Berbekal sebuah kendi, yang di dalamnya berisi air guna-guna, Bintang melangkah dengan percaya diri memasuki rumah besar itu. Yang sebentar lagi ia yakini akan jadi miliknya juga. Matanya terarah pada sebuah mobil yang terparkir di halaman rumah, ia makin berseru senang. Artinya, Dennis sedang berada di rumah. Yang artinya lagi, ia bisa segera melancarkan aksi guna-gunanya.
Begitu masuk di kamarnya yang berada di paviliun belakang, yang memang dikhususkan untuk menjadi tempat tinggal para pekerja, Bintang langsung menghampar sebuah kain. Kain batik bercorak Semen Rama, corak yang melambangkan paham tiga dunia, jiwa, ruh, dan raga. Yang Bintang harapkan ketiga hal itu, jiwa, ruh, dan raga Dennis akan ia miliki seutuhnya.
Selesai menghampar kain batik, Bintang meletakkan kendi yang dibuat dari tanah liat. Dibuat dari tanah liat berkualitas, lalu dicampur air yang menjadi lambang kehidupan. Lantas pencampuran tanah liat dan air itu dibentuk, yang menandai bahwa kehidupan itu bersifat dinamis, akan selalu berubah. Setelah pembentukan, maka kendi setengah jadi itu dikeringkan lalu dibakar. Menunjukkan bahwa sebelum ia berubah menjadi sebuah karya seni yang berharga, ia melalui proses yang menyakitkan.
Bintang tersenyum puas, memikirkan filosofi kendi yang baru saja ia letakkan. Harapannya, kisah cintanya dengan Dennis akan menjadi seindah karya seni itu. Tak masalah seperti apa proses yang harus ia lalui.
Ia melanjutkan dengan menata kembang tujuh rupa. Ia menatanya dengan bentuk melingkar. Sementara kendi berisi air guna-guna itu berada di tengah. Lalu ia membakar dupa, total ada empat, masing-masing ia letakkan di setiap pinggiran kain batik tersebut.
Asap dari dupa menyebar di penjuru kamarnya, menyeruakkan aroma khas yang menusuk hidung. Bintang sengaja menghirup dalam-dalam aromanya, seolah sedang menghirup aroma kemenangannya.
Seperangkat alat guna-gunanya telah terhampar. Hal terakhir yang perlu ia letakkan adalah foto Dennis. Tak tanggung-tanggung, karena ia meletakkan bingkai berukuran besar, dengan ukuran 30 R. Ia meletakkannya di atas kursi, dengan menyandarkan bingkai itu pada sandaran kursi.
Dengan kedua tangan yang saling bertautan di depan dadanya. Ia menyebut nama Dennis tiga kali.
“Dennis Alviano Bramantyo … Dennis Alviano Bramantyo … Dennis Alviano Bramantyo …”
Dengan mata terpejam, ia memusatkan pikirannya. Hanya tertuju pada pria itu.
Tiba-tiba, tanpa disadari Bintang, pintu kamarnya terbuka. Ia memang lupa mengunci pintunya. Lagian, kamar yang ia tempati itu bukan kamar pribadinya. Ia berbagi kamar dengan Kejora, saudara sepupunya. Yang merupakan salah satu pekerja di rumah itu.
Kejora menganga melihat tingkah Bintang. Ia mengipas-ngipaskan tangan di depan wajah. Mencegah aroma dupa yang terbakar semakin terhirup ke dalam rongga pernapasannya.
“Eh, Bintang … kamu ngapain sih?”
Suara nyaring itu membuyarkan fokus Bintang. Wanita itu membuka matanya, sontak ia menatap geram pada Kejora.
“Apa-apaan ini?” tunjuk Kejora. “Kembang tujuh rupa, foto Tuan Dennis, dan dupa? Jangan bilang kau sedang melakukan aksi gilamu itu? Kau benar-benar ingin mengguna-guna Tuan Dennis?”
“Diam kau!” geram Bintang. “Keluarlah, kau menggangguku!”
Kejora menggelengkan kepala tak percaya. “Bertahun-tahun menjadi pengawal Nona Almeera, sepertinya setelah dia sembuh, sakit jiwanya malah menularimu.”
****
Tangannya sedikit gemetaran. Bintang sedang membawa secangkir teh untuk Dennis. Yang airnya berasal dari kendi yang telah dimantrai. Yang telah melalui proses guna-guna, bersama kembang tujuh rupa dan dupa yang ia nyalakan.
TOK … TOK …
Ia mengetuk pintu kamar pria itu. Sementara ia memasang wajah paling cantik menurutnya, sambil tersenyum. Ah, jangan lupakan gerakan andalannya. Yang tanpa ia sadari akan selalu ia lakukan ketika berada di dekat Dennis, kegiatan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Yang selalu dijuluki Dennis dengan kegiatan menggosok.
Pintu terbuka dan Bintang tersenyum lebar. Berbanding terbalik dengan Dennis yang justru sedang menghela napas panjang, terlalu bosan melihat wanita itu. Yang lagi-lagi sedang memamerkan pose andalannya, gerakan menggosok telinga.
“Kenapa?” tanya Dennis.
Pria itu sudah kepikiran untuk memberhentikan Bintang dan Kejora. Toh di awal, ia mempekerjakannya untuk mengawal Almeera yang sering bertingkah aneh. Namun, setelah Almeera menikah dan sembuh dari penyakit-penyakit anehnya, maka dua wanita itu tak lagi ia butuhkan keberadaannya.
Meski agak sungkan untuk memecatnya begitu saja. Bagaimanapun dua wanita itu sudah sangat berjasa bagi Almeera, adik Dennis. Tapi dengan tingkah aneh Bintang, lama-lama ia makin terganggu. Apalagi wanita itu terang-terangan berupaya menggodanya.
“Saya membawa minuman untuk Tuan Dennis,” ujar Bintang, dengan suara yang ia buat lemah lembut.
Dennis memajukan wajahnya, melihat isi dari cangkir yang dibawa oleh Bintang.
“Apa itu?”
Tanpa bertanya sekali pun, sebenarnya Dennis sudah tahu bahwa minuman itu adalah teh.
“Ini teh, Tuan.”
“Cuman ‘TEH’?” tanya Dennis dengan curiga, karena itu ia sengaja menekankan pada kata teh.
“Tuan butuh camilan? Atau—” Ia sengaja menggantung ucapannya, berniat menggoda Dennis.
“Itu beneran teh atau ada peletnya?” tebak Dennis, asal.
Tebakan ngasal dari Dennis berhasil membuat tangan Bintang gemetaran. Ia belum selesai dengan rangkaian kegiatan guna-gunanya, tapi malah sudah tertebak oleh pria itu.
Dennis tersenyum miring, tak menyangka jika ucapannya barusan membuat Bintang kaget setengah mati.
“Jadi beneran ada peletnya?” ia menyeringai dengan lebar. “Masuklah,” ujar pria itu, sambil membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
Seperti hewan buruan yang tertangkap oleh predator, kini Bintang berdiri dengan gugup di hadapan Dennis. Pria itu tampak sangat santai, dengan dua tangan di masing-masing saku celananya. Lain halnya dengan Bintang yang kian terintimidasi dari cara pria itu menatapnya. Ternyata nyalinya berhasil dibikin ciut.
“Bawa kesini, minuman itu.” Dennis berujar, atau lebih tepatnya mengolok-olok Bintang.
Tak punya keberanian untuk mendekat, Bintang berdiri dengan kaku. Bahkan untuk bernapas pun, ia dibuat tak berani.
Sial, kenapa aku dibuat mati kutu begini, teriak Bintang dalam hati.
“Kenapa?” Dennis mendekat. “Kenapa kau ragu? Huh?” ejeknya.
“E-emm i-itu a-anu …”
Hanya kata-kata tak jelas yang Bintang beri sebagai jawaban. Semakin membuat Dennis ingin membantai hewan buruannya itu.
Di antara semua wanita yang pernah ia temui, Bintang termasuk jenis wanita yang tak berhasil membuatnya tertarik. Dari segi wajah, wanita itu tak buruk rupa. Hanya saja, sebagai pria yang terbiasa dikelilingi wanita-wanita modis dengan tampilan mewah, Bintang tidak masuk dalam kriterianya. Terlebih status wanita itu yang merupakan pengawal. Jelaslah, Bintang bukan tipe wanita yang ia sukai.
Tapi melihat wanita itu dalam keadaan terpojok seperti ini, membuat Dennis merasa tertantang. Ingin mempermainkannya. Karena itu, ia bergerak semakin dekat pada hewan buruannya. Yang sudah bisa ia pastikan jika wanita itu tak akan mampu melawan sedikit pun.
Dennis menarik cangkir serta piringnya dari tangan Bintang. Sontak tanpa sadar, tangan Bintang terkulai lemas, hingga menjatuhkan nampan yang sejak tadi tertahan di atas tangannya. Nampan berbahan kayu, dengan warna coklat itu berakhir di lantai. Yang bunyi jatuhnya membuat Bintang terkesiap, kaget sendiri.
“Ma-ma-maaf, Tuan,” ujar Bintang.
“Maaf? Untuk?”
“A-anu,” Bintang kembali tergagap. “I-itu, ka-karena sa-saya menjatuhkan nampannya.”
Bintang baru saja menunduk, hendak memunguti nampan di lantai. Tapi, tubuhnya langsung ditahan oleh Dennis. Dengan satu tarikan, dari tangan kiri Dennis, Bintang kembali menegapkan badan.
Pria itu, kembali menampakkan senyum miringnya. Ia maju selangkah, otomatis membuat Bintang mundur selangkah. Dan di setiap langkah yang diambil Dennis, Bintang berakhir tersudut di tembok. Tak punya tempat lagi untuk melarikan diri. Terlebih beberapa menit yang lalu, Dennis memang mengunci pintu kamarnya.
Dennis mengangkat cangkir di tangannya, mendekatkan minuman itu ke hidung. Meresapi aromanya. Ia tersenyum samar setelah itu.
“Minum!” perintahnya, sambil ia menyodorkan minuman itu ke wajah Bintang.
Bintang menggeleng dengan cepat. Ini di luar dari rencananya. Yang seharusnya meminum teh yang dibuat dengan air yang telah dibacai mantra guna-guna adalah Dennis.
“MINUM!!” Kembali Dennis memerintah, suaranya tegas, tak ingin dibantah.
Bukan hanya dari suaranya, karena kini Dennis meletakkan piring cangkir itu di nakas sebelah kirinya. Lalu ia meraih wajah Bintang, dengan sedikit kasar. Ia menekan bagian rahang wanita itu, yang membuat mulut Bintang terbuka.
“Mau minum dengan tanganmu sendiri? Atau dengan tanganku?” tanya Dennis dengan nada suara rendah, tapi tekanan yang ia beri di wajah Bintang tak melemah.
Bintang yang sudah dibuat ketakutan, kehilangan akal sehatnya. Ia tak bisa berpikir, juga tak mampu menjawab. Hal itu tentu saja memancing emosi Dennis, kian menyulut kemarahan pria itu. Karenanya, Dennis mendekatkan cangkir di tangan kanannya itu, sebelum ia menaruhnya di depan bibir Bintang, tepat menyentuh bibir Bintang.
Bintang makin gugup, ia sedikit meronta. Tapi, tak membantu banyak. Tenaga Dennis tak sebanding dengan tenaganya. Ditambah rasa gugupnya membuat ia makin tak berdaya.
Kini Dennis mengangkat jarinya, otomatis cangkir itu dalam keadaan miring. Cairan manis dari dalam cangkir mulai menyapa bibir Bintang, sebelum turun ke mulutnya. Dennis berhasil mencekokkan minuman itu ke mulut Bintang. Minumannya masih tertahan di mulut karena Bintang enggan menelannya.
“TELAN!!” Dennis memerintah.
Bintang menggelengkan kepalanya, pertanda penolakan.
“TELAN!!” ulang Dennis.
Dennis meletakkan cangkir kosong itu di atas piring, yang tadi ia letakkan di nakas. Selanjutnya, untuk memaksa Bintang menelan minuman itu, Dennis menekan hidung Bintang dengan tangan kanannya. Dengan saluran pernapasannya yang tertahan, Bintang makin kehilangan cara untuk bertahan.
“Telan, Bintang!!” bisik Dennis, ia sengaja mendekatkan wajahnya di dekat telinga Bintang. “Telan, sayang,” ujarnya dengan nada lembut, tapi penuh penuntutan.
Bintang memejamkan matanya, putus asa. Ia tak mampu menolak, terlebih setelah dipanggil sayang oleh Dennis. Sebutan yang sudah ribuan hari lamanya ia nantikan. Yang justru pria itu ucapkan di saat-saat paling menakutkan seperti ini.
Bintang menyerah, ia menelan minuman itu. Masuk, mengaliri tenggorokannya yang tercekat.
“Pintar,” ujar Dennis sambil melepaskan kedua tangannya dari wajah Bintang.
Kini pria itu tersenyum penuh kemenangan. Sementara Bintang, napasnya bahkan masih memburu.
“Senjata makan tuan,” ejek Dennis.