Kehidupan memang berisi hal yang tidak terduga, siapa yang menyangka bahwa kekasih dari kakak sepupuku sekarang mengejar-ngejar aku untuk menjadi istrinya. Jika niatannya tulus karena mencintaiku mungkin aku akan merasa tersanjung karena menurutku om Raka tidak jelek, sekalipun dia agak tua. Penampilannya oke, dan yang paling penting dia selalu wangi karena aku suka laki-laki yang wangi.
Sayangnya dibalik niatnya ingin menikahiku ada maksud yang jahat sekali. Yang bahkan ketika aku mengingatnya akan sukses mencubit hatiku hingga terasa sesak. Aku seperti seorang perempuan yang tidak berarti yang bisa dipermainkan statusnya untuk kepentingan pribadi mereka.
Siang ini akhirnya aku mengalah masuk ke dalam mobil om Raka karena kepalaku pusing sekali. Badanku juga sedikit demam, sepertinya belakangan ini aku kurang tidur dan terlalu banyak belajar. Selain itu aku juga banyak pikiran salah satunya adalah karena pernikahan menyebalkan ini.
“Kamu belum makan?” Raka bertanya dan aku tidak berniat menjawab. “Gadis nakal, kalau kau tidak menjawab aku bisa pastikan bahwa aku akan sangat menyebalkan.” Ancamnya.
“Belum Om,” Jawabku ketus.
“Kalau gitu kita makan dulu.” Putusnya seorang diri tanpa bertanya. Tapi aku terlalu pusing untuk mendebatnya, jadi aku diam saja dan memejamkan mataku menahan pening.
“Sudah sampai ayok turun!” Ucapnya ketika ku rasakan mobil yang dikendarainya berhenti. Aku membuka mataku dengan berat kemudian mengikutinya masuk ke dalam sebuah restoran mewah dimana didalamnya memiliki ruangan-ruangan privat yang bisa di pesan. “Mau makan apa? Sebaiknya kita makan dulu sebelum berbicara banyak.” Ucap Raka lagi. Kepalaku benar-benar sakit sekali dan mataku sedikit berat.
“Apa saja asal jangan yang pedas om.” Jawabku lemah dan sepertinya dia menyadari perubahanku yang terlihat sakit sehingga dia mendekat dan menempelkan telapak tangannya di keningku membuatku kaget.
“Kamu sakit Anggia?” Ucapnya dengan nada yang sedikit keras. “Ayo bangun, kita ke dokter dulu kamu butuh di obatin.” Lanjutnya lagi.
“Cuma demam sedikit karena kurang tidur, nanti juga sembuh kalau udah minum obat.” Ucapku lemah.
“Tapi—”
“Cepat makan, cepat selesaikan pembicaraan agar aku bisa cepat pulang om! Kepalaku sakit dan aku tidak berniat pergi ke dokter oke!” Balasku penuh penekanan dan ku lihat Raka mendesah. Entah itu perasaanku saja atau memang benar tapi ada sedikit ekspresi khawatir di wajahnya.
“O-oke.” Ucapnya ragu. Tidak lama kemudian makanan kami datang dan kami makan dalam diam. Rasanya sedikit canggung makan berdua dengan kekasih kakak sepupuku yang tidak begitu aku kenal. Seperti makan dengan orang asing.
“Aku yang akan memulai, intinya apapun penawaran Om, aku tetap tidak mau menjadi istri pura-pura om Raka. Banyak sekali gadis di luar sana yang mau melakukan itu jika di bayar. Om punya banyak uang kan? Silahkan sewa gadis lain, Jangan menghancurkan masa depanku dengan pernikahan sialan kalian itu.” Tuturku tidak peduli apapun. Di luar dugaan Raka terus terdiam mendengarkan aku mengomel sampai aku puas. Setelah itu dia meminum minumannya dan mendesah.
“Aku tahu bahwa kamu sangat tidak nyaman berada di rumah itu karena semua orang memusuhimu, aku akan memberi jaminan kebebasan jika kamu mau menikah denganku. Kamu tidak perlu menghadapi ekspresi kebencian keluargamu dan itu akan mengurangi tekanan batinmu. Aku tidak akan menuntut hak sebagai suami jadi aku akan pastikan setelah pernikahan kita selesai kamu masih dalam keadaan utuh. Jika kamu tidak ingin pernikahan kita diketahui siapapun aku bisa mempertimbangkan untuk merahasiakannya. Dan tentu saja aku akan menjamin kuliahmu selesai sampai kamu memiliki gelar spesialis atau kalau kamu mau sampai profesor aku akan mengabulkannya.” Ucar Raka panjang setelah aku berhenti bicara. Kali ini giliran kalimatnya yang membuatku mendesah.
“Aku tidak tertarik berurusan dengan urusan kalian, jadi tolong jangan mengangguku om, silahkan cari gadis lain.” Tolakku untuk kesekian kalinya. Memangnya dia pikir aku perempuan murahan yang mau saja dibeli dengan gelar dan pendidikan gratis?
“Anggia tolong jangan keras kepala.” Ucapnya frustasi.
“Om juga tolong jangan keras kepala karena aku nggak mau. Silahkan cari gadis lain!” Balasku datar. Raka terlihat menahan kekesalannya dan aku tidak peduli.
“Tidak bisa menggunakan gadis lain.” Ucapnya lagi dengan nada memaksa.
“Kenapa tidak bisa?”
“Karena kamu yang aku mau.” Jawabnya semakin menyebalkan. Ingin sekali rasanya menjambak rambut hitamnya tapi kepalaku sedang sakit jadi urung ku lakukan.
“Yah coba saja lakukan, maka kau akan menikahi mayatku nanti.” Ucapku membuatnya terdengar frustasi.
“Apa bagimu kematian semudah itu huh? Kau berbicara mengenai bunuh diri dan kematian seperti membicarakan permen. Di luar sana banyak sekali orang yang berharap berumur panjang dan kau malah terus menerus mengatakan ingin mati seolah kehidupan tidak ada artinya. Benarkah kau calon Dokter? Bukankah seharusnya seorang Dokter justru menjadi orang yang paling menghargai kehidupan?” Ceramahnya panjang. Tapi kata-katanya menghantam hatiku begitu dasyat. Membuat batinku bertanya-tanya kembali tentang alasanku menjadi Dokter. Diam-diam membenarkan ucapan Raka bahwa aku sangat egois. Karena jika aku menjadi seorang dokter demi kehidupan yang lebih baik untuk orang lain yang sakit, kenapa aku justru tidak menghargai kehidupanku sendiri. Entah kenapa mendengar ceramah ini malah membuatku ingin menangis. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, ada yang memberiku nasihat, ada yang mengkoreksi tindakanku dan ada yang mengajariku tentang kehidupan.
“Mungkin memang hidupku tidak ada artinya lagi jika aku menikah denganmu Om.” Jawabku lemah tanpa menoleh. Membohongi diriku sendiri bahwa sejujurnya aku malu mengakui jika aku adalah manusia yang egois.
“Anggia dengar! Coba kamu pikirkan lagi, ini akan menguntungkan kita berdua bukan hanya aku yang di untungkan.” Ucapnya masih membujuk. Tapi gejolak di dadaku sudah tidak bisa ditahan lagi. Aku ingin menangis sehingga aku bangkit dari dudukku. “ Mau kemana?” Tanyanya.
“Toilet.” Jawabku singkat. Setengah berlari aku menuju Toliet dan menangis. Merasa malu pada diriku sendiri karena tidak menghargai kehidupan. Kata-kara Raka benar-benar menghantamku dengan keras. Seperti menyadarkanku dari kesalahan yang besar.
Setelah tangisku reda aku keluar dari kamar mandi dan kembali ke ruangan Raka. Dia terlihat sedang sibuk dengan ponselnya dan menoleh begitu aku datang. “Kamu yakin gak perlu ke dokter? Kamu pucet banget loh Nggi.” Ucapnya.
“Nggak usah, aku mau pulang aja terus tidur.” Jawabku yang kemudian diangguki olehnya. Setelah selesai membayar makanannya, Raka kemudian menoleh ke arahku untuk mengikutinya pulang. Aku berdiri dengan susah payah karena rasanya pening sekali. Sepertinya tubuhku dikalahkan oleh beban pikiranku belakangan ini.
“Nanti mampir apotik dulu deh, kamu biasanya minum obat apa Nggi? Anggi! Anggiaa!” Ucapnya dengan nada keras di akhir kalimat memanggil namaku karena setelah itu semua gelap dan aku tidak sadarkan diri.
***
Begitu aku terbangun, aku berada di sebuah kamar dengan nuansa abu-abu yang memiliki bau khas laki-laki. Sluruh perabotnya terlihat mahal dengan penerangan yang temaram karena sepertinya hari sudah sore. Aku memijat kepalaku yang terasa sakit menyengat. Saat itu aku akhirnya menyadari ada selang impus terpasang di tanganku.
“Udah bangun? Dokter baru aja pulang.” Ucap Raka tiba-tiba saja ada di sebelahku entah datang kapan aku tidak begitu memperhatikan. Dia menggunakan kaus santai berwarna putih yang mencetak jelas bentuk tubuhnya yang indah. Selain itu wangi khaw laki-laki menguar dari tubunya. Jika dia tidak menyebalkan mungkin dia bisa masuk dalam list laki-laki yang bisa diterima dalam versiku. “Ini minum dulu obatnya, kamu jangan dulu pulang nunggu impusnya habis nanti aku anterin pulang.” Tuturnya lagi. Aku menurut saja, menerima obat yang dia sodorkan dan meminumnya. Aku memang butuh istirahat dan Vitamin karena tubuhku sedang memberontak. Aku melihat cairan impusku berwarna Pink membuatku mendesah lega karena itulah yang aku butuhkan sekarang.
“Boleh tidur lagi sampai impusku habis? Aku membutuhkannya?” Tanyaku.
“Ya tentu saja, tidur saja. Aku di luar membereskan pekerjaan jika butuh sesuatu panggil saja aku.” Ucapnya tidak terduga. Perhatian yang tidak aku sangka sedikitpun. Membuat pandanganku pada Raka yang sebelumnya mengira bahwa dia adalah jenis kulkas berjalan yang kaku tidak banyak bicara dan menyebalkan menjadi lebih baik sedikit.
Aku tertidur kembali dengan nyaman, entah kenapa ini nyaman sekali karena pertama aku kurang tidur dan kedua kamar ini memang nyaman sekali aku akui. Dan betapa kagetnya aku begitu aku terbangun hari sudah pagi dengan impus yang sudah terlepas dari tanganku dan aku tidak melihat Raka ada dimanapun. Badanku terasa lebih segar dibanding kemarin, tapi bukan itu poin utamanya. Jika aku terbangun di sini pagi ini, itu artinya semalam aku tidak pulang dan ini adalah bencana. Ayahku pasti marah dan akan semakin marah karena dipanasi oleh Zia dan tante Diona. Maka itu adalah kiamat untukku.
Aku segera bangkit dan hendak berlari keluar tapi kemudian terhenti karena kepalaku sakit sekali. Aku duduk kembali di ranjang sambil memijat kepalaku. Tepat saat itu aku mendengar langkah kaki mendekat.
“Belum Sehat jangan bangun dulu.” Ucapnya dan ketika aku menoleh aku melihat raut wajah khawatir Raka.
“Kenapa aku nggak dibangunin? Kenapa aku nggak dianter pulang kemarin sore Om?” Ucapku nyaris berteriak.
“Kamu nyenyak sekali tidurnya dan kelihatan masih sakit jadi aku biarkan tidur. Aku udah bilang sama ayah kamu kalau kamu ada di sini dan sakit jadi kamu tidak perlu khawatir akan dimarahi.” Ucapnya menjelaskan membuatku sedikit lega.
“Aku mau pulang sekarang om.” Ucapku.
“Sarapan dulu, minum obat abis itu aku antar pulang.” Perintahnya dengan nada tidak ingin di bantah. Aku mengikutinya keluar dari kamar dan saat itu aku menyadari bahwa rumah Raka mewah sekali. Entah rumah atau apartemen yang jelas ini indah sekali.
“Kata dokter lambung kamu bermasalah karena sering telat makan jadi aku buatkan bubur dan sampai obatnya habis kamu hanya boleh makan bubur mengerti?” Ucapnya yang aku angguki asal. Aku memakan bubur buatannya dan terkejut karena rasanya enak. Mulai sedikit malu mengakui bahwa laki-laki tua ini ternyata cukup menarik juga.
Hampir di suapan terakhir aku mendengar pintu rumah Raka di buka dengan keras dan tidak lama kemudian muncul Zia dari sana dengan wajah marah menuju ke arahku. Raka langsung berdiri di hadapanku dan menghalau Zia yang akan menyerangku.
“Sayang dengar dulu! Kemarin Anggia pingsan saat sedang berbicara denganku sehingga aku bawa pulang ke Apartemen untuk mendapat perawatan dokter. Lihat saja, dia pucat sekali kan?” Ucap Raka ketika Zia mulai membentak marah ke arahku dan mulai mengeluarkan kalimat penghinaan.
“Lo sengaja sakit kan mau godain cowok gue?” Ucap Zia marah-marah dan aku diam saja. Terlalu melelahkan meladeninya.
“Zia, Zia udah stop jangan nyerang dia terus dia lagi sakit. Lagian aku mana mungkin kegoda sama dia kalau dia memang menggodaku.” Raka yang menjawab.
“Pokoknya aku nggak setuju dengan rencana kamu menikahinya.” Ucap Zia frustasi.
“Kalau begitu kamu batalkan kontrak modeling kamu dan kita menikah.” Balas Raka membuat Zia diam.
“Raka kamu kan tahu susah payah aku mendapatkan pekerjaan ini, aku tidak mungkin meninggalkannya begitu saja hanya demi pernikahan.” Ucap Zia lagi.
“Hanya demi pernikahan? Jadi memang pekerjaan kamu itu lebih penting dari segalanya termasuk dari aku dan urusanku bukan?” Tutur Raka marah. Pertengkaran mereka benar-benar membuat kepalaku semakin sakit.
“Raka! Sejak awal kita sudah sepakat bahwa pekerjaanku memang penting buat aku kan kenapa sekarang kamu ungkin hal ini?”
“Perusahaanku dan warisanku juga penting Zia! Bukankah kamu tidak akan mau bersamaku jika aku tidak punya uang? Lalu aku harus bagaiamana? Menolak permintaan kakek dan menjadi miskin begitu?” Balas Raka lagi dengan kesal. “Pokoknya kamu setuju ataupun tidak, Anggia tetap akan menikah denganku karena aku sudah mendapatkan persetujuan ayah dan kakaknya.” Tambah Raka lagi membuatku tersedak minumanku dengan mata melotot menoleh ke arahnya.
“Siapa bilang aku bersedia menikah denganmu?” Protesku akhirnya bersuara.
“Aku akan membunuhnya dan membunuhmu kalau kamu sampai memiliki perasan padanya!” Teriak Zia marah.
“Kenapa hanya aku yang selalu kehilangan dan berkorban sesuatu sementara kamu hanya mau menerima saja? Ini menyebalkan Zia karena kamu ternyata sangat egois.” Ucap Raka dengan nada marah dan tidak ada yang mempedulikan protesku tadi.
“Ahh sekarang kamu sudah berani menghakimiku Raka? Gara-gara dia? Iya? Kamu sudah mulai ada rasa pada gadis murahan pembawa sial ini iya?” Zia juga berteriak dengan marah dan kepalaku rasanya berputar.
“Sebaiknya kamu pulang Zia sebelum aku benar-benar marah dan akan semakin rumit nantinya.” Usir Raka halus. Zia berteriak ke arah Raka, memukul laki-laki itu menggunakan tas mahalnya sekali kemudian melotot sambil mengancamku dan keluar dari apartemen Raka dengan membanting pintu.
“Arghhh dasar menyebalkan!!” Raka berteriak marah masuk ke dalam ruangan kerjanya dengan membanting pintu juga. Nasibku sepertinya memang sedang buruk. Sudah sakit ditambah harus mendengarkan pertengkaran sepasang kekasih yang menyebalkan juga. Membuat kepalaku semakin pusing saja rasnya.
***