BAB 2. Anggia

1553 Words
Tidak ada yang sempurna dalam hidup, tapi setidaknya harus ada satu hal yang bisa membuatmu terus semangat menjalani hari-hari yang berat, menikmati setiap luka yang terpahat sempurna, mengiklaskan rasa sakit sekalipun itu menyiksa. Tapi bagaimana jika hari-hariku sudah buruk setiap hari, ditambah aku tidak memiliki hal yang membuatku ingin terus bernapas? Namaku Anggia, aku pernah dua kali hampir mengakhiri hidupku sebelum kemudian aku bertemu dengan seorang malaikat kecil yang menginginkan hidup lebih lama karena dia mengidap Leukimia stadium akhir. Hari dimana dia menghembuskan napas terakhirnya karena dokter tidak mampu lagi menyelamatkannya, hari itu aku akhirnya mendapatkannya. Alasan aku ingin terus hidup. Karena itu sekarang aku berada di sini, di ruang kelas dimana di depan sana seorang profesor sedang memberikan penjelasan mengenai Uropoetika. Salah satu mata kuliah di fakultas kedokteran yang aku tekuni. Benar! Aku ingin menjadi dokter, karena jika orang lain tidak berguna untukku karena membenciku, maka biar aku saja yang bisa berguna untuk orang lain. “Anggia!” Seseorang berteriak memanggilku membuatku menoleh dengan segera dan menghentikan langkah cepatku menuju kantin. “Mau ke kantin yah?” Tanya laki-laki yang memanggilku tadi. Namanya Arion, dia adalah seniorku di kampus, jenis laki-laki tampan impian banyak gadis termasuk aku. Orang tuanya pemilik Rumah Sakit besar di dalam negri. Aku juga menyukainya tapi belum berani mendekat sekalipun dia juga memberiku sinyat-sinyal perasaan yang sama. Fansnya terlalu banyak dan itu sangat beresiko membuat hidupku yang sudah kacau semakin menderita. “Iya kak.” Jawabku seadanya. “Aku ikut deh, sekalian mau ada yang aku bicarakan sama kamu.” Ucapnya sambil tersenyum. Jenis senyum yang mampu memikat gadis manapun dan aku lumayan beruntung karena sering mendapatkannya. “Boleh kak.” Jawabku sambil melanjutkan langkah begitu dia berada sejajar di sampingku. Kami memesan makanan yang sama sebelum kemudian kami terjebak dalam keheningan ketika Arion mengungkapkan perasaanya padaku. Jujur saja aku menyukainya tapi situasiku tidak mendukung untuk berpacaran apalagi dengan laki-laki yang bersinar seperti bintang di langit itu. “Aku gak minta kamu jawab sekarang kok Gi, jawab nanti aja kalau kamu udah siap juga nggak papa. Dan aku harap apapun jawaban kamu pertemanan kita tidak akan pernah berubah.” Ucapnya yang aku angguki sambil tersenyum tipis. “Terimakasih kak, aku sepertinya memang butuh waktu.” Jawabku setuju, dia kembali tersenyum dan aku sangat yakin para gadis di sekelilingku sudah sangat kepo maksimal dengan pembicaraan berdua kami. Apalagi melihat jika Fajar, teman Arion diusir ketika mendekat tadi. “Arion bilang apa Gie? Lo di tembak yah?” Tanya Stevi sahabatku. Aku hanya tersenyum saja. “Apa jangan-jangan dia langsung ajak lo nikah pas lulus yah Gie? Gila lo beruntung banget Gie sumpah.” Yang ini adalah ocehan Cika yang juga sahabatku. “Kalian mikirnya kejauhan, kami hanya membicarakan mengenai rencana kedepan saja. Dia merekomendasikan Rumah Saki ayahnya jika gue ingin memulai karier nanti.” Ucapku tidak sepenuhnya berbohong karena Arion memang sempat mengatakan hal itu sebelumnya. “Bohong banget, gak mungkin pipi lo merona dan lo berdua keliatan tegang banget kalau Cuma membicarakan itu.” Sanggah Stevi membuatku sedikit salah tingkah sebenarnya tapi tetap berusaha biasa saja. Karena jika aku mengakuinya maka mulut dua sahabatku ini akan menyampaikannya ke penjuru kampus dan aku berda dalam zona bahaya. “Kalian kebanyakan nonton drama kayaknya, makanya halu. Udah ah gue harus pulang atau gue bisa di gorok sama papi.” Ucapku sambil beranjang mengundang kekecewaan dua gadis manis itu dan aku terkiki geli. “Bye-bye dua ceriwis.” Godaku. “Lo lebih Ceriwis.” Jawab mereka hampir bersamaan membuatku tertawa. Sesampainya di rumah, jahan harap akan ada yang menyambutku seperti tuan putri, menanyakan bagaimana hari ini di kampus atau bahkan menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Karena di rumah aku seperti orang asing yang tidak ada harganya. Selalu di hina, di caci maki dan dianggap hama. Terutama oleh tante, om dan sepupuku. Dan yang lebih menyakitkan lagi ayah dan kakaku tidak pernah membela. Keningku mengkerut melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Dan ketika aku masuk sepertinya Zia sedang ada tamu yang sebelumnya sudah pernah ku lihat sekali sedang mencium pipi Zia ketika mengantarnya pulang. Aku tentu bisa menebak siapa laki-laki itu. Bisa dipastikan dia kekasih Zia. Jenis laki-laki yang menurutku sedikit menyeramkan, wajahnya cukup tampan tapi sangat dewasa. Mungkin dia akan cocok jika memerankan seorang boss mafia kaya raya yang tampan. Jenis penampilan mahal yang tidak aku sukai. Melihat dari ekspresi mereka sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang sangat penting. “Assalamu’alaikum.” Ucapku tapi tentu saja tidak ada yang peduli. Aku berjalan acuh sambil menghembuskan napas lelah menuju kamarku hingga ku dengar laki-laki itu menjawab salamku dan membuatku menoleh. Untuk pertama kalinya mata kami saling bertemu. Dia memiliki jenis tatapan yang lumayan menakutkan, tajam, tidak ingin di bantah dan mungkin sedikit keras kepala. Tapi hanya beberapa detik saja karena aku langsung menuju kamarku untuk mandi. Terlalu malas mendengar tante dan Zia berusaha menjelekkanku di depan laki-laki itu seolah jika aku diceritakan baik maka aku akan merebut laki-laki itu dari Zia. Padahal sedikitpun rasa tertarik di dalam hatiku tidak ada. Laki-laki itu mungkin akan pantas ku panggil om jadi tidak mungkin aku menyukainya. Tapi ketika aku kembali turun untuk mencari makanan di dapur, aku mendengar percakapan menyakitkan sekali dari mereka yang berasal dari laki-laki itu. Dia bilang aku akan dijadikan pengganti Zia yang tidak bisa menikah dengannya dan akan menceraikanku kemudian ketika Zia siap. Hatiku seperti disayat mendengarnya. Kalimatnya seolah memberitahuku seberapa tidak berhaganya aku dimata dia, seolah menjelaskan bahwa aku hanya boneka yang tidak memiliki perasaan, seolah aku hanya alat untuk mendapatkan tujuannya padahal aku manusia yang sama dengannya dan bisa merasakan rasa sakit. “Ya gak mungkin aku ada apa-apa sama gadis ingusan itu, lagipula dia bukan tipeku.” Ucap laki-laki itu tanpa perasaan. “Jika bukan tipemu maka jangan menikahiku, setelah selama ini bersikap buruk padaku sekarang kalian mau mengorbankanku untuk kepentingan kalian? Bermain-mainlah di wilayahmu saja Tuan, jangan melibatkanku. Sampai matipun aku tidak akan mau.” Ucapku galak kemudian segera beranjak meninggalkan mereka. Bagaiamana ada manusia yang tidak berperasaan seperti mereka di dunia yang indah ini? Air mataku jatuh tapi aku terus saja berjalan pergi. “Kenapa Gie nangis? Lo bikin masalah lagi yah sampai diomelin tante Diona?” Ucap Davin kakaku yang tidak menghiburku sama sekali malah menambah lukaku semakin dalam. “Lo jangan ikut campur urusan gue.” Ucapku sambil terus berjalan. “Dasar adik durhaka lo.” Teriaknya masih bisa ku dengar tapi aku tidak peduli. Dunia ini tidak adil bukan? Terutama padaku. Padahal harapanku sederhana, menyelesaikan kuliah kedokteranku kemudian mulai bekerja dan keluar dari rumah yang seperti neraka itu. Hidup sederhana dengan membantu banyak orang. Aku tidak pernah mengganggu siapapun, tidak pernah mengusik kehidupan siapapun dan aku masih tidak mengerti hingga hari ini kenapa papi dan kak Davin juga membenciku seperti yang dilakukan Zia dan kedua orang tuaku. *** Aku terus berhjalan tanpa tahu kemana tujuanku sebenarnya. Lalu berhenti di sebuah taman diaman disana banyak anak-anak berlarian bersama temannya. Tawa mereka membuatku sedikit terhibur sekalipun rasa sakitnya masih utuh. Kemudian aku melanjutkan langkahku dan berhenti di sebuah sisi jembatan besar dimana dibawah sana ada aliran sungai deras dan dalam yang bisa menghilangkan nyawa jika jatuh kesana. Termenung memandang riak airnya dan bunyinya yang terdengar sedikit menakutkan. Membayangkan jika aku jatuh ke bawah sana mungkin kepalaku duluan yang akan terjatuh dan menyentuh sesuatu yang keras disana sehingga segala ingatakanku mungkin akan terhapus terlebih dahulu sebelum kemudian malaikat akan mencabut nyawaku. Tapi kemudian aku membuka mata dan mendesah sambil tanganku meremas pinggiran jembatan itu. Mengingat kembali tentang tujuan aku hidup yang harus aku selelsaikan hingga akhir, Aku menaiki salah satu undakan di bawah besi yang aku pegang untuk mendapatkan udara yang mungkin sedikit lebih segar hingga kemudian tanganku tertarik kebelakang dengan keras. “Jangan gila, lo mau mengakhiri hidup hanya karena sebuah pernikahan?” Laki-laki yang tadi berkata jahat sedang menatapku, mencengkeram lenganku erat dengan napasnya yang memburu sepertinya dia pikir aku hendak mengakhiri hidup sehingga dia berlari ke arahku dari letak mobilnya yang lumayan jauh. “Bukan urusanmu aku mau mati atau hidup, kau takut tujuanmu tidak akan terwujud kalau aku mati sehingga kau menghentikanku?” Ucapku datar. Dia termenung sesaat sambil menatapku dan kuakui dari jarak sedekat ini dia tampan tapi tentu saja jenis tampan yang aku bersumpah tidak akan pernah membuatku jatuh cinta. “Anak kecil dengar! Kau hanya mendengar sedikit dari rencanaku, mungkin kalau kita mendiskusikkannya itu bisa jadi menguntungkan juga buatmu. Aku tidak sekejam itu, aku tetap akan memberimu keuntungan dari pernikahan sandiwara itu.” Ucapnya tanpa perasaan. Aku menarik pergelangan tangaku paksa dari genggamannya. “Tidak tertarik, cari saja orang lain! Jika kau terus berusaha maka kau akan mendengar berita kematianku tepat di hari pernikahan kita.” Ucapku sambil berbalik meninggalkannya yang tampak termenung. Siapa yang peduli, jika dia punya perasaan maka dia akan menghentikannya. Tapi aku sedikit khawatir bahwa perasaanya sudah dihisap habis oleh kesombongannya sehingga apa yang aku takutkan akan tertap terjadi. Mungkin jika hal itu tak bisa lagi aku hindari, aku akan benar-benar melakukan apa yang aku katakan tadi. Mengakhirinya! Melupakan hal yang selama ini menjadi tujuanku hidup, melupakan Arion, melupakan keluargaku yang kacau dan melupakan kehidupan ini. Jiwaku sangat rapuh sejak lama, dan masalah ini mungkin akan menghancurkanku berkeping-keping hingga tak lagi memiliki bentuk. Atau bahkan langsung membuatku terhisap dari bumi menuju akhirat. Bertemu Almarhum ibuku yang sangat aku rindukan. ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD