Jika aku memiliki pilihan lain yang lebih mudah mungkin aku akan melepaskan gadis ingusan bernama Anggia itu. Sejujurnya ku akui dia cantik, calon dokter yang menggambarkan bahwa otaknya lumayan, dan dari caranya memberi salam ketika masuk ke dalam rumah sekalipun tidak ada yang menjawabnya, dia tergolong sopan. Tapi ada satu hal yang membuatku sedikit aneh, kenapa dia tidak terlihat seburuk yang Zia katakan.
Melihat dari pendidikannya, cara berpakaiannya dan caranya berbicara serta ekspresinya yang terlihat tidak begitu ramah ketika bertemu denganku, sepertinya tidak mungkin jika dia gemar jalan-jalan menghabiskan uang dengan laki-laki. Kalau pembuat onar, aku rasa itu sedikit mungkin karena gadis itu sepertinya terlihat sangat kerasa kepala dan susah diatur. Tapi untuk cerita buruk lainnya yang setelah pertemuan kami di ceritakan oleh Zia dan kedua orang tuanyan itu entah kenapa aku meragukannya.
“Boss, ini data yang boss minta kemarin.” Ucap Diana sambil menyodorkan berkas ke hadapanku.
“Oke, oh iya Surya belum datang?” Tanyaku. Surya adalah orang kepercayaanku. Tugasnya adalah mencari informasi hingga detail, memata-matai musuhku dan tentu saja membereskan kekacauan tanpa terlihat, terdengar atau bahkan tercium. Dia selalu bisa diandalkan dan tidak pernah mengecewakan. Dua hari lalu aku memintanya mencari tahu tentang Anggia karena aku ingin informasi detail tentangnya yang tidak diberitahukan Zia dan keluarganya.
“Sepertinya setelah jam makan siang seperti biasanya, atau boss mau saya minta beliau datang sekarang?” Ujar Diana menawarkan,
“Boleh lah, telpon dia untuk datang secepatnya.” Putusku akhirnya setelah mempertimbangkan sejenak. Entah kenapa rasa penasaranku begitu besar sehingga ingin segera mendapatkan jawaban secepatnya.
“Baik boss, saya akan segera menghubungi beliau.” Ucap Diana kemudian berpamitan. Tidak lama kemudian Surya sudah memasuki ruanganku dan menyodorkan berkas informasi padaku.
“Saya tidak menemukan kenakalan sedikitpun pada gadis itu.” Ucap Surya begitu aku selesai membaca informasi yang dia berikan. “Alur kesehariannya cenderung sederhana, dia kuliah, kemudian pulang kuliah dia akan duduk di kantin kampus bersama teman-temannya yang semuanya perempuan, jika hari libur dia sering datang ke panti asuhan yang dekat kampusnya untuk mengajak anak panti bermain dan belajar hingga menjelang malam.” Tambahnya lagi.
“Mengenai laki-laki?” Tanyaku.
“Dia cukup populer di kampusnya karena parasnya yang cantik, ada beberapa laki-laki yang digosipkan dekat dengannya dan menyukainya salah satunya adalah cucunya Hendrik Bawasir.” Jawaban Surya membuatku menaikkan alis karena ini ternyata menarik.
“Ahhh mereka satu kampus yah? Siapa namanya aku lupa?”
“Arion boss, Arion Pramono Bawasier. Dan yang satu lagi adalah putra dari saingan anda juga.” Ucap Surya lagi membuatku tersenyum miring karena ini menarik, sangat-sangat menarik.
“Siapa lagi?”
“Bagas Putra Wiratmaja, putra dari Julio Wiratmaja.” Jawab Surya membuatku tidak menyangka.
“Apakah ini tampak seperti memperebutkan tender? Kenapa aku merasa jika aku mendapatkan Anggia maka sama saja aku mengalahkan kedua musuhku itu melalui patah hati putranya?” Ucapku sambil tertawa.
“Lalu mengenai hubungannya dengan nona Zia memang sudah tidak harmonis sejak kelahirannya Boss.”
“Maksudnya mereka ada masalah?”
“Dari informasi yang saya dapatkan, ibu dari nona Anggia ini berselingkuh dan hamil kemudian meninggal ketika melahirkan nona Anggia. Jadi memang semenjak kelahirannya, nona Anggia memang sudah menjadi masalah di dalam keluarga itu karena dianggap anak haram. Ayah dan kakaknya juga kelihatannya tidak begitu peduli dengannya.” Tutur Surya menjelaskan yang membuatku diam sesaat. Bagiku kelahiran seorang anak bagaimanapun caranya bukanlah salah sang anak karena dia tidak minta di lahirkan, jika kemudian anak itu di benci karena kesalahan orang tuanya rasanya sangat tidak adil. Itukah alasanya kenapa wajah gadis itu terlihat sangat murung?
“Lalu apakah dia gemar keluar malam seperti yang Zia katakan?”
“Tidak boss, sepertinya nona Anggia ini jenis anak rumahan. Tapi ada informasi yang belum begitu jelas mengatakan bahwa nona Anggia ini pernah bekerja paruh waktu di sebuah kafe dan memang beliau mendapat sift malam. Cuma saya tidak bisa memastikan kebenarannya karena kafe tersebut sudah tutp jadi saya tidak menyebutkannya di dalam berkas.”
“Bekerja paruh waktu? Dia putri dari Stevano Ryder dan kekurangan uang?”
“Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, sepertinya tuan Stevano tidak begitu peduli dengan nona Anggia, kemungkinan nona Anggia tidak bisa meminta uang sesukanya. Bisa dilihat dari caranya berpakaian boss.”
“Benar juga, dibandingkan pakaian Zia yang selalu mahal Anggia memang terlihat sangat biasa sekalipun wajahnya tetap menunjukkan bahwa dia lahir di keluarga kaya.” Ucapku berpendapat.
“Benar Boss, dan menurut informasi, jika Boss ingin mendapatkan persetujuan mengenai pernikahan dari tuan Stevano, Boss bisa ikut menawarkan kerjasama dengan beliau karena kebetulan beliau sepertinya akan mengeluarkan produk gelang pintar yang akan sangat cocok jika bersanding dengan produk perusahaan boss. Produk itu sepertinya tidak begitu mendapatkan banyak dukungan, jika Boss menawarkan dukungan kuat saya rasa itu bisa dijadikan cara mendapatkan putri yang tidak dia inginkan itu.” Papar Surya berpendapat. Aku mengangguk-angguk mempertimbangkan. Sepertinya usulan Surya boleh juga.
“Ide yang bagus, tapi aku agak khawatir mengenai kondisi mental Anggia. Dia mengancamku akan bunuh diri jika aku melanjutkan rencana ini. Apakah menurutmu dia membutuhkan pengawalan agar tidak melakukan hal itu karena melihat dari informasi ini sepertinya dia jenis yang benar-benar akan melakukan itu.” Ucapku sedikit khawatir. Bukan apa-apa, sekalipun aku bukan orang baik tapi tetap saja aku tidak mau menjadi penyebab kematian seseorang.
“Itu bisa diatur boss, akan saya pastikan itu tidak akan pernah terjadi.”
***
Dua hari berlalu setelah percakapanku dengan Surya, dan siang ini matahari sedang terik tapi aku sudah berdiri dengan bersandarkan mobil mahalku menunggu gadis ingusan itu keluar dari kampus. Dari informasi yang aku dapat hari ini dia hanya berkuliah hingga pukul satu siang saja dan aku ingin mengajaknya bernegosiasi siapa tahu dia akan setuju sehingga mempermudah segalanya.
Tidak lama kemudian gadis itu keluar dari kampus dengan wajah yang terlihat lelah dan sedikit pucat. Lalu ketika matanya bertemu mataku, dia segera mendesah sambil menghentikan langkahnya. Aku dengan tidak peduli melambai ke arahnya tanpa berekspresi. Ku pikir dia akan kabur dan menghindar tapi mengejutkanku, dia malah melangkah ke arahku.
“Apa pembicaraan kita kemarin kurang jelas om?” Tanyanya membuatku kaget. Dia memanggilku apa tadi? Om? Aku belum setua itu.
“Om? Namaku Raka dan aku bukan om-om.” Ucapku mempertegas. Lalu ku lihat ekspresinya melongo seperti heran.
Kemudian dia merogoh tasnya dan mengeluarkan cermin dari dana dan menyodorkannya ke arahku.
“Apa?” ucapku.
“Om ngaca biar tahu kalau wajah seperti itu untuk gadis seumuranku sangat pantas di panggil om.” Ucapnya semakin menjengkelkan. Baru kali ini ada yang menghina wajah tampanku ini, karena sebelumnya bahkan gadis SMA sekalipun akan memandangku penuh minat. Tapi aku menahan kemarahanku demi terwujudnya semua rencana. Untuk sementara aku akan menuruti semua maunya dulu jangan sampai dia bunuh diri seperti yang dia bicarakan kemarin dan aku akan menawarkan sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan padanya. Setelah mendapatkannya nanti, maka akan tiba giliran dia menuruti semua kemauanku.
“Oke baik terserah, ayo masuk ke mobil!” Ucapku masih tanpa ekspresi. Lalu tiba-tiba raut wajahnya berubah menjadi raut wajah malas, membuatku lumayan kesal dengan tatapan penuh kebenciannya.
“Aku mau pulang om.” Ucapnya kemudian berbalik tanpa mempedulikanku yang sudah membuka pintu. Dengan kesal aku mengejar dan mencekal lengannya.
“Apasih!” Ucapnya mencoba melepaskan cekalan tanganku.
“Aku bilang masuk ke mobil itu artinya kamu harus masuk! Jadilah anak manis gadis kecil agar aku tidak perlu memaksa.” Ucapku penuh penekanan.
“NGGAK-MAU.” Balasnya penuh penekanan juga.
“Anggia? Ada masalah?” Suara seorang laki-laki mengalihkan pandanganku dari gadis keras kepala ini.
“Ka Bagas Om ini hmmmppff.”
“Anak muda sebaiknya jangan ikut campur ini urusan keluarga.” Ucapku setelah membekap mulut Anggia yang hendak berbicatra yang tidak-tidak. Laki-laki bernama Bagas itu diam sesaat dan terlihat berpikir.
“Apa-apaan ini? Kamu mau menculik Anggia yah?” Satu lagi laki-laki datang dan membuatku kesal karena mereka menggangguku.
“Awww..” Aku melepaskan tanganku segera karena gadis nakal itu menggingit tanganku dengan seenaknya sampai sedikit berdah.
“Ka Bagas, ka Arion om ini mau menculikku.” Ucapnya sambil terengah-engah. Sekarang aku setuju kalau gadis bernama Anggia ini memang pantas disebut biang kerok, dia sulit di taklukkan, keras kepala, menyebalkan, dan mungkin sedikit keturunan Vampir karena gigitannya sakit sekali.
“Menculik? Sayang jangan begitu kalau memang kamu masih marah. Aku kan sudah jelaskan kalau gadis itu bukan kekasihku.” Ucapku asal.
“Hah?” Ucap ketiga orang itu hampir bersamaan. Ku lihat Anggia melongo dan dua laki-laki di hadapanku menoleh penuh pertanyaan pada Anggia.
“Perkenalkan, saya Raka, calon suami Anggia. Kebetulan kami sedang ada masalah kecil.” Ucapku berusaha manis. Ku lirik Anggia dan wajahnya merah sekali, ekspresinya jelek sekali dan tentu saja kedua laki-laki yang bisa ku pastikan adalah para putra dari sainganku, kaget bukan main. Sudah ku bilang bukan, tidak ada yang bisa melawan Raka. Pada akhirnya dia akan kalah. Jadi jangan coba-coba melakukannya!
***