3. mengancam

654 Words
"Jangan bertingkah di luar nalar, tolong kembalikan kartu atm-ku karena aku butuh sekali dengan itu." "Tidak bisa, Aku akan pergi ke anjungan tunai dan memindahkan semua isinya ke rekening kami, lebih baik kau gunakan uang itu untuk kebutuhan anakku daripada kau terus memberikannya kepada iparmu. Apa kau tidak sadar Mas dalam satu bulan kau bisa menafkahinya lebih dari 7 juta, sementara aku hanya menghabiskan 4 sampai 5 juta, itupun juga masih bersisa!" "Astaga, Kenapa kau malah menjadikan wanita malam itu sebagai sainganmu, aku hanya berusaha bertanggung jawab." Wanita malang katanya, hidupnya dan gaya berpakaiannya yang hedon sama sekali tidak menunjukkan kalau hidupnya Malang, bahkan dia melunjak dan memanfaatkan kebaikan hati kami. "Sudah kubilang, kau hanya bertanggung jawab kepada keponakanmu, bukan kepada wanita itu! Dia bisa mengurus dirinya sendiri dan dia masih punya keluarga!" "Ya ampun, aku kehabisan kata-kata dengan tingkahmu yang aneh!" Jawab Mas Arman sambil mengacak rambutnya sendiri dengan kesal seakan-akan dia frustrasi dengan ucapanku. "Boleh bersikap baik tapi jangan sampai kebaikan membuat orang lain melunjak dan menekan kita. Kau hanya boleh menyantuni dengan hitungan sedekah, bukan menafkahi seakan-akan mereka adalah keluarga utama!" "Ya Allah, Kenapa ucapanmu pedas sekali!" "Atau... Kau boleh memilih antara aku dan anak kita atau kau nikahi saja wanita itu sekalian!" tantangku sambil berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam. "Allahu Akbar, apa kau lupa perjanjian kita sebelum menikah. Aku sudah bilang padamu bahwa kau boleh memiliki harta dan kehidupanku, tapi aku tetap akan membantu saudara-saudaraku. Apa kau lupa?" "Aku tidak melarangmu membantu saudara tapi presentasinya jangan melebihi istri dan anak-anak yang harusnya kau prioritaskan!" "Emangnya kau kekurangan?" "Tidak! Tapi aku harus mengerem pengeluaranmu." "Kenapa?" "Karena itu sudah berlebihan dan wanita yang kau beri itu, seharusnya tidak perlu mendapatkan nafkah dari suami orang!" Suamiku menarik nafas panjang sambil menatapku tanpa berkedip sedikitpun, seakan-akan sulit baginya mengais udara dan ucapanku barusan membuatnya tersengal. * Setelah hening selama 15 menit akhirnya suamiku yang sudah mepet mau berangkat ke kantornya mengalah padaku dan meminta maaf, dia mendekatiku yang duduk di sofa lalu berjongkok di hadapanku. "Iya, aku mengakui kalau aku memang salah, aku minta maaf," ucapnya sambil menyentuh lututku. Aku tidak menjawab hanya mengalihkan pandanganku sambil mendesah panjang. "Aku janji mulai sekarang aku akan mengurangi pemberianku pada mereka dan hanya memberikannya dengan izinmu." "Begitu saja tidak cukup, karena bisa saja kau memberinya di belakangku tanpa sepengetahuanku!" "Aku berjanji bahwa apa yang aku berikan sekarang akan lewat dirimu." "Dan ibunya Gilang tidak akan senang dengan kecanggungan itu." "Aku akan bicara padanya, jika mulai sekarang kaulah yang mengatur segalanya. Dia pasti bisa mengerti, mengingat seperti apa yang kau katakan tadi ... Dia bukan istriku." "Ya harusnya kau sadar, Mas. wanita itu mendiang istri kakakmu, setelah 4 bulan masa iddah Dia bebas menentukan pilihannya dan kita tidak terikat lagi dengannya. Aku bukan tidak berprasaan atau kasihan tapi, ketika kita terus memanjakan ya maka dia tidak akan tumbuh mandiri dan mengurus dirinya sendiri." "Kau benar Hanifa, aku benar-benar minta maaf," ucap lelaki itu sambil meraih kepalaku dan mengecup pucuknya, "Aku benar-benar menyesal," ungkapnya lirih. "Baiklah, lupakan saja." Aku mendesah nafas untuk segera memperpendek percakapan ini. "Kalau begitu tolong kembalikan dompet dan kartuku." "Akan kuberikan uangmu tapi tidak dengan kartunya." "Aku mohon...." "Tidak Mas, kalau aku tidak tegas dalam hubungan kita maka tak lama lagi rumah tangga ini akan hancur, aku tidak mau siapapun ikut campur dan bila kalian sekeluarga tetap bersikeras menafkahi wanita itu .. maka yang harus menafkahinya adalah kamu empat bersaudara, bukan kau sendirian, Mas." "Iya Hanifah, aku setuju." "Lagipula ... Wanita itu terlampau cantik jadi untuk menghindari fitnah dan isu yang tidak sedap diantara kita semua, lebih baik mulai sekarang kau menjaga jarak jika kau masih menghargaiku!" "Tentu, sayang, aku sangat menghargaimu." Dia menggenggam tanganku lalu tak lama kemudian lelaki itu memutuskan untuk berangkat kerja. Entah dia benar-benar menuruti keinginanku ataukah itu hanya sebatas ucapan di bibir saja agar aku tidak marah lagi tapi aku harus memastikan bahwa suamiku tetap berada dalam genggamanku. ,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD