Bar, demi melihat lagi wanita yang tidak bersemangat kerja tersebut. Aku ingin tahu, apakah wanita itu masih tetap datang bekerja setelah entah apa yang terjadi kepadanya tadi pagi? Saat duduk di salah satu meja bersama dengan seorang gadis klub, aku melihat wanita muda yang kuikuti tadi pagi sedang melayani seorang tamu lain. Sayangnya, ia kurang beruntung kali ini. Tamu yang ia temani tidak suka dengan sikapnya yang dingin dan pasif. Malam itu, wanita itu mendapat bentakan, bahkan tamunya melempar gelas minuman tepat di kepalanya, membuatnya tidak tahan lagi dan berlari ke belakang. Ketika menuju ke belakang, ia tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Aku yang masih penasaran, terus saja memperhatikan wanita itu. Kenapa ia berhenti di tengah jalan? Wanita itu… Aku memperhatikan arah matanya ketika masih belum juga beranjak. Wanita itu melihat ke sebuah meja yang berisi seorang lelaki yang ditemani oleh seorang pekerja malam lain. Aku memicingkan mata, melihat dengan teliti siapa lelaki tersebut sehingga membuat si wanita menghentikan langkah. Setelah aku lihat lebih jelas, rupanya lelaki itu adalah orang yang sama dengan orang yang tadi pagi melecehkan si wanita di depan rumah. Saat si wanita sedang kesakitan, lelaki yang duduk ditemani oleh wanita malam lain justru tertawa, seakan ia menikmati apa yang ia lihat. Wanita pekerja malam itu tidak tahan lagi, lalu ia berlari ke belakang meninggalkan si lelaki. Aku yang masih duduk di tempatku dan sedang digerayangi oleh wanita malam yang menemaniku, ingin menyusul si wanita pekerja malam yang berlari tadi. Aku menyingkirkan tangan wanita sewaanku, lalu aku ikut berlari menuju ke ruang belakang. Saat melewati belakang bar, ada seorang petugas keamanan yang mencegatku. Ia melarangku masuk ke ruang belakang. Akhirnya aku mengurungkan niat, lalu meninggalkan Coco Bar dan kembali berdiri dalam gelap di luar klub demi menunggu wanita itu pulang. Dini hari kembali berangsur fajar, para wanita pekerja malam yang tidak tinggal di dalam klub berbondong-bondong keluar. Aku terus memperhatikan satu persatu wanita pekerja malam itu, hingga melihat wanita yang membuatku penasaran. Wanita itu berjalan perlahan sambil memegangi kepala yang mungkin masih terasa sakit. Aku hanya tersenyum tipis dari kegelapan dan mulai mengikutinya, namun dengan langkah yang lebih cepat darinya agar bisa berjalan tepat di sampingnya. “Malam tadi benar-benar memuakkan, ya?” ucapku saat akhirnya bisa berjalan sejajar dengan wanita itu. Aku berharap wanita itu menanggapi ucapanku, namun sepertinya ia tidak ingin diajak berbicara. Mungkin wanita itu menganggap aku sebagai salah satu nelayan nakal yang mencoba menggodanya. Mungkin aku harus berusaha lebih keras untuk membuat wanita itu berbicara. “Aku tahu apa yang terjadi padamu kemarin saat pulang dari klub, aku melihatnya dengan jelas.” Ucapanku kali ini rupanya berhasil membuat si wanita menghentikan langkahnya. “Apa yang kau inginkan?” tanya wanita di sampingku. Akhirnya perkataanku berhasil membuatnya berbicara. “Aku bisa membuat pria itu membayar semua perbuatannya kepadamu.” “Caranya?” Sepertinya wanita itu mulai penasaran dengan apa yang bisa aku lakukan. Aku mendekatkan wajahku ke telinganya, lalu berbisik perlahan, “tutup matamu.” Tanpa menjawab lebih lanjut, wanita itu segera menutup mata, membuatku dengan mudah membawanya menuju ke Couple Games. Hingga akhirnya wanita itu bangun di dalam satu kamar mewah bersama lelaki yang melecehkan dirinya di depan rumah kecil di kawasan nelayan sederhana Kota Nelayan. Saat bangun, wanita itu terkejut bukan main melihat si pria berada satu ranjang dengannya tanpa busana. Wanita pekerja malam itu tidak menyangka bahwa ia akan satu kamar dengan orang yang paling ingin ia hindari di dalam hidup. Saat itu, ia berpikir aku ingkar janji. Dibanding langsung memberikan pembalasan kepada si lelaki, aku memang sengaja lebih memilih memasukkan mereka ke dalam permainan. Selanjutnya, terserah si wanita untuk melakukan eksekusi terhadap teman lelakinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD