2. sakit hatiku

715 Words
"Apa tidak berlebihan untuk selalu memanjakan Mbak aruni, kau terlalu mengikuti keinginannya, Mas, itu sama sekali tidak elok dilihat," tegurku pada suamiku yang saat itu sedang bermain ponsel. Ia nampak kelelahan dan penat sekali dengan pekerjaannya, seharusnya aku tidak membahas hal itu tapi aku sudah tidak tahan lagi. "Apa kau mendengarku?" "Ya, ya." Dia menjawab tapi tatapan matanya tidak memandang ke arahku. "Ingat Mas, yang harus dinafkahi adalah anak dari kakakmu, Gilang, bukan ibunya! Tanggung jawab nafkah ibunya kembali kepada walinya." "Aku mengerti Itu, jangan kau ulang-ulang lagi aku juga mengerti Hanifah. Aku hanya bertekad menafkahi mereka setidaknya sampai anak itu berusia 12 tahun." Apa? Jantungku bergemuruh mendengar suamiku menyebut kata 12 tahun. Masya Allah, anak itu baru 5 tahun berarti 7 tahun lagi, mereka masih punya kesempatan untuk berbahagia dengan uang suamiku. Sebenarnya aku ikhlas bersedekah, tapi tidak dalam keadaan diperas dan ditekan seperti ini, seakan-akan wanita itu adalah istri suamiku dan berkuasa atas kehidupannya. "Sampai 12 tahun katamu, Mas? baru 2 tahun menafkahi saja kau sudah kehabisan banyak uang, bahkan kita tidak bisa merenovasi rumah atau upgrade kendaraan kita, tabungan terkuras habis dan itu semua karena kau terlalu fokus pada mereka." "Iya, kau benar, Han. Aku benar-benar minta maaf, aku hanya kasihan pada keponakanku yang sudah kehilangan figur ayahnya, aku tidak mau ibunya lalai atas pengasuhan anak tersebut, sehingga dia kurang kasih sayang dan perhatian lalu tumbuh menjadi anak nakal." "Masalah nakal atau tidaknya itu kembali kepada mental dan didikan anak tersebut, Mas. Kau telah memberikan yang terbaik selama ini sampai kau nyaris lalai pada keluargamu sendiri." "Aku tidak lalai." "Sebut saja begitu, tapi sebagai Istri dan anakmu, kami merasa di-anak tirikan." "Hah?" Suamiku terbelalak dengan perkataanku. "Iya, Mas, aku mulai merasa bahwa kau mengesampingkan dan meremehkan kami. Wanita itu minta pakaian dan uang bedak kau langsung mengirimkannya, sementara kau sama sekali tidak memperhatikan apa yang kubutuhkan." "Tapi aku sudah memberimu uang Hanifa, dan kau bisa beli apa yang kau inginkan tanpa harus bertanya dulu padaku." Lihat bagaimana cara dia membela dirinya! "Bukan tentang uangnya, Suamiku! Ini tentang perhatian dan kasih sayangmu. Bila kau bersikap baik pada wanita itu dan menawarkan apa kebutuhannya maka tentunya kau bisa lakukan lebih baik dari itu kepadaku istrimu," balasku. "Aku tak mengerti, kenapa kau seakan cari perhatian dan seolah-olah iri dengan wanita yang sudah janda itu! Kau tidak lihat bahwa jelas kau lebih beruntung darinya. " "Oleh karena dia jandalah, aku harus berhati-hati Mas. Apa kau ingat kalau ipar adalah maut!" "Aku tidak akan mati karena dia! Apa kau sama sekali tidak paham!" Suamiku memutar bola mata dan mulai kasar. "Astaga capek bicara denganmu Mas, kau tidak paham maksudku! Aku mengerti kau menyantuni mereka tapi kau harus ingat adab, wanita itu bukan mahram jadi kau harus menjaga jarak!" "Astaghfirullah, kaulah yang tidak paham Hanifah! Aku hanya membantu keponakanku agar hidup dengan baik dan tidak kekurangan peran orang tuanya! Jika dia sudah cukup besar, maka aku bisa mengurangi intensitas perhatianku pada mereka. Jangan memintaku untuk berhenti peduli dan menyayangi keponakanku, dia darah daging keluarga kami!" "Kalau begitu bawa anak itu ke sini, biar kita yang mengurus dan menyayanginya sementara Ibunya bisa bekerja dan menentukan pilihan hidupnya sendiri!" "Tidak, aku tidak setuju. Sebaik-baiknya pertumbuhan anak adalah dengan orang tuanya Mengapa kau ingin memisahkan keponakanku dengan ibunya!" "Astaga, Mas...." Demi Tuhan aku kehilangan kata-kata, bibirku kelu serta tenggorokanku tercekat seketika, aku merasa tertekan dan panas hati dengan cara paling jengkel sedunia, sedang aku tidak bisa melampiaskannya, sehingga aku hanya menjatuhkan diri di tempat tidur sambil menahan air mata. Aku belakangnya dirinya yang masih duduk di kursi dan bermain game. Kesal, geram dan sakit hati luar biasa. ** Keesokan harinya. "Mana dompetku?" Aku yang masih sakit hati enggan menjawab pertanyaannya, malah aku sama sekali tidak menyapa atau menegurnya. Kulakukan rutinitas pagi tanpa memandangnya sedikitpun. "Apa kau dengar, mana dompetku?" "Di meja rias." Lelaki itu menghela nafas melihat kekesalanku. "Loh mana kartu ATMku, mana uang yang di dompet ini?" "Sudah kusimpan semuanya, hanya kulisahkan uang bensin dan makan untukmu!" "Apa maksudmu?" "Jika kau tidak bisa mengendalikan pengeluaranmu! Maka aku akan ya lakukan itu untukmu. Lagipula, aku juga ingin perubahan dalam kehidupan kita, jadi akan kutabung uangnya dan kumanfaatkan sebaik mungkin!" "Jadi ini kau lakukan karena pembahasanmu yang semalam?" "Ya, karena aku tidak mau kau lebih fokus pada kakak iparmu dibandingkan istrimu sendiri!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD