Ternyata dirinya lebih indah dari sekedar puisi cinta yang sedang di bacakannya.
__Lukas__
***
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Terdengar suara merdu di kelas sebelah membuat Lukas menghentikan langkahnya, ketika ia hendak ke toilet. Ia mengendap-endap dan mengintip ke kelas sebelah tersebut.
Dia...
Lukas menarik sudut bibirnya ke samping. Dia gadis yang kemarin di lihatnya di depan toilet. Dia Asyila--yang selalu di bahas oleh ke-dua sahabatnya. Oh ayolah, bukankah Lukas sudah tahu kalau gadis itu adalah bintang di kelas unggulan.
"Ayo siapa lagi yang hapal puisi karya Saparjo Joko Damono? Masa cuma Syila aja. Padahal puisi banyak lho."
Bu Parida terlihat kecewa padahal ia pikir banyak murid pintar di sini. Mengingat murid yang pindah ke sini adalah murid unggulan semua.
"Ada yang mau maju?" Tanya Bu Parida lagi. Tapi entah kenapa mereka hanya terdiam--seperti tak ada nyali.
"Baiklah, Syila memang murid terhebat di sini. Tapi kalian harus bisa seperti Syila yaa... Saya tidak mau cuma Syila yang berkembang di sini."
Bu Parida mempersilahkan Asyila duduk di bangkunya. Dan Asyila pun duduk dengan senyuman manis tersungging di ke-dua bibirnya.
Melihat itu Lukas mengetuk pintu kelas tersebut. Membuat Bu Parida menatap padanya.
"Iya Lukas, ada apa?"
Boleh saya ikutan baca puisi Bu? Saya hapal puisi karya Gus Mus Bu, gimana?"
Sejenak Bu Parida menimang-nimang, sepertinya tidak apa-apa kalau murid di kelas lain ikut berpartisipasi.
Dari bangkunya Asyila mencengkram ujung roknya. Entah kenapa melihat Lukas, ia merasa cemas.
Rebeka menyadari perubahan dari sahabatnya itu, "Lo tenang Syil. Paling di tengah-tengah dia lupa," Rebeka mengusap pundaknya. Dan Syila hanya mengangguk pelan.
"Baiklah, sepertinya saya akan memperkenalkan murid dari kelas lain. Dia Lukas, dia murid pintar. Dan dia juga hapal puisi sama seperti Asyila. Kalian akan sangat menikmati suaranya, " Bu Parida menatap Lukas, "Ayo silahkan Lukas."
Lukas mengangguk kemudian ia melangkah ke tengah-tengah kelas. Ia akan mulai membacakan puisi yang sudah ia hapal di luar kepalanya. Namun sebelum itu ia menatap Asyila lekat-lekat. Kemudian ia membacakan puisi karya KH Mustofa Bisri alias Gus Mus dengan tatapan yang masih melekat pada gadis itu.
cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta romeo kepada juliet si majnun qais kepada laila
belum apa-apa
temu pisah kita lebih bermakna
dibandingkan temu-pisah Yusuf dan Zulaikha
rindu-dendam kita melebihi rindu-dendam Adam
dan Hawa
Assyila menunduk, ia tidak mengerti kenapa laki-laki itu terus saja menatap dirinya.
aku adalah ombak samuderamu
yang lari datang bagimu
hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu
aku adalah wangi bungamu
luka berdarah-darah durimu
semilir bagai badai anginmu
Sejenak ia menarik napas. Namun tatapannya masih sama, ia hanya tujukan untuk Asyila.
aku adalah kicau burungmu
kabut puncak gunungmu
tuah tenungmu
aku adalah titik-titik hurufmu
kata-kata maknamu
Assyila kembali menatap wajah laki-laki itu, ia berharap tidak lagi di pandang lekat seperti tadi. Namun...
Deg!
Laki-laki itu masih menatapnya, membuatnya tak nyaman.
aku adalah sinar silau panasmu
dan bayang-bayang hangat mentarimu
bumi pasrah langitmu
aku adalah jasad ruhmu
fayakun kunmu
aku adalah a-k-u
k-a-u
mu
Lukas menghentikan puisinya bersamaan dengan riuh kagum para penghuni kelas tersebut. Dan desahan kesal dari Asyila. Terus terang ia tak suka. Ia tidak suka pada siapapun yang mengambil bagiannya. Ia menunduk dengan kedua matanya yang memanas.
"Wah! Keren sekali Lukas. Puisi siapa lagi yang kamu hapal?" Tanya Bu Parida terlihat begitu kagum pada muridnya tersebut.
Lukas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Eh, masih ada sih Bu. Tapi saya mau ke toilet. Terimakasih Bu," Lukas segera pergi keluar kelas, di iringi riuh kecewa para murid perempuan di sana. Dan tarikan napas berat dari Asyila.
Akhirnya waktu kembali memutar dirinya menjadi serpihan masa yang tak berarti. Tak lagi di tatap menarik. Ia akan kembali di hempas sepi, kekosongan dan terabaikan.
Dan Asyila benci itu.
***
"BRENGSEKK!"
Asyila menendang kursi di depannya. Saat ini mereka sedang di kantin yang masih sepi. Syila kesal karena Laki-laki s****n itu dengan lancangnya telah mengambil haknya.
"Santai dong Syil, dia itu cuma baca puisi, bukan ngambil nilai lo. Ampun deh gue!" Gerutu Rebeka. Masalahnya Syila membuat air baksonya tumpah. Rebekka paling suka dengan kuah bakso.
"Lo enggak ngerti Re, pokoknya kita harus labrak tuh cowok!" Asyila menggeprak meja penuh nafsu.
"Labrak?" Tanya Liliana seakan tak percaya.
"Iya. Kita labrak!"
"Yang bener aja Syil. Dia itu cowok. Enggak ah, gue enggak berani."
Melihat kondisi musuh yang jauh lebih kuat tentu saja Liliana mundur. Lukas itu cowok, tinggi, kekar, sudah pasti tenaganya lebih kuat dari dirinya. Dan lagi... Ganteng! Mana bisa Liliana menyakiti cowok se-perfect itu.
"Ya udah! Kalau gitu lo Rebeka ayo kita labrak si Lukas s****n itu!"
Rebeka cengo.
"Gu-gue?"
"Iya!"
"Tunggu, tunggu. Maksud lo gue labrak si Lukas itu?" Rebeka mengulang pertanyaannya lagi.
"Iya Oon!" Kesal Assyila, sepertinya kedua sahabatnya mendadak oon semua.
"Duh Syil, kayanya gue lagi mens deh, gue juga agak-agak lemes gimana gitu, lagian kata si Lili bener. Dia itu cowok. Tenaganya lebih kuat dari kita. Gimana kalau tangan lentik gue ini di patahin, tangan gue kan udah di kasih kutek. Kalau rusak gimana?"
Alaaah! Asyila memutar kedua bola matanya jengah. Sepertinya kedua sahabat nya sudah tidak setia lagi.
"Nyebelin ya kalian berdua! Udah ah! Gue bad mood!"
Asyila beranjak kemudian pergi keluar kantin. Diiringi tatapan cengo oleh kedua sahabatnya.
"Lo sih," Tukas Rebeka.
"Emang lo bisa? Ah, yang ada lo udah ngeces duluan lihat tuh cowok!" Liliana kembali menyeruput es tehnya.
Sementara di tempat lain Asyila uring-uringan kesal sendiri. Antara tak berani tapi dendam. Bagaimanapun si cowok yang bernama Lukas itu memang terlihat amat kuat. Dia jadi apa kalau di tendang, pasti kalah.
"Duhhh... Gue kesel! Gue mesti ngapain sih?" Gadis itu terus saja bolak-balik sendiri di kelasnya. Kebetulan semua Murid sedang istirahat.
Sejenak ia menarik napas dalam. Tidak bisa mem-bully orangnya, bukan berarti ia kalah. Asyila punya seribu cara untuk menerkam musuhnya. Gadis itu tersenyum, seperti mendapat kan lotre ia segera berjalan ke-arah parkiran.
"Eh, mana motornya si Lukas? Lo pasti tahu dong?" Tanya Asyila pada cowok yang berada di sana, dengan memindahkan rambutnya ke salah satu sisi, membuat si cowok itu menatapnya penuh minat. Siapa sih yang gak tertarik dengan sosok Asyila? Cowok buta aja yang bisa nolak pesonanya."Tuh, motornya. Mau di apain cantik?" cowok itu mendekat.
Asyila memutar kedua bola matanya jengah. Ia segera menghindar," makasih."
Ucapnya, lantas kabur. Ngeri juga Asyila melihat tatapan gila laki-laki itu. Dia tidak tahu siapa namanya tapi tatapannya, ikhhs sudah seperti kucing yang melihat goreng ikan segar, Asyila bergidik.
Ia memang sangat suka mem-bully siapa saja yang menurutnya telah berani mengambil haknya. Tapi harus cewek. Kalau cowok mmm ... Asyila sepertinya harus mikir-mikir dulu deh.
Semua murid masih di kantin. Asyila kembali ke parkiran setelah melihat si laki-laki tadi pergi. Segera mendekat ke arah motor yang terparkir di sana. Menatap ke seluruh sudut parkiran. Setelah aman ia segera mengeluarkan sebuah pisau kecil yang ia pinjam dari kantin. Entah punya siapa Asyila tidak tahu, yang penting misinya harus sukses saat ini.
Mampus lo Lukas! Siapa suruh maen-maen sama gue!__Dengan penuh nafsu Asyila menusuk ban tersebut, "Bodo amat, pokoknya lo udah bikin gue marah!"
Asyila segera beranjak. Setelah sekali lagi menatap motor sport berwarna putih itu, "Good bye..." Ucapnya melambaikan tangan, berjalan santai meninggalkan motor yang tak berdosa, menjadi penyalur amarahnya.
Tanpa ia sadari seseorang tersenyum menatap punggungnya.
Cewek aneh!__Bisik hatinya.