Caddy Golf

1131 Words
Pagi hari Adrian bangun dengan wajah sumringah nan bersemangat. Dia segera turun di meja makan untuk menikmati sarapan bersama keluarga dan tentu saja bertemu- Sheila. "Pagi Ma," ucap Adrian dan langsung mencium pipi Selma yang sibuk menata makanan di meja. "Pagi sayang." "Pagi Pa," sapa Adrian ke Abimanyu yang sedang asyik membaca koran. "Pagi." Adrian kemudian menoleh ke belakang dan mencari seseorang. Seharusnya ada empat orang yang akan sarapan di meja makan saat ini. "Sheila mana Ma?" Adrian tak bisa lagi menahan rasa penasarannya. "Oh dia sudah balik tadi. Pagi-pagi sekali. Pukul enam pagi mungkin," jawab Selma. Untung saja Selma dan Abimanyu serius dengan urusan mereka masing-masing, jika tidak, mereka bisa melihat perubahan wajah Adrian yang seketika sendu dan murung. "Kok baliknya cepet," ucap Adrian dan duduk dengan malas-malasan. "Katanya ada urusan mendadak pagi ini. Tapi Sheila janji, Minggu depan dia akan nginap dua malam di sini," jelaskan Selma lagi. "Oh iya," Adrian tidak lagi bertanya. Sarapan telah tersaji di meja makan. Ketiganya kini makan sembari berbincang hangat. Adrian lebih banyak berbicara mengenai perkembangan perusahaan dengan Abimanyu. "Ma, selesai mandi. Adrian langsung balik ke apartemen ya," ijin Adrian. "Gak nginep lagi?" "Gak Ma. Adrian punya janjian dengan temen-temen Ma. Main golf." "Oh iya. Minggu depan kamu nginep lagi ya?" "Diusahain ya Ma." Semalam temannya menghubungi Adrian mengajaknya bermain golf bersama, Adrian menolaknya karena ingin berlama-lama di rumah. Sayangnya orang yang membuatnya betah di rumah sudah pergi. Jadi buat apa Adrian berlama-lama di sana. Adrian melewati toko roti dan memperlambat laju kendaraannya. Dia mencari sosok wanita yang dikenalnya. Sayang sekali, pagi itu Sheila tidak lagi bekerja di sana. Adrian berpikir keras di mana lagi Sheila bekerja saat ini. Sesampainya di apartemen, segera Adrian mengambil peralatan golf-nya dan berganti baju. "Bro, ketemu di lapangan golf ya." "Oke bro. Gue tungguin." "Iya." Adrian turun dari apartemennya sembari memakai kaca mata hitam. Baju kaos berwarna biru dengan celana panjang putih serta sepatu olah raga, melengkapi penampilannya pagi itu. Perjalanan kurang lebih sejam dilewati Adrian untuk sampai di lapangan golf, tempat teman-temannya berkumpul. Satu sisi temannya memang menyukai mabuk-mabukan tetapi mereka juga kerapkali membuat kegiatan positif, seperti saat bermain golf bersama. Oleh karena itu Adrian menyukai berkumpul bersama mereka. "Halo Bro," Adrian bersalaman komando dengan teman-temannya yang sudah lebih dulu tiba. "Kita tanding sekarang?" ajak teman Adrian yang berwajah oriental. "Boleh." Adrian kemudian turun ke lapangan golf dengan menaiki mobil khusus untuk menjelajahi lapangan golf yang luas yang disebut golf cart. Saat menapakkan kaki di lapangan hijau, Adrian dan temannya berlomba untuk memasukkan bola golf ke dalam hole. Tengah asyik bermain, Adrian melihat seorang pria tua ditemani oleh seorang Caddy golf wanita. Sheila, wanita itu lagi, kini dalam profesi berbeda. Sheila terlihat berbincang-bincang dengan pria yang bersamanya. Sesekali tertawa bersama. Rahang Adrian mengeras menahan geram. "Adrian, giliran lo," ucap teman Adrian yang menunggu Adrian memukul. "Oh oke." Adrian yang sudah kehilangan fokus dan lebih memilih mengamati gerak-gerik Sheila dari kejauhan, menjatuhkan bolanya sangat jauh dari hole-nya. Padahal dengan sekali pukulan, Adrian sudah bisa menang lebih dulu. "Kayaknya gue menang hari ini bro," ucap teman Adrian yang berhasil memenangkan taruhan. "Gak masalah. Lain kali gue pasti menang," balas Adrian. Sheila dan pria tua itu telah meninggalkan lapangan golf dulu setelah membuat konsentrasi Adrian buyar. "Kita balik ke club house ya, gue capek," usul Adrian. "Oke." "Wuih bro, jadi siapa yang menang hari ini?" tanya teman Adrian yang lebih memilih duduk bersantai di club house. "Gue