Mendapatkan ancaman serius dari sang majikan, Pak Jono tidak bisa berkutik. Kendati hati iba melihat majikan perempuannya. Namun, kebutuhan akan anak-anaknya membuat Pak Jono terpaksa menutup mata dan telinga.
"Masuk kamu, Pak!" titah Panji dingin.
"Ya, Pak." Pak Jono mengangguk patuh. Dengan perasaan tidak enak, lelaki itu berlalu meninggalkan kedua majikannya.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Panji sambil berkacak pinggang.
"Aku mau lihat keadaan Ziel." Layla membalas dengan tenang, "aku dengar dia lagi sakit."
"Kata siapa?" cecar Panji sambil menajamkan penglihatan.
Sayang Layla tidak gentar karenanya. Wanita itu justru balas menatap pria yang masih sah sebagai suaminya dengan tenang. Sementara di belakang, Seli bersiap memberikan dukungan.
"Bik Ijah dan Ita yang bilang."
"Terus kalo Ziel sakit, kamu mau apa?" tantang Panji kali ini merubah gaya. Tangannya ia silangkan di d**a.
"Kamu gak denger? Aku ke sini mau nengok keadaan Ziel," tegas Layla lantang.
"Ha ... ha ... ha!" Panji tergelak. "Yang milih hengkang dari rumah ini siapa?"
"Aku pergi karena kamu yang usir."
"Aku gak usir kamu." Panji mengelak cepat, "aku cuma kasih pilihan. Bertahan dengan menerima Hani, atau pergi tanpa anak-anak. Dan kamu pilih opsi kedua kan?"
"Opsi yang kamu tawarkan itu gak adil, Nji." Tiba-tiba Seli bersuara.
Mata Panji refleks menatap wanita berisi itu dengan sengit. "Kamu siapa? Kamu gak ada urusannya di sini. Sana pergi! Gak usah turut campur segala!" usirnya tegas.
"Aku memang bukan bagian dari keluarga ini, tapi sebagai kawan aku berhak membela Layla," tegas Seli langsung merangkul pundak Layla.
Bibir Panji berdecih sinis menanggapi ujaran Seli. Kini dia menghadap istrinya kembali. Mereka masih terhalang pagar besi.
"Kamu sudah memilih jalanmu," tutur Panji dingin. "Dan sudah pernah aku bilang, sekali kamu meninggalkan rumah tanpa seizin aku, maka pintu rumah ini akan tertutup selamanya buat kamu."
"Aku juga gak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini kalo bukan untuk menjumpai anak-anak," balas Layla mulai bergetar suaranya. "Aku ibunya. Wanita yang melahirkan mereka. Jadi aku berhak menemui mereka," tuturnya sembari menitikan air mata.
"Jangan pernah mengaku ibu kalo sampai tega meninggalkan mereka!"
"Gak usah putar balikkan fakta! Aku pergi tanpa anak-anak itu karena kamu yang ngelarang," sergah Layla mulai tersulut emosi.
"Nji, biarkan Layla masuk dulu! Kalian bicara di dalam kan enak," usul Seli bergerak maju.
Mendengar saran Seli, Panji langsung menatap sengit teman istrinya itu. "Kamu gak ada hubungannya dengan kami. Silahkan pergi dari sini!" Tangan Panji teracung tinggi saat mengusir Seli.
"Bundaaa!" Kenzi menghambur dari dalam.
Panji yang melihat anaknya keluar dari rumah langsung bergerak menangkap anak itu.
"Kenzi masuk ke dalam, ya," suruh Panji pada sulungnya yang saat itu berumur sembilan tahun.
"Aku pengen ketemu bunda, Yah," pinta Kenzi kecil melepas kungkungan tangan sang Ayah dari lengannya.
"Kenzi, ini bunda, Nak!" Layla berseru rindu.
"Bunda, adek Ziel sakit," lapor bocah itu memberitahu, "Ziel tiap malam nangis nyariin bunda."
Air mata Layla tidak terbendung lagi mendengar perkataan anaknya.
"Mas Panji, tolong bukain gerbangnya! Aku mau ketemu Ziel!" teriak Layla seraya mengguncang pagar.
Panji berpaling pada Layla kembali. "Kamu boleh pulang asal mau menerima Hani jadi adik madu kamu."
"Itu gak mungkin!"
"Kalo begitu nikmati kesendirian kamu." Lagi-lagi Panji mengancam. Pria itu membopong tubuh sang putra. Kakinya menderap pergi.
"Yah, turunkan aku!" Kenzi berontak, "aku mau ketemu bunda!" mohonnya terus meronta. Kakinya ia gunakan untuk menendang badan sang ayah.
Namun, Panji tidak terpengaruh. Pria itu terus saja berjalan.
"Mas Panji, ijinkan aku masuk sebentar!" teriak Layla penuh permohonan.
"Panjiii!" Seli pun ikut berteriak.
Panji tidak menggubris. Dia sudah tiba di pintu. Dirinya segera masuk. Sementara Hani yang ternyata sedari tadi mendengarkan pertikaian itu gegas mengunci pintu rapat-rapat.
Tangan Panji sekuat tenaga mengungkung Kenzi agar tidak terus berontak. Dia membawa anaknya ke kamar. Di belakang Hani mengikuti.
Di luar Layla terus saja berteriak. Tangannya mengguncang pagar tersebut berkali-kali. Tidak mendapat respon, tubuhnya luruh ke tanah.
Seli yang melihat dengan sigap langsung menolong. "Sabar, La. Kita pulang aja yuk!" ajaknya lembut.
"Aku hanya ingin ketemu anak-anak, Sel," ratap Layla dengan air mata yang berlinang.
"Kita pasang strategi di rumah aja!" Seli terus membujuk.
Layla bergeming. Tiba-tiba dia menghapus air matanya. Wanita itu bangkit. Tanpa disangka, Layla memanjat pagar rumah tersebut.
"La, jangan gegabah begini!" Seli berusaha mengingatkan.
"Aku harus ketemu dengan Ziel," tekad Layla tidak bisa dicegah.
Wanita itu mengangkat sedikit celana kulotnya yang sedikit longgar. Rasa rindu yang mendalam terhadap anak-anak membuatnya membulatkan tekad.
Badan yang ramping memudahkan Layla saat memanjat. Dia sempat terjatuh saat bergerak turun. Sedikit terpincang, Layla mengayun kaki menuju pintu.
"Kenzi, ini bunda, Nak!" teriak Layla sembari menggedor pintu. "Mas Panji, tