Kupikir semudah itu menegur suamiku, semudah itu membentang jarak agar dia bisa menjaga diri dan tidak terlalu dekat dengan mantan iparnya yang sudah jelas bukan mahram. Aku berusaha agar mereka tidak terlalu intens bertemu atau berkomunikasi tapi sepertinya, untuk membuatnya menjadi kenyataan itu agak sulit.
Wanita itu saling menelpon suamiku, dan akulah yang mengangkatnya. Aku tanyakan apa tujuannya dan dia selalu punya alasan masuk akal agar Mas Arman membantunya, juga menuruti semua keinginannya.
"Mba Hani, Aku boleh minta izin buat diantar Mas Arman untuk membawa Gilang berlomba ke tingkat kecamatan. Kau tahu anakku cukup berbakat dalam hal melukis jadi aku ingin mendukung dan mengembangkan prestasinya. Apa boleh?"
"Saya bukannya tidak izinkan Mbak tapi minggu-minggu ini suami saya sibuk sekali, jika tidak begitu urgent saya sarankan untuk menyewa mobil saja atau sopir pribadi."
"Saya tidak berani pergi dengan orang yang tidak saya kenali, satu-satunya ipar yang baik dan dekat dengan kami hanya Arman. Tapi jika Mbak Hani tidak setuju maka saya tidak bisa berbuat banyak, artinya saya batalkan saja rencana untuk perlombaan di tingkat kecamatan tersebut."
Nah, kan, dia punya cara untuk meracuni dan membuat keadaan menjadi terpaksa agar semua orang menolongnya.
"Gini lho mba, Mas Armada rencana di akhir pekan ini dengan beberapa teman kantornya dan juga kami ada acara keluarga...."
Klik!
Belum selesai perkataanku tapi Wanita itu sudah mematikan ponselnya, dia tidak menghargaiku dan mematikannya begitu saja tanpa berpamitan atau mengucapkan terima kasih.
Dasar tidak tahu diri.
Kupikir semuanya sudah beres tapi ternyata tiba-tiba ibu mertua menelponku, beliau mengungkapkan kekecewaan dan kekesalannya atas apa yang kukatakan kepada aruni.
"Dek, kau tahu kan kalau si Mbak sudah nggak punya suami lagi, apa adik memang sudah tidak membolehkan Arman mengantarkan kakak iparmu?"
Nah mulai lagi, aruni pasti sudah memberitahu ibu mertua dan meminta beliau untuk berbicara dengan kami atas nama dirinya. Benar benar kurang ajar dan aku rasanya ingin menjambak wanita itu.
"Bu, bukan begitu, suami saya ada kesibukan. Lagi pula Kami menyarankan agar beliau menyewa mobil sekaligus dengan sopirnya kami tidak masalah membayarnya."
"Bukan uang yang diperlukan Dek tapi peran keluarga."
"Kalau begitu mbak aruni bisa diantarkan oleh Mas Bayu atau Mas Hendra, bukankah Mas Arman punya dua kakak yang lainnya?"
"Iya, benar, tapi mereka pasti sibuk dengan perjalanan bisnis dan keluarganya masing-masing!"
Bila ibu mertua juga memikirkan tentang maslahat anaknya yang lain, juga tentang kesibukan dan bisnis mereka lalu bagaimana dengan kami? Apa kami sama sekali tidak punya rutinitas keluarga dan kesempatan untuk me time sendirian? Oh ini konyol sekali.
"Keluarga kami juga sibuk Bu, satu kali kami juga butuh istirahat dan jeda, suamiku sudah memberikan pelayanan terbaik, jadi izinkan kami untuk istirahat dan mengalihkan sedikit tanggung jawab ini pada saudara-saudara lainnya!"
"Hani, harusnya kamu paham dong, kalau yang ekonominya membaik hanya kalian saja?!"
"Tapi kami juga punya kebutuhan keluarga Bu, malah Saya ingin merenovasi bagian atap depan rumah yang sudah bocor tapi selalu gagal karena sebagian besar gaji suamiku diberikannya untuk Mbak aruni. Bahkan suamiku memberikan dia perhiasan dan pakaian yang mahal tanpa mempertimbangkan kebutuhan kami menurutku itu sudah terlalu baik dan agak berlebihan!"
"Tidak ada yang namanya berlebihan jika itu menyangkut saudara dan kerabat!" Kali ini nada ibu mertua cukup tinggi membuatku malas mendengar ocehannya.
"Lalu Siapa yang lebih dipentingkan Bu, anak dan istri, ataukah wanita yang sudah habis masa iddahnya dari kakak ipar kami. Mas Hilman sudah meninggal 5 bulan yang lalu jadi saya rasa wanita itu sudah terbebas dari ikatan dan boleh mulai bekerja atau membangun kembali pertemanannya!"
"Ini konyol Dek, Kenapa adek menyarankan Kakak iparmu untuk bersuami lagi? ketika dia menikah dan suaminya tidak baik kepada Gilang, gimana nasib cucu ibu!"
Wanita itu memang mengatakan kata-kata dengan kalimat yang lembut tapi bobot dari perkataannya sangat menyakitkan hatiku, Dia seolah berat sebelah dan selalu mendukung Mbak aruni tanpa memikirkan perasaanku.
"Begini saja, jika Ibu luang waktunya, biar Ibu saja yang temani Mbak aruni pergi ke kecamatan untuk mengantar Gilang berlomba."
"Ibu ada pertemuan kontrol dengan dokter Hari Minggu nanti. Kau saja!"
"Nggak bisa Bu, aku ada acara keluarga di rumah ibuku!"
"Giliran keluarga ibumu kau pentingkan 'kan!"
"Bukan begitu..."
"Pokoknya Dek, biarkan Arman mengantarkan aruni."
Ya Allah, aku kehabisan kata-kata. Sejak awal aku sudah memperingatkan suamiku agar tidak terlalu mengambil semua tanggung jawab dan memanjakan aruni hingga akhirnya dia menginjak dan membuat keadaan menjadi sempit untuk kami. Aah.