59

1077 Words
Gue mau ke rumah Rifka," "Bohong. Rifka sama teman-teman lo ke sini tadi pagi. Lo mau ke Marsel? Iya? Jangan ngira gue bakal beri izin." tegas Arsen. Apa yang dilakukan Marsel kemarin sudah cukup membuat dirinya yakin kalau Marsel bukan Laki-laki yang cocok untuk Alista. "Kasih izin sebentar aja. Kasihan dia udah nungguin." "Gak. Sekali enggak, ya, enggak." Arsen memutar badan, berbalik dan menutup pintu kamar Alista. Kedua mata Alista yang sipit terbeliak lebar. "Kak! Buka woy!" dia menggedor-gedor, lantas memegang kenop pintu. Sadar dikunci dari luar, emosi Alista semakin tersulut. "KAK! TEGA BANGET LO! BUKA ENGGAK?!" _____***_____ Marsel menunggu kehadiran Alista yang belum datang juga. Pria itu menggerakkan kaki tidak sabar. Tiga puluh menit dia menunggu membuat kesabarannya terkuras. "Kamu tidak menghadiri pernikahan Ayahmu?" pertanyaan sensitif itu membuat Marsel menengok kan kepala. "Apa Ibu juga akan menghadiri pernikahan itu jika aku menghadirinya? Jangan menanyakan pertanyaan yang ibu sudah tau jawabannya." "Maaf. Bisakah kau gendong dia sebentar? Ibu akan bersiap-siap sebentar." "Untuk ke mana?" "Tempat perbelanjaan. Membeli keperluan Mina." kata Evelyn. "Enggak bisa. Marsel harus ke rumah teman sekarang." Laki-laki itu beranjak keluar, menghiraukan Evelyn yang tampak kecewa. "Tidak ada bedanya dengan sifat Ayahmu." Marsel mengendarai motornya dengan laju kecepatan tinggi. Bunyi klakson-klakson terdengar merebak di telinganya disertai Omelan orang-orang yang tidak terima. Marsel tidak menggrubis semua itu. Sampai di depan sebuah rumah lumayan besar bercat putih bersih, barulah Marsel berhenti. Ia menarik langkah menuju pintu. Tangannya itu mengetuk beberapa kali, namun tidak kunjung mendapatkan jawaban. "Marsel di sini!" teriak seorang wanita dari atas sana. Kepala Marsel menengadah ke atas. Ia terkejut melihat Alista ada di jendela lantai atas sana. "Kamu masuk aja lewat halaman belakang! Kakak aku enggak izinin aku keluar!" lengking Alista lagi. Marsel langsung bergerak sesuai dengan instruksi Alista dan memanjat melalui tangga berdiri yang ada di sana. Wajah Alista tidak berhentinya berbinar-binar. Ia mundur ketika Marsel sudah berhasil masuk ke kamarnya. "Kamu ngapain ke sini? Udah aku bilang, aku nggak bisa ke sana." Marsel terus mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Alista. Lutut mereka saling bersentuhan. "A--aku ambil minum buat kamu. Pasti kamu kehausan, kan?" Alista menunduk gugup. Ia menatap kaki telanjangnya. Niatnya akan berdiri, Marsel tidak juga melangkah mundur. "Al," Jantung Alista berdetak semakin menggila kala kedua tangan Marsel memegang pundaknya. Apalagi saat dia mendongak, matanya dengan mata tajam Marsel bertemu. Marsel memegang kedua pipi Alista yang tengah merona. Ia mencondongkan badan sehingga kepalanya sejajar dengan kepala Alista. Marsel mendekatkan wajah, saat itulah Alista memejamkan mata. Sesuatu mendesir kuat di tubuhnya ketika Alista merasakan bibir Marsel mulai melumatnya perlahan. Gadis polos itu hanya diam saja, tidak bisa mengimbangi sampai... Marsel melepaskan pangutan mereka dan terkekeh pelan. "Kamu baik-baik aja? Kenapa gugup gitu? Kamu bersikap seolah kita baru bertemu." Marsel mundur dan menciptakan jarak. Barulah Alista bisa bernafas lega. "A--aku mau ambilin minum buat kamu," Alista beranjak dari duduknya, sedangkan Marsel mendarat di tepi ranjang, kemudian menengok ke Alista yang ada di ambang pintu. "Mau ke dapur?" "Iya," "Aku tunggu, Beb!" Usai Alista sudah tidak kelihatan lagi, Marsel menengok ke kanan kiri untuk memastikan benar-benar dia sendiri yang ada di sini. Setelah yakin, Marsel mengeluarkan sebuah kamera, kemudian dia berjalan ke pojok kamar tepatnya di nakas yang terdapat beberapa laci di bawahnya. Marsel meletakkan kamera itu tempat di balik pot bunga. Senyum miring tercetak jelas di wajahnya. "Kamu ngapain di situ?" Deg. Marsel spontan memutar badannya. "Enggak ini aku lihat bunganya bagus," "Aku enggak pernah absen buat sirami setiap hari." Alista mendekati Marsel dan menyodorkan gelas berisi air putih yang ia ambil. Marsel langsung menerima, kemudian menengguknya hingga habis. "Kamu hari ini enggak ada acara?" Alista menggeleng, "Aku full di rumah hari ini. Emang kenapa? Kamu mau ajak aku jalan?" Marsel menggelengkan jari telunjuknya. Ia beranjak mendekati ranjang dan duduk untuk kedua kali di sana. "Kamu mau terus di situ? Sini duduk," "Aku mau tanya. Kemarin kenapa kamu jalan sama Felisia? Katanya kemarin kamu bantuin Tante Evelyn buat ngurus Mina." "Apa? Aku jalan sama Felisia?" sial, darimana dia tau. lanjutnya dalam batin. Marsel menggeser duduk hingga menghadap Alista. "Iya, aku jalan sama dia. Tapi cuma sebatas teman doang, Beb. Lagian aku sama dia emang udah temenan sejak SMP." "Temenan, tapi ada rasa?" sinis Alista. "Enggak. Bukan gitu," Marsel memperpendek jarak. Kedua tangan besarnya itu membawa Alista ke dalam pelukannya. "selamanya dia bakal jadi teman aku. Enggak lebih," "Tapi tetap aja aku enggak rela kamu dekat-dekat sama dia. Apa dia lebih cantik dari aku, makanya kamu jalan sama dia? Atau aku malu-maluin buat ajak aku jalan?" cecar Alista, melepaskan dirinya dari dekapan Marsel. "Apa kamu perlu bukti kalau aku benar-benar gak ada hubungan sama dia dan aku cuma suka kamu?" Alista mengangguk samar. Kedua tangan Marsel memegang bahu Alista. Laki-laki itu memajukan wajah dan mulai mendaratkan bibirnya lagi untuk kedua kali. Alista perlahan membalas ciuman itu sambil memegang rahang tegas Marsel. Hingga tiga puluh detik kemudian, tangan Marsel mulai meraba ke arah lain. Alista menampik lengan Marsel, kemudian melepaskan pautan mereka. "Aku cinta kamu. Ini sebagai bukti kalau aku enggak akan dekat lagi dengan Wanita lain," Marsel melanjutkan aksinya kembali. Alista diam, tidak ada penolakan sama sekali sampai Marsel merebahkan dirinya. Cowok itu menanggalkan pakaiannya, kemudian melakukan hal yang sama pada Alista. Mereka berbuat sesuatu di luar batas. _____****_____ Bianca menatap gusar ke arah pintu. Sudah satu jam, seharusnya pernikahan sudah dimulai, namun calon suaminya belum juga datang. "Mbak, coba telepon dia sekali lagi." titahnya pada sang perias yang masih setia di sampingnya. Perias itu mencoba menelepon Lorenzo lagi. Bukan suara Lorenzo yang terdengar, melainkan suara operator yang memberitahu kalau ponsel Lorenzo tidak aktif. "Mungkin Tuan Lorenzo sengaja menonaktifkan ponselnya. Kita tunggu tiga puluh menit lagi," "Sudah terlalu lama pernikahan ini ditunda. Kamu coba ke rumah dia untuk memastikan, mau?" "Baik, Nyonya. Aku akan ke sana sekarang," "Terjadi kecelakaan di pembatas tol jalan Anggrek. Mobil korban masuk ke dalam jurang dalam keadaan hangus. Korban kemungkinan ada di dalam dan meninggal di tempat. Sampai saat ini polisi masih menyelidiki penyebab kecelakaan ini." Atensi mereka berdua langsung terpusat pada televisi yang menampakkan berita itu. Keduanya saling berpandangan sebentar, namun penglihatan Bianca terarah kembali pada televisi dan menyipit, memperhatikan lebih jelas kamera yang tengah menyorot mobil yang sudah hangus. Ada satu benda yang membuat kedua mata Bianca terbuka lebar. Jam tangan yang melingkar di pergelangan lengan jenazah itu persis... seperti jam tangan milik Lorenzo. Buket bunga yang digenggam Bianca seketika terjatuh. Kedua matanya perlahan memerah, hingga bulir bening menitik. "Ka--kamu lihat gelang itu?" tanyanya pada Sang perias.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD