58

1032 Words
"Untuk apa ke sini?" tanya Bianca setelah dirinya membuka pintu. Ia mundur ketika Lorenzo mulai menerobos masuk. "Kenapa bertanya? Jelas-jelas aku ke sini untukmu, sayang." Lorenzo bergerak mengunci pintu. Ia melangkah maju, mendekati Bianca. Saat itu juga Bianca mundur dengan kepala menunduk hingga kakinya menabrak sofa. Namun Lorenzo membuat Bianca terduduk hanya dengan dorongan satu jari. "Kamu menghindar? Kenapa sikapmu seperti wanita perawan? Hey, ingatlah. Kita sudah berkali-kali seperti itu," Lorenzo memegang pipi tirus Bianca. Dengan sigap, dia mengunci pergerakan calon istrinya itu hingga tidak ada pilihan lain bagi Bianca selain diam dan merasakan apa yang dilakukan Lorenzo. "Kamu selalu membuat aku ketagihan," deru nafas itu menerpa telinga Bianca membuat bulu kuduk perempuan itu berdiri dan detak jantungnya kian tidak terkendali. Lorenzo mulai mendaratkan bibirnya pada leher jenjang Bianca. Bergerak s*****l, sedangkan Bianca mati-matian untuk menahan suara menjijikkan yang akan keluar dari mulutnya. "Pembantuku belum pulang. Dia bisa melihat kita nanti..." Lorenzo justru acuh dengan perkataan Bianca. Ia malah semakin menggila dan menjamah tubuh wanita itu hingga mendengar suara yang paling ia nantikan sejak tadi. "Nyonya--Maaf," Dan benar saja. Seperti dugaan Bianca, Bi Hanifah datang. Spontan Bianca mendorong tubuh kekar Lorenzo. Ia terduduk dan merapihkan baju yang sempat berantakan tadi. "Apa kau mau menginap di sini? Pulang sekarang! Atau saya pecat!" gertak Lorenzo, mengurungkan niat Bianca berbicara. "Tidak. Jangan pecat saya. Saya akan pulang sekarang juga," kepala Bi Hanifah menunduk. Tidak marah saja, wajah calon Tuannya itu sudah terlihat garang dan menakutkan. Apalagi saat marah seperti ini. Setelah Bi Hanifah keluar, pandangan Lorenzo teralih kembali pada Bianca lantas melanjutkan permainan yang sempat tertunda tadi. "Sebut namaku, honey..." ____***_____ Nandin merapatkan topi hitam yang ia pakai serta masker dengan warna senada. Iris mata tajam serta penuh kewaspadaan itu terus memperhatikan gerbang sebuah rumah besar yang ada di hadapannya. Dia akan membuang waktu lagi mulai saat ini. Tujuannya sudah bulat. Melihat pasangan itu keluar dan saling melemparkan kecupan, Nandin membuang muka ke samping. Tidak lama, deru mobil membuat Nandin kembali meninjau ke depan. Ia panik melihat mobil yang sedari tadi ia intai sudah berjalan. Langsung saja Nandin menjalankan dan mengikuti mobil di depannya. "Lo akan ngerasain apa yang gue rasain, Marsel." Sambil menyetir, tangan Nandin satunya mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang. Sampai suara orang terdengar, barulah Nandin angkat bicara. "Jalanan sepi. Sekarang posisi sudah aman. Kalian tabrak saja dia dan buat mobilnya jatuh ke jurang." sambungan terputus setelah ia memencet ikon merah. Nandin terfokus kembali ke depan dan mempercepat laju mobilnya hingga menabrak bagian belakang kendaraan itu. Walaupun berhenti, Nandin tetap menabraknya tanpa jeda. Hingga mobil hitam legam melintas di depan sana, barulah memundurkan mobilnya dan menjauh. Ia berhenti di tepi jalan, menyaksikan musuhnya dihabisi. Nandin mengeluarkan ponsel dan memvideokannya dengan seringaian puas. Mobil hitam milik anak buahnya itu berhenti. Sebanyak empat orang berbadan kekar turun dan meminta paksa agar Lorenzo keluar. Iya, Lorenzo. Pria itu adalah target Nandin sekarang. "Pegang dia." "Siapa kalian berani menghentikanku?!" sergah Lorenzo tidak terima. Bukannya mendapat jawaban, dua orang bertubuh tegap dengan otot-otot yang menonjol di lengannya, maju dan memegangi kedua lengan Lorenzo. "Kalian mau uang? Saya bisa memberikan banyak untuk kalian, tapi tolong lepaskan saya!" "Ayo mulai." intruksi pria itu pada temannya. Satu orang mengeluarkan pisau dari saku. Lorenzo berusaha memberontak. Keringat dingin mulai meluncur dari pelipis kirinya. Kedua pria itu makin menahannya erat hingga pisau itu berhasil menusuk perut datar Lorenzo. Tidak cukup, pria berkepala botak itu mengobok-oboknya dengan brutal hingga Lorenzo memuntahkan cairan merah pekat berbau anyir. "Sa--saya.... tidak.... akan.... membiarkan... kalian hidup te--tenang...." seluruh tenaga Lorenzo seolah terkuras habis bersamaan dengan rasa perih sekaligus panas yang mendera pada perutnya. Lorenzo menatap kosong ke arah jalanan yang sepi sekaligus gelap. "ma--maafin aku, Evelyn..." pandangannya mengabur buram sampai semua... hitam semua. Gelap gulita. Melihat Lorenzo tidak sadarkan diri, pria yang sedari tadi mengawasi langsung mengadahkan tangan, pertanda menyuruh yang lain berhenti. Pria itu menempatkan jari di hidung Lorenzo. Merasakan tidak ada hembusan nafas, Pria itu tersenyum puas. "Rencana Nyonya muda berhasil. Bawa mayatnya masuk ke dalam. Kalian berdua ambil bensin yang sudah kita bawa. Tuangkan semua ke mobilnya." titah pria dengan suara bariton itu. Mereka langsung menjalankan tugas. Jenazah Lorenzo dibawa masuk ke dalam dengan kondisi berlumur darah. Mereka bertiga mulai menyirami mobil Lorenzo menggunakan bensin. Setelah semuanya rapih, ketiganya kompak mendorong mobil Lorenzo sampai ke tepi jurang. Salah satu laki-laki sudah menyiapkan korek api. Setelah dapat intruksi, mereka mendorong mobil Lorenzo ke jurang bersamaan dengan dilemparkannya pematik api yang menyala. Alhasil mobil Lorenzo terbakar dan jatuh ke jurang yang penuh dengan rimbunan pohon lebat. Api menyambar, membakar semua tumbuhan yang ada di sekitarnya membuat kebakaran hebat terjadi. Jagoan merah yang menyala-nyala itu menambah kengerian. Mobil Nandin berhenti tepat di samping mereka. "God job! Ini." ia melemparkan satu plastik berisi uang ke arah mereka layaknya sampah yang sudah tidak berguna. "pakailah uang itu sepuas kalian. Pastikan juga tidak ada bukti yang kalian tinggalkan." ____****_____ Bianca melihat dirinya di pantulan cermin. Balutan gaun pengantin putih menambah keanggunan pada tubuh rampingnya. Perias yang sedari tadi bekerja tersenyum puas hasil riasannya. "Make up nya menyatu. Anda terlihat sangat cantik sekali," "Bisa ambilkan aku ponsel?" pinta Bianca. Perias itu meraih ponsel dan menyodorkan di dekat Bianca. Jari wanita itu langsung mencari nama seseorang di sana. Setelah ketemu, dia menghubungi orang itu. Ponsel masih berbunyi. Panggilan sama sekali belum diangkat. Bianca terus memerhatikan, berharap orang itu mengangkat panggilannya. Namun, sudah belasan detik berlalu, bukan panggilan yang dia terima melainkan sebuah penolakan. Bianca menunduk. Di hari penting ini, apa kedua anaknya itu tidak mau datang sebentar pun? Bianca mengharapkan itu walau sadar ia telah membuat kesalahannya besar. Sementara di tempat lain, Alista terus memandangi luar jendela yang mulai menunjukkan sinar matahari terangnya. Sudah satu jam sejak dirinya terbangun, dia sama sekali tidak berniat untuk beranjak dari ranjang. Ting. Ponsel miliknya tiba-tiba berbunyi. Alista langsung meraih itu dan mengubah posisinya menjadi tengkurap. Marsel: Ke rumah aku sekarang. Bisa kan? Bisa. Sekalian aku mau tanya tentang kamu kemarin. Alista beranjak dari ranjangnya itu untuk bersiap-siap. Kalau Marsel sudah mengajaknya seperti ini, semangat hidupnya kembali. Setelah menggunakan pakaian dan memoleskan make up tipis di wajahnya, Alista tersenyum puas memandangi pantulan dirinya di cermin. "Ke mana?" Arsen berdiri di ambang pintu. Ia meneliti setiap penampilan Adiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD