Senjata Makan Tuan

1596 Words
Benar-benar senjata makan tuan, karena kini Bintang terperangkap dalam jerat atas tipu muslihatnya sendiri. Minuman yang ia rencanakan untuk mengguna-guna Dennis, justru berakhir dalam tenggorokannya. Bukan main efeknya. Kini ia muntah, bukan memuntahkan makanan. Tapi, yang keluar dari mulutnya adalah darah, dan dalam jumlah yang banyak. Cairan demi cairan kental berwarna merah itu—sedikit menggumpal—keluar dari mulut Bintang. Di lantai toilet, bahkan Bintang mulai pening melihat darah sebanyak itu. Ia tak punya riwayat ketakutan akan darah, namun melihat jumlahnya, kini ia ketakutan setengah mati. Bukan hanya dari segi jumlahnya, tapi tiap kali darah itu hendak keluar, perutnya serasa diblender bersama organ-organ dalamnya. Lalu kerongkongannya menarik cairan itu, keluar melewati mulutnya. Kepala Bintang berdenyut hebat, pening sekaligus panik. Tak menyangka jika efek dari guna-guna itu begitu hebatnya. Dadanya terasa ditekan, dengan beban berat. Yang menghimpit jalur pernapasannya. Karena itu, kini napasnya memburu, tersengal-sengal. “TOLONG!!” Bintang berteriak. Ia sangat takut, takut jika kematian merenggutnya. “JO!! KEJORA!!” Suara parau Bintang, memburu, begitu cepat. Terdengar sangat panik. Untungnya, Kejora berada tak jauh dari kamar. Karena itu, ia segera berlari masuk kamar dan menemukan Bintang yang dalam keadaan muntah darah. “ASTAGA!! BINTANG!!” Kejora menjerit, sama paniknya dengan Bintang. Dengan tangan gemetaran, Kejora menyiram cairan kental dan berwarna merah segar itu dengan air. Berusaha menghilangkan dari pandangan matanya, sebelum ia berakhir pingsan lebih dulu dari Bintang. Usai membersihkan darah Bintang, Kejora membantu saudara sepupunya berdiri. Ia memapahnya ke tempat tidur. Namun, tak sampai 5 detik tubuh Bintang menyentuh kasur, wanita itu kembali melonjak, bangun. Ia buru-buru masuk toilet dan kembali memuntahkan cairan merah kental itu. “Astaga Bintang, kamu sakit parah ini. Kamu harus dibawa ke rumah sakit.” Dengan bantuan beberapa pelayan serta sopir di rumah itu, akhirnya Kejora membawa Bintang ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Bintang masih terus memuntahkan darah dari mulutnya. Bahkan dari kedua lubang hidungnya pun, darah mengalir. Alhasil, Kejora dibuat senam jantung. Tangan Kejora ikut gemetaran. Bahkan ia ikut-ikutan berkeringat dingin. Jika begini terus, ia tak yakin siapa yang lebih dulu sampai di kuburan, apa itu Bintang atau dirinya. Dengan kantong plastik hitam, yang masing-masing kaitannya tergantung di kedua telinga Bintang, benda itulah yang menjadi penampung dari darah Bintang. Yang terasa semakin berat, dengan cairan merah beserta berlembar-lembar tissue yang dipakai mengusap hidung dan mulutnya. “Gantiin, Jo,” pinta Bintang pada Kejora. Meminta kantong plastik baru. Kejora melepaskan benda yang tergantung di telinga Bintang. Lalu mengikatnya dengan simpul mati. Memastikan cairan itu tidak akan menumpah. Ia bahkan menambahkan satu kantongan lain untuk melapisinya, menghindari kebocoran. Dengan kantong plastik baru di telinganya, Bintang kembali muntah. “Lebih cepet, Pak,” pinta Kejora pada Pak Udin, yang sedang mengemudikan mobil. “I-iya, Neng,” balas Pak Udin dengan suara tergagap. Bukan karena pria itu benar-benar gagap, tapi ia juga panik melihat keadaan Bintang. “Air, Jo,” pinta Bintang. Wanita itu kehausan. Wajar, wajahnya bahkan terlihat pucat pasi. Masih dengan tangan gemetaran, Kejora membuka tutup botol plastik berisi air mineral, yang sempat ia bawa dari rumah. Ia membantu Bintang minum. Pelan-pelan agar Bintang tidak tersedak, yang bisa menimbulkan bertambahnya penyakit yang dialami oleh wanita itu. Bintang mengangguk pelan, sebagai tanda bahwa ia sudah selesai minum. Napasnya masih terdengar memburu. Satu tangannya, yang dalam keadaan berkeringat, ia usapkan pada dadanya, berusaha menenangkan rasa tak nyaman di sana. “Dadanya sakit, Bintang?” tanya Kejora. “Iya, kayak sesak,” balasnya dengan suara lirih. Setelah melawati sekian belokan, tanjakan, turunan, lampu merah, dan segala macam kendaraan yang saling melombai di jalanan, akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Petugas medis langsung membawanya ke ruangan isolasi. Melihat dari gejala-gejala yang ditunjukkan oleh Bintang, meski belum dilakukan pemeriksaan, tim medis harus mengamankan pasien dengan gejala muntah darah dari kontak dengan pasien lain. Bahkan para tenaga medis memakai jubah khusus untuk memeriksanya, mencegah kemungkinan penularan. Terbiasa dengan prosedur darurat, yang ketika mendapati pasien yang muntah darah, tenaga medis mengasumsikannya sebagai TB paru atau tuberklosis, yang merupakan salah satu jenis penyakit yang menyerang paru-paru. Penyebab utamanya adalah bakteri, yaitu mycobacterium tuberculosis. “Silahkan tunggu di luar, Bu,” ujar seorang petugas medis pada Kejora. “Oh ya, karena Ibu punya kontak langsung dengan pasien, harap memakai masker yah.” Kejora mengernyit heran. Tak paham maksudnya. Ia hendak bertanya lebih lanjut, tapi petugas medis tersebut sudah menghilang dari pandangan matanya. Kembali ke ruang isolasi untuk memberikan penanganan pada Bintang. “Masker? Kontak langsung? Emang covid sekarang gejalanya sampe muntah darah juga?” Meskipun bingung, Kejora tetap melakukan hal yang dikatakan oleh perawat tadi. Untungnya memang tersedia masker di dalam tasnya. Ia segera menutupi bagian mulut dan hidungnya dengan masker kesehatan. Sementara itu, di dalam ruang isolasi, Bintang yang masih muntah darah sedang ditangani. Salah seorang perawat membantunya, dengan meninggikan sandaran tempat tidur agar Bintang tidak tersedak saat muntah jika dalam keadaan berbaring lurus. Perawat lainnya, melakukan prosedur pemasangan infus. Pemasangan infus dilakukan dengan tujuan untuk memberikan cairan pada pasien sekaligus mempermudah pemberian obat. Perawat menyuntikkan Adona ke dalam botol infus yang kini tergantung di atas kepala Bintang. Adona adalah cairan berwarna kuning, sedikit oranye. Yang berfungsi untuk menghentikan pendarahan. “Maaf, Bu. Apa Ibu, sering mengalami muntah darah?” perawat bertanya, untuk memberikan diagnosa lanjutan. Bintang menggeleng perlahan. “Ini pertama kalinya,” ujarnya dengan lirih, tenaganya terasa dikuras habis. “Apa Ibu punya riwayat batuk? Batuk berdahak, misalnya?” Sekali lagi Bintang menggeleng. “Tidak, sebelumnya saya baik-baik saja.” “Sejak kapan Ibu Bintang mengalami muntah darah?” “Kurang dari sejam sejak pertama kali saya muntah, dan jumlahnya sangat banyak.” “Baik, Bu. Untuk pemeriksaan lanjutan, kami butuh dahak Ibu untuk memastikan. Sekaligus, nanti Ibu akan kami bawa ke ruang radiologi untuk melakukan rontgen.” “Dahak? Saya tidak batuk berdahak.” Bintang menyela. Seingatnya, dan ingatannya masih cukup baik untuk memastikan bahwa selama beberapa hari terakhir ini ia tak punya riwayat batuk, apalagi batuk berdahak. “Iya, Bu. Untuk memastikan jenis penyakit yang Ibu Bintang alami, kami membutuhkan dahak Ibu. Yang nantinya akan diperiksa di lab.” Perawat berujar dengan fasih, menjelaskan dengan bahasa yang sangat sopan. Wanita yang memakai jubah medis itu kemudian meletakkan sebuah tabung kecil, dengan diameter tak lebih dari dua senti. Terbuat dari plastik, yang penutupnya juga terbuat dari plastik. “Nanti kalau Ibu Bintang terbatuk, yang tidak tercampur dengan darah. Dahaknya tolong disimpan di tabung ini, yah. Selanjutnya akan kami periksa di lab.” Sembari menunggu obat Adona menghentikan pendarahan yang dialami Bintang, perawat meminta Kejora untuk mengurusi berkas administrasi Bintang. Seperti mengisi data-data pasien atau mengurus p********n. Yang untungnya, sejak bekerja pada Dennis, Bintang diberikan kartu jaminan kesehatan, sama halnya dengan karyawan-karyawan pria itu di kantor. Karena itulah, Kejora tak perlu dipusingkan dengan proses p********n. Ia hanya perlu menunjukkan kartu milik Bintang dan komputer akan mengerjakan sisanya. **** 3 hari di rumah sakit nyatanya tak menghasilkan apa-apa. Bintang masih muntah darah, tak ada diagnosis untuk menyebut jenis penyakitnya. Hasil rontgen menunjukkan jika wanita itu baik-baik saja. Tak ada yang salah dengan paru-parunya untuk membuktikan bahwa wanita itu sedang mengidap TB Paru. Bahkan tak ada dahak untuk dibawa ke laboratorium. Jelas saja tak ada, karena Bintang tak pernah batuk. Satu-satunya yang terjadi pada wanita itu adalah muntah, dan muntahan yang keluar dari mulutnya bukanlah sisa makanan melainkan darah. Orang tua Bintang telah datang dari kampung, keduanya dibuat panik akan nasib anaknya. Entah sebanyak apapun tangisan dari wanita yang telah melahirkan Bintang terperas—keluar dari matanya—hal itu tak membantu sama sekali. Adona, yang biasanya selalu mempan untuk menghentikan pendarahan pun tak membantu. Perawat dan dokter dibuat bingung. Tak ada jawaban, semuanya terasa sangat membingungkan. Sementara kondisi Bintang makin memprihatinkan. “Bintang? Apa jangan-jangan ini efek dari guna-gunamu?” bisik Kejora saat kedua orang tua Bintang keluar untuk menemui dokter. Bintang membuka matanya perlahan. Ia sebenarnya ingin mengatakan hal tersebut sejak kemarin, tapi terlalu malu untuk mengaku. “Aku liat Tuan Dennis baik-baik saja. Bahkan dia sehat-sehat saja. Dia tidak terlihat peduli padamu sedikit pun. Jangankan datang membesuk ke rumah sakit, dia menanyakan kondisimu pun tidak saat aku bertemu dengannya di rumah.” Bintang melongo mendengar ucapan Kejora. Benar-benar tak punya hati, bisa-bisanya Dennis tak pernah peduli pada kondisi Bintang. Dasar, Tuan Dennis kurang ajar. Bisa-bisanya dia memperlakukanku begini. Padahal dia yang memaksaku menelan teh itu. Bintang menyumpah dalam hati. “Kenapa juga kau harus melakukan guna-guna seperti ini? Lihatlah dirimu, sekarang malah kena sendiri.” Kejora mengomel. “Bantu aku, mungkin dukunnya punya obat penawarnya,” pinta Bintang. Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengakui perbuatannya. Jika tak ingat bagaimana kondisi Bintang sekarang, Kejora yakin ia sudah menempeleng kepala kakak sepupunya itu. Begitu bodohnya wanita itu yang sampai mendatangi dukun demi mengguna-guna Dennis, yang malah ia sendiri yang menjadi korbannya. “Dasar bodoh!” umpat Kejora. “Tolongin aku, Jo. Bisa-bisa aku mati jika begini terus. Aku belum mau mati, Jo. Aku masih ingin hidup.” Bintang memohon dengan lirih, dengan napasnya yang pendek-pendek, karena tersengal. Aku harus hidup, untuk memastikan jika Tuan Dennis bisa kumiliki. Setelah bertaruh nyawa begini, Tuan Dennis harus jadi suamiku. Bintang mengucap sumpah itu dalam benaknya, seolah sedang merapal mantra dalam keadaan paling putus asa ketika ia di ambang kematian. Kejora menghela napas, benar yang dikatakan Bintang, jika wanita itu tak segera diobati dengan benar, pasti ia akan berakhir pulang kampung, sambil membawa pulang mayat Bintang. Obat-obatan yang diberikan dokter tak mempan, satu-satunya yang menjadi penyambung nyawa bagi Bintang saat ini adalah transfusi darah. Dan Kejora tak yakin seberapa lama transfusi darah akan membantu Bintang. Karena darah itu hanya masuk, lalu ujungnya keluar lagi ketika dimuntahkan oleh Bintang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD