60

1633 Words
"Itu... hanya kebetulan saja, Nyonya. Gelang yang dipakai Tuan dijual banyak di pasaran. Nyonya--" "CEPAT PERGI KE RUMAH DIA UNTUK MEMASTIKAN SEKARANG!" lengking Bianca histeris. Tubuh wanita itu ambruk dan terduduk di lantai. Air mata mulai luruh deras. Maskara yang terpakai cantik itu kini luntur, menambah kesan menyedihkan. Bianca menutupi wajahnya sambil terisak hebat. Perias itu mengurungkan niat untuk menenangkan dan memilih pergi ke rumah Lorenzo, berharap bahwa korban kecelakaan itu bukan tuannya. "Kau sudah tahu, kan, rasanya kehilangan?" suara itu membuat Bianca mendongakkan kepala. Tampaklah Evelyn yang tengah menggendong anak keduanya berusia dua Minggu. Ia berdiri tepat di depan Bianca yang masih terduduk. "jangan menangis. Seharusnya kau senang karena Tuhan memanggil dia. Tuhan tidak mengizinkanmu untuk menikahi laki-laki itu karena saya yakin setelah kalian menikah, dia tetap akan selingkuh juga. Bangunlah. Kamu tidak perlu membuang air mata percuma," "Bilang saja kau senang dengan keadaanku kan?" Sirat permusuhan kentara jelas di kedua mata Bianca. "Ya, aku senang. Aku senang karena kamu tidak jadi menikah dengan laki-laki berengsek itu. Sudah menjadi tugasku sebagai sahabat untuk melindungi dirimu dari laki-laki macam itu." Hati Bianca tersentuh. Bagaimana bisa Evelyn masih menganggapnya sebagai sahabat, sementara dirinya lah yang menyebabkan Evelyn menjadi orang tua tunggal? Evelyn mengulurkan tangan, "Ayo berdiri. Ganti pakaianmu. Kita hadiri pemakaman dia," "Ja--jadi orang itu benar Lorenzo?" Langsung dibalas anggukan oleh Evelyn. "Kau pasti yang menyebabkan dia celaka, iya, kan!? Kau iri dengan kebahagiaan yang aku dapat! Jawab! Dari dulu kau tidak berubah! Saat kita kelas dua belas SMA, aku sudah mengalah. Aku merelakan Jeno untukmu. Tapi kamu berusaha merebutnya. Dan sekarang kamu merebut Lorenzo dariku!" sentak Bianca. Evelyn menggelengkan kepala dengan cepat. "Polisi masih menyelidiki siapa pelakunya. Bukan aku yang menabrak dia atau menyebabkan dia meninggal. Hey, untuk apa aku melakukan itu, sedangkan aku sudah tau kalau dia lebih mencintaimu? Baiklah jika kamu tidak ingin melihat aku, aku akan pergi sekarang juga. Permisi. Dan ingat pesanku, jangan membuang banyak air mata untuk pria itu." Evelyn melangkah pergi, meninggalkan Bianca sendiri di rumah besar itu. ____***____ "Makasih, Baby..." "Aku takut." "Takut apa, Sayang?" "Takut kamu ninggalin aku. Takut terjadi sesuatu beberapa bulan ke depan," "Aku enggak akan ninggalin kamu. Untuk beberapa bulan ke depan, enggak ada yang akan terjadi sesuatu atau apapun itu. Semuanya aman. Percaya aku. Hampir setengah tahun aku jadi pacar kamu, apa kamu masih enggak percaya aku?" Alista menggeleng samar. "Aku percaya sama kamu," Marsel menarik Alista ke dalam dekapannya dan memeluk erat. Keduanya menenggelamkan diri, membalut tubuh mereka di dalam selimut. Alista berusaha meyakinkan dirinya kalau Marsel tidak akan berkhianat dan pergi. Ya, lagipula dia tak akan membiarkan Marsel meninggalkannya begitu saja setelah dia memberikan semuanya. Alista menenggelamkan wajahnya di d**a bidang Marsel, menghirup aroma tubuh laki-laki itu. ____****____ "Buat apa panggil gue ke sini?" Arsen menghampiri sosok wanita tengah duduk dan memandang lurus ke arah anak-anak yang tengah bermain riang. Nandin menengok. Iya, Nandin. Perempuan itu memanggil Arsen kemari. Entah tujuannya apa. Arsen pun tidak tahu. "Aku mau kasih kamu saran demi kebaikan adik kamu," "Apa? Maksud Lo?" Arsen berharap ia salah dengan akan perkataan Nandin. "Alista. Ini tentang Alista dan juga Marsel," Arsen mendarat duduk di samping Nandin. "Saran apa maksud lo?" "Ini," Nandin menyerahkan ponsel miliknya. Tangan Arsen mengambil alih benda pipih itu. Dan sudah ada video yang siap diputar. "Kamu tonton sampai habis aja. Kalau aku yang jelasin, takutnya kamu enggak percaya. Lebih baik kamu lihat buktinya langsung." Jari Arsen menyentuh ikon pemutar video itu sampai tampaklah Bagas yang terlihat pulih sepenuhnya. Pandangannya mengarah pada Nandin, tetapi mendengar suara dari Bagas, Arsen mengurungkan niat dan melihat ke layar ponsel kembali. "Sampaikan salam gue ke Alista. Semoga video yang gue buat ini bisa nyelamatin dia dari laki-laki itu. Dan maaf kalau gue enggak berani bilang ini secara langsung. Marsel yang menyebabkan gue ditusuk karena gue udah tau rahasianya. Marsel dekati dia cuma karena balas dendam dan balas rasa sakitnya. Gue enggak tau balas dendam atas sebab apa, tapi yang jelas, lo sebagai kakak, jauhin dia dari Marsel. Gue takut Alista jadi pelampiasan balas dendamnya dan ngelakuin hal yang gak baik ke dia. Maka dari itu, gue mohon buat mereka putus atau bawa adik lo pergi jauh dari Marsel." Video berakhir. Arsen sudah menduga ini sebelumnya, namun ketika Bagas mengatakan dia ditusuk oleh Marsel, kegusaran Arsen semakin bertambah besar. "Bagas sendiri yang kasih itu ke aku. Dia mempercayakan itu aku. Malam kemarin Bagas udah pergi ke luar negeri buat menetap sementara di sana." kata Nandin. Laki-laki itu mengembalikan ponsel pada Nandin. Ia berlari cepat begitu saja, menuju ke rumahnya kembali. Bodoh karena dia sudah meninggalkan Alista sendirian. Tidak ada yang tahu. Bisa saja, kan, Marsel datang ke rumahnya. "Apaan, sih, kok pakai cengeng segala. Cepat kerjakan semua PR kita berempat." "Segitu aja nangis! Kalau lo enggak mau, kasih uang ke kita! Paman Lo pasti kasih banyak uang saku, kan?" "Ayolah, bagi-bagi sama kita. Jangan pelit," "Yah, malah nangis, Pris." Langkah lebar Arsen berhenti. Kedua matanya mengalihkan pengamatan ke sumber suara. Perhatiannya tertarik mendapati Sesil ada di sana. Entah sudah berapa bulan ia tidak bertemu dengan Gadis itu. "Udah dibilang, lo--" perempuan bernama Priska itu tergemap merasakan lengannya ditahan oleh seseorang. Ia perlahan menengok, keningnya mengerut dalam melihat seseorang yang tidak ia kenal ada di dekatnya. "Ya ampun, Pris. Ganteng banget," bisik temannya. "Kenapa harus dia yang kerjain PR kalian?" Arsen menghempaskan lengan Gadis yang ia tahan. "pergi sekarang. Kalian enggak akan dapat kesempatan kedua buat kabur." "Ganteng, boleh minta nomor teleponnya enggak?" Priska melotot ke arah temannya yang barusan berbicara. Bisa-bisanya berbicara seperti itu di saat situasi sengit sekarang. "kalian bertiga ikut gue. Ayo cabut." Arsen memandangi kepergian mereka berempat dan terarah kembali ke Sesil yang tengah menunduk. "Bangun. Mereka udah enggak ada," Arsen mengulurkan tangan. Kepala Sesil menengadah. Lengan yang penuh luka itu akhirnya menerima uluran tangan Arsen. "Lain kali kalau ada teman Lo yang kayak tadi lagi, lawan aja. Gak perlu takut atau mereka makin semena-mena sama Lo." ___***____ Arsen berhenti di sebuh rumah yang menjadi huniannya serta sang adik selama tiga bulan ini. Ia membuka pintu dengan kunci yang ia bawa. Tanpa membuang waktu lagi, dia masuk ke dalam kamar Alista untuk memastikan keadaan Gadis itu. Seketika bahunya melemas lega disusul dengan hembusan nafasnya ketika melihat tidak ada Marsel di sana. Tapi tunggu. Ada satu yang aneh. "Tumben lo ganti sprei." "Astaga," Alista berbalik dan mengelus-elus d**a. "muncul sejak kapan Lo, Kak? Ketuk pintu dulu. Kalau gue jantungan gimana?!" "Jawab jujur. Tadi ada tamu gak?" Alista menggeleng kikuk. "Enggak kok. Cuma gue sendiri di rumah." "Ngapain Lo ganti sprei?" tanya Arsen lagi. "Kenapa? Emang gue lagi mau ganti sprei." Alista menghempaskan tubuhnya di ranjang berukuran jumbo itu. "Ada hal yang harus lo tau," Alista menengok ke Arsen yang sudah berbaring di sebelahnya. "Apa?" Ponsel laki-laki itu berbunyi. Sangat kebetulan sekali karena Nandin mengirimkan video itu. "Tonton itu sampai selesai." Alista menerima ponsel yang diberikan Arsen. Ia terduduk dan matanya terbelalak lebar melihat Bagas sudah sadar di sana. "Bagas?! Beneran dia udah pulih?! Kok lo--" ucapan Alista berhenti kala Bagas memulai perkataannya di sana. Satu menit berlalu, bahu Alista turun. Ia menggelengkan kepala berkali-kali sambil mengembalikan ponsel tersebut. "Enggak-enggak. Ini cuma fitnah doang. Bagas enggak suka liat gue dekat sama Marsel. Video ini pasti usahanya dia agar gue menjauh dari Marsel. Mar--" "Sampai kapan hati Lo tertutup? Sampai kapan lo terus bela dia? Sampai kapan? Bukti jelas-jelas udah ada di depan lo." "Bagas di mana?!" "Udah pergi keluar negeri malam kemarin," "Dan lo enggak kasih tau gue?!" sentak Alista. Semua orang memang jahat. Bagas pergi sejauh itu tidak ada yang memberitahu. "Gue juga baru tau dari Nandin." Alista terduduk tegak. Masih dengan memegang ponsel, perempuan itu lari keluar kamar. Arsen yang melihatnya pun langsung bergegas menyusul. Namun Alista berlari lebih cepat membuatnya kewalahan. "Woy! Lo mau ke mana?! Bagas udah enggak ada di sini!" "Gue mau ke rumah Marsel." kata Alista, menengok ke belakang, kemudian melanjutkan larinya kembali. Kebetulan sebuah taksi lewat. Langsung saja Alista menghentikan dan masuk ke dalam sana. "Berhenti di komplek perumahan Jalan Baru, ya, Pak." ____***____ Kerumuman orang berpakaian serba hitam yang berkumpul di rumah Marsel membuat Alista bingung sendiri. Apakah ada yang meninggal? Kok dia tidak mendengar kabar apapun dari Marsel. "Maaf, permisi. Siapa yang meninggal, ya?" "Tuan Lorenzo. Beliau meninggal karena kecelakaan tadi malam," "A--apa?" Alista tergegau. Sebelumnya ia tidak menyangka. Secepat ini terjadi? Padahal masa itu... dia masih melihat Ayah Marsel baik-baik saja. Alista berlari menerobos kumpulan orang itu. Hingga tampaklah sebuah peti putih dengan foto Lorenzo di atasnya. Tapi Marsel belum juga kelihatan di sana. Hanya ada Evelyn bersama bayinya dan seorang wanita tua yang belum dia tahu siapa, tengah menangis terisak di samping peti itu. Mengurungkan niat untuk menghampiri, Alista beranjak ke ruangan lain untuk menemukan Marsel sebab ia tahu di saat seperti ini, Marsel butuh seseorang di sampingnya. Dia cek di halaman belakang rumah, tidak ada. Dengan ragu, ia juga cek di kamar Marsel. Cowok itu tidak kelihatan juga, namun ada satu benda yang menyita perhatiannya. Ponsel yang tergeletak di ranjang itu... berdering. Langsung saja Alista berjalan menghampiri, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinganya. "Bri, lo liat Marsel?" "Bentar ini siapa dah?" "Gue Alista." "Oh, syukur yang ngangkat telepon ini Lo. Lo harus ke bar sekarang. Keadaan Marsel berantakan sekarang. Mungkin dengan kemunculan Lo, dia bisa tenang." "Dia minum-minum lagi?" "Siapa yang minum-minum?" suara seseorang dari belakang sana membuat Alista terperangah. Ia menjauhkan ponsel itu bersamaan dengan jarinya yang memencet ikon merah. Ia perlahan membalikkan badan, "Eh, Tante..." Ya, Evelyn yang muncul. Tidak tahu sejak kapan, yang jelas Alista merasa malu sekarang karena dia sudah lancang. "Siapa yang telepon?" "Brian, Tante. Kata dia Marsel mabuk di bar," Alista memberanikan diri untuk memandang lurus, menatap Evelyn. "aku turut berdukacita, Tan..." "Sekarang Tante boleh minta tolong? Jemput Marsel sekarang. Tante ingin dia yang melarungkan abu jenazah Ayahnya,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD