Mika masih saja tak habis pikir mengapa Icha sampai mengiris pergelangan tangannya sendiri, keberadaan Leo di sana membuat Mika tak bisa tak menebak-nebak bahwa mungkin saja itu masih berhubungan dengan Leo.
“Minum dulu, Yo,” ujar Mika, kasihan melihat Leo yang tampak begitu syok hingga wajahnya pucat dan tangannya gemetaran. Mika tadi yang memanggilnya, mengajaknya ke masuk ke rumahnya karena Leo terlihat seperti orang kebingungan. Sekaligus agar Leo dapat membersihkan darah di tangannya. Kendati sangat penasaran dengan apa yang terjadi, Mika segan untuk bertanya. Bagaimana pun juga, Leo baru menyaksikan kejadian tak biasa.
Menuruti ucapan Mika, Marco minum sedikit lagi air dalam gelas di tangannya lalu meletakkan gelas itu kembali ke meja kaca di ruang tamu rumah Mika.
Selagi Leo menyesap minuman dalam gelasnya, Mika terus menatapnya dengan tatapan prihatin. Melihat Leo saat ini, Mika merasa seperti de javu. Dulu, lama sekali, Mika juga pernah berada di posisi Leo, melihat orang terdekatnya berusaha mengakhiri hidup. Mika masih sangat kecil saat itu, banyak kenangan masa kecilnya yang terlupakan seiring dengan bertambahnya usia. Namun ingatan yang satu itu masih membekas, tak mau hilang hingga sekarang. Ingatan ketika dengan kedua matanya sendiri melihat darah mengalir dari pergelangan tangan bundanya.
“Lo tadi dari sekolah langsung nyamperin Icha?” tanya Mika berhati-hati.
Leo menggeleng pelan. “Tadi aku sudah hampir sampai rumah, terus mamanya Icha suruh datang. Waktu aku sampai, Icha sudah … begitu ….”
Mika menghela napas panjang. “Lo pasti kaget banget.”
Leo hanya tersenyum lemah. “Semua ini gara-gara aku.”
Mika melebarkan mata, tak siap dengan curahan hati Leo. “Jangan nyalahin diri, lo pasti nggak berharap dia kenapa-kenapa.” Mika tidak tahu harus menjawab apa sebab ia tak tahu duduk masalah sebenarnya hingga Leo merasa semua itu salahnya hingga tampak sekalut ini. “Ehm …, Icha pasti mengalami masa sulit, dan gue yakin lo sudah berusaha bantu dia.” Mika berusaha menguatkan, tapi yang didapat malah gelengan kepala lemah dari Leo.
Sejurus kemudian Leo menerima telepon masuk, Mika sempat mengintip si caller ID, dan di layar ponsel pintar milik Leo itu tertera nama Mama. Leo memberi isyarat menyingkir untuk mengangkatnya, sembari bangkit dari duduknya. Dari tempatnya duduk, Mika hanya berani memperhatikan Leo dari sudut matanya, sebisa mungkin tak terlalu menunjukkan rasa penasaran. Dari curi-curi pandang itu, Mika tidak berani menyimpulkan apa-apa, tapi yang jelas Leo kelihatan kesal dengan apapun yang didengarnya di telepon itu.
Sesaat kemudian Leo kembali, tapi bukan untuk duduk, melainkan untuk mengambil tas sekolahnya dan pamit untuk pergi. Mika tidak bertanya lebih lanjut, kendati ia sangat penasaran dia betulan akan pulang ke rumah atau pulang ke temat lain.
“Lho, Leo sudah mau pergi?” tanya Sadin yang melihat yang kebetulan baru masuk lagi dari rumah setelah nyangkut mengobrol dengan tetangga.
“Iya, Tante. Pamit dulu.”
“Lo naik apa, Yo?” tanya Mika lantaran tahu Leo tidak bawa kendaraan dan tak juga terlihat pesan transportasi online.
“Mau pesan Ojol sambil jalan ke depan.”
“Eh, biar diantar Pak Mul saja. Sekalian Pak Mul juga mau pulang.”
“Enggak, Tante, nggak usah—“
“Sudah, nggak apa-apa. Jangan pergi sendiri, setelah ini sebaiknya istirahat dulu di rumah.” Sadin bersikeras dan sama sekali tak mau mendengar penolakan serta alasan Leo, dia tetap memanggil Pak Mul dan minta tolong agar sekalian mengantar Leo pulang hingga Leo bener-bener tidak bisa menolak.
Mika dan mengantar Leo hingga depan gerbang hingga mobil yang disupiri Pak Mul bergerak menjauh perlahan
Mika menghela napas panjang, helaan napasnya itu membuat Sadin menoleh dan merangkulnya. “Hidup nggak ada yang sempurna ya, Kak. Yang kita lihat baik-baik saja, ternyata hanya bungkus luarnya saja. Seperti keluarganya Icha, Bunda nggak pernah menyangka kalau ternyata isinya nggak sebagus kelihatannya,” gumam Sadin lemah, barangkali terkait percakapan mereka kemarin tentang Bunda yang tak habis pikir dengan Ibunya Icha yang bisa kerja bolak balik ke luar negeri atau kota dan meninggalkan Icha hanya dengan pembantunya di rumah.
“Kasihan Kak Icha,” sambung Sikka.
Mika sontak menatap sang bunda dengan kernyitkan di keningnya, sepertinya bundanya telah mengetahui sesuatu. “Memang gimana isinya?” tanya Mika.
***
Belum habis kekagetan Mika terhadap apa yang menimpa Icha, hati Mika kembali dibuat teriris dengan keputusan Leo yang tiba-tiba ingin berhenti dari Naranada. Mika merasa itu tidak tepat, teringat bagaimana kemarin Leo dengan mimik serius mengatakan betapa dia ingin melakukan hal baru dengan Naranada. Keputusan itu juga amat disayangkan oleh Alvin dan Jodi, tapi mereka tak mau terlalu ambil pusing dan lebih ke kecewa. Mereka lelah dengan segala drama yang ada dan hanya ingin fokus persiapan festival saja. Namun tidak dengan Mika, ia yang awalnya tidak antusias dengan bergabungnya Leo, kini jadi yang paling menyayangkan sampai-sampai Alvin sempat memarahinya lantaran Mika usul untuk tetap menunggu Leo, barangkali dia akan berubah pikiran.
“Grup kacau kayak gini, masih ambis mau menang festival?” sindir Marco. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan menyindir juga karena seterusterang itu.
“Naranada baik-baik aja. Leo mungkin cuma sedang ada masalah aja.”
“Ya masalah dia itu nggak udah nggak mau gabung, buat apa dipaksa-paksa kalau nggak mau?” balik Marco. “Lo nggak dengar tadi Alvin bilang apa, jangan lagi-lagi karena perasaan pribadi, lo mengacaukan fokus dan kepentingan band.”
“Perasaan pribadi apa, sih? Gue cuma minta jangan dulu hapus bagian Leo.” Mika melirik Marco dengan sebal. “Leo tuh, bukan keluar karena dia nggak serius, apalagi plin-plan. Tapi karena ada alasan yang nggak mungkin gue kasih tahu karena privasi Leo.”
“Kalau privasi, terus kenapa lo bisa tahu?”
“Yaaa gue tahu aja.”
Kemarin Bunda Mika dan beberapa tetangga mendengar sedikit kronologi dari pembantu di rumah Icha. Menurut dia, kondisi mental Icha memang tidak stabil sejak dua tahun terakhir. Tepatnya ketika rumah tangga orang tua Icha mulai bermasalah. Itulah yang membuat mereka sangat jarang terlihat di rumah sehingga Icha merasa kesepian kendati memiliki segudang kesibukan. Jika perasaannya sedang tidak baik, Icha bisa menghancurkan seluruh isi kamarnya. Kondisi Icha diperparah dengan Leo meminta putus, bersamaan dengan kedua orang tua Icha berencana mendaftarkan perceraian mereka lantaran selama dua tahun mencoba bertahan, tak kunjung ada jalan tengah untuk tetap mempertahankan pernikahan. Icha tidak bisa menerima keputusan akhir itu.
Apa yang menimpa keluarga Icha membuat Mika menyusuri keharmonisan di keluarganya. Walau tidak diawali dengan cara ideal, setidaknya keluarga Mika masih saling menyayangi, memperhatikan, dan ‘utuh’.
Satu hal yang pasti, tidak ada kehidupan sempurna. Meski kelihatan sempurna.
“Mika, lo benar tetangganya Keisha?” Mika dan Marco sontak mendongak cepat, ketika Frisca tahu-tahu muncul dan bertanya demikian.
“Lo tanya bukan karena nggak tahu, kan?” Mika mengernyitkan kening aneh, bukankah Icha sendiri telah mengumumkan ke seantero sekolah bahwa mereka bertetangga dan bahkan saat kecil pernah sekolah di TK yang sama. Itulah mengapa apapun yang Icha katakan tentang Mika terdengar valid dan patut dipercaya.
“Apa benar Keisha nggak sekolah karena lagi dirawat di rumah sakit soalnya kemarin dia nyoba bunuh diri?”
Mika tidak bisa menahan gerak refleksnya melebarkan mata, untungnya sedetik kemudian Mika berhasil mengendalikan ekspresinya. Tentu saja ia kaget dan bertanya-tanya dari mana Frisca bisa mendengar kabar itu. Mika berdehem dan mengangkat dagu. “Mana gue tahu! Gue kan bukan bestie dia.”
“Ah, masa, sih, lo nggak tahu?” Frisca mencibir remeh. “Bukannya kemarin kompleks rumah lo heboh sampai ada ambulance segala?”
“Yang tinggal di sana kan gue, tapi kok kayaknya lo yang lebih tahu? Sayangnya gue nggak mau tahu, jadi simpan aja sendiri apapun hoax yang lo tahu itu.”
“Sudah, nggak sudah sok nutup-nutupi, Icha aja santai bilang ke semua orang kalau lo itu anak haram.”
Sontak saja mata Mika menatap Frisca tajam, emosinya mulai terpancing atas ucapan Frisca yang sungguh tidak ada filternya. Perlahan Mika bangkit dari duduknya dengan Marco yang terus memperhatikannya dari samping. “Iya, gue anak haram. Terus kenapa?” Mika pernah menanyakan pertanyaan serupa, tapi tak pernah mendapat jawaban memuaskan sehingga ia menanyakannya pagi. “Memangnya kenapa kalau gue anak haram?“
“Woy, santai, dong. Nggak usah nyolot.” Frisca menertawai reaksi Mika. “Bokap gue kan dokter—“
“Apa gue kelihatan peduli sama orang tua lo yang suci itu?” potong Mika kesal. Entah apa tujuannya, Frisca banyak memberi informasi tak penting. Alias berisik.
Frisca memutar bola mata malas seolah-olah Mika lah si biang menyebalkan itu. “Astaga, lo beneran nggak bisa diajak ngomong baik-baik. Bokap gue dokter, kemarin dia bilang ada anak dari sekolah gue yang masuk UGD karena ngiris tangannya, Papa bilang namanya Keisha. Satu-satunya Keisha yang gue tahu di sekolah ini ya Keisha yang di kelas kita. Kebetulan lo tetangganya, makanya gue tanya,” jelas Frisca yang sebetulnya butuh tak butuh. Mengapa dunia sempit sekali, mengapa Papa Frisca harus bertugasnya di rumah sakit tempat Icha dirawat? Dan hey, apa boleh dokter menceritakan informasi pasien meski ke keluarga si dokter sendiri?!
“Kalau lo beneran tanya, maka inilah jawaban gue. Enggak, itu nggak benar. Kompleks rumah gue aman-aman aja kemarin.”
Sesaat Frisca tak kunjung merespon tapi hanya diam menatap Mika penuh selidik hingga Mika kesulitan mempertahankan akting yakin dan percaya dirinya. Hingga kemudian sebelah sudut bibir Frisca terangkat membentuk seringai mengerikan. “Berati itu benar,” gumam Frisca justru terlihat jauh lebih percaya diri dan meyakinkan daripada Mika. Frisca lalu tersenyum lebar. “Oke, makasih infonya.”
“H—hey!—“ Mika mengerejapkan cepat ingin menahan tapi bingung , firasat Mika buruk saat Frisca membalikkan badan masih dengan seringaiannya.
Mika tercekat saat tiba-tiba Frisca membalikkan badan lagi, hanya untuk mengarahkan telunjuknya ke arah Mika dan Marco bergantian. “Hmm…, gue lihat-lihat kalian berdua cocok juga. Yang satu begini … yang satunya ….”
“Yang satunya kenapa?” Marco tiba-tiba berdiri menarik Mika ke belakang sedikit sehingga kini Marco lah yang berhadapan langsung dengan Frisca dengan kepala mendongak menantang.
“Ih apaan sih lo ikut-ikutan aja, dasar ….” Frisca memutar bola mata.
“Ya jelas gue ikut lah, lo jelas-jelas tadi nunjuk-nunjuk gue.”
“Dih, GR amat gue nunjuk-nunjuk elo,” elak Frisca nyolot.
Di balik baru Marco, Mika berdecih sinis dalam hati, tak mau memperkeruh suasana. “Giliran dijabanin, nggak berani.”
“Lagian ya, Co. Gue nggak bicara sama lo. Gue bicara sama Mika. Di mata orang, dia udah jelek. Gue kasihan aja, makanya mau ngingetin kalau nama dia akan makin jelek kalau main mulu sama elo. Lo nggak sadar apa? Banyak orang ngomongin lo? Jangan kira kita semua nggak tahu, mentang-mentang sekolah ini punya keluarga lo, lo jadi bebas nabrak aturan. Semua kelakuan lo itu sudah sampai ke komite wali murid, mereka sekarang pagi ngawasin kelakuan elo. Sekali lagi lo berulah, mereka nggak akan tinggal diam. Anak orang lain ditakut-takuti hukuman, eh seenaknya lo mentok-mentok dipanggil ke ruang BK. Itupun di sana nggak ada yang tahu di sana lo ditegur atau malah minim es teh bareng—“
“Aduh, lo kentut ya, Co?” celetuk Mika keras-keras hingga menyela ocehan Frisca. Mika sampai menjepit cuping hidungnya dengan mimik jijik untuk menunjang aktingnya.
“Enggak, gue kira elo yang kenyut,” sambar Marco. Tumben-tumbuhan otak keduanya terhubung di sumbu yang sama.
“Ih, enggak lah. Bukan lo juga, kan, Fris?”
Frisca berdecih sambil tertawa menahan emosi. “Maksud lo apa, hah?!”
Mika mengangguk-angguk berlagak mengerti, lalu menepuk lengan Marco. “Eh bukan bau kentut sih ini, Co. Frisca nggak kentut.”
“Terus bau apa, dong?”
Mika sengaja menatap Frisca saat berkata, “bau mulutnya,” jawab Mika tajam dan bisa jadi Frisca mengartikan sebagai undangan perang. “Sudah, yuk, pergi aja. Nggak kuat gue. Mau muntah,” lanjut Mika, kemudian menarik tangan Marco untuk berlalu dari hadapan Frisca.
Mika jarang berdoa buruk, apalagi tentang orang lain. Tapi untuk orang-orang usil dan bermulut tajam seperti Frisca, hanya satu doa Mika, yaitu suatu hari nanti Tuhan berhenti berbaik hati menutupi aibnya dan semua orang membicarakan itu. Biar tahu rasa!