dong. Adrian kali ini kalah, jawab teman Adrian jumawa. Adrian hanya tersenyum sekilas dan menyeka peluh di wajah dan sekitar lehernya. "Gue ke kamar kecil dulu ya," pamit Adrian. Adrian yang telah selesai menuntaskan hajatnya. Kemudian menjelajahi club house dan mencari Sheila di ruang khusus Caddy. "Ada apa ya pak?" tanya seorang Caddy yang baru keluar dari ruang ganti. "Oh gak," Adrian mengelus tengkuknya salah tingkah. Dia bisa saja dianggap penguntit. "Oh." "Eh mba, mau tanya dong. Mba lihat Caddy dengan tinggi segini dan rambut kecoklatan," Adrian menjelaskan ciri-ciri Sheila. "Ehm-" "Dia sepertinya baru masuk." "Gak tahu pak. Maaf." "Oh ya makasih." Adrian yang gagal mencari keberadaan Sheila kembali bergabung dengan teman-temannya. Dia yang sibuk mencari Sheila, ternyata wanita itu sudah duduk di sebuah meja dan masih setia mendampingi pria tua dengan perut yang membuncit. Adrian semakin marah karena pria tua itu mengelus-elus paha Sheila dan wanita itu hanya diam saja bahkan tersenyum. Emosi Adrian semakin membuncah melihatnya. Adrian tidak lagi fokus mendengarkan perbincangan teman-temannya. Dia hanya menatap tajam Sheila dari kejauhan. Wanita itu akhirnya bertemu pandang dengan Adrian, sedikit terkejut kemudian bersikap biasa. Kenapa Adrian membenci diperlakukan seperti itu. Pria tua nan buncit akhirnya bangkit dari duduknya. Dia tidak lupa mencium pipi kiri dan kanan Sheila, kemudian memberikan amplop tebal. Sepertinya tip untuk Sheila yang telah menemaninya bermain golf. Sheila memberikan lambaian tangan kemudian berjalan menuju ruang ganti. Adrian segera berlari menyusul Sheila. "Woy Adrian mau ke mana lo!" teriak salah satu teman Adrian tetapi dihiraukannya. "Kenapa kamu harus bekerja seperti ini. Apa kamu lupa tawaranku semalam?" cegat Adrian sebelum Sheila masuk ke ruang ganti. "Aku tipe orang yang gampang jenuh dan lebih suka berganti-ganti pekerjaan," jawab santai Sheila. "Apa kamu gak risih diperlakukan seperti itu oleh pria m***m yang lebih pantas jadi ayahmu," cecar Adrian lagi dan mencekal tangan Sheila. "Itu risiko pekerjaan." "Sheila! Kenapa kamu keras kepala seperti ini!" bentak Adrian. "Sori Adrian tapi kamu gak punya hak untuk mengatur-atur hidupku. Jangan bilang kamu menyukaiku!" balas Sheila menohok. "Kalau itu benar, bagaimana?" balas Adrian. Sheila cukup terkejut kemudian segera menenangkan diri. "Aku gak tahu kenapa kita harus selalu bertemu. Aku juga terkejut dan merasa heran. Seolah ke mana aku melangkah kamu terus membayangiku," lanjut Sheila lagi. "Aku juga merasakan yang sama," gumam Adrian membuat Sheila menghela napas. "Kalau gitu aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mengganggu hidupmu karena terus muncul di hadapanmu. Soal perasaanmu, maaf aku gak bisa membalasnya. Kamu tahu kita gak akan bisa bersama." "Bisa gak kamu berhenti bekerja seperti itu?" tanya Adrian dengan nada lebih lembut. "Sori enggak." Sheila tak lagi memedulikan Adrian dan segera masuk ke dalam ruang ganti. Selepas kepergian Sheila, Adrian memukul tembok untuk melampiaskan kekesalannya. Dia kemudian mengusap wajahnya kasar. Dia sempat keceplosan mengatakan isi hatinya yang sebenarnya kepada Sheila. Jika itu refleks, berarti alam bawah sadar Adrian memang mengakui bahwa Sheila mempunyai tempat spesial di hatinya.. Adrian bimbang saat ini, apakah dia harus mengubur perasaannya ataukah tetap memperjuangkannya. Sekeras apapun dia menghapus bayangan Sheila tetapi wanita itu tetap saja berada di hatinya. Adrian merasa bahwa dia dan Sheila layaknya magnet yang saling menarik satu sama lain. Jika dipikir-pikir, apa salahnya dengan hubungan mereka. Mereka bukan saudara kandung. Hanya kedua orang tua mereka yang terlibat pernikahan. Adrian hanya butuh pengakuan Sheila bahwa dia juga mempunyai perasaan yang sama, maka Adrian akan berjuang untuk mendapatkan restu kepada kedua orangtuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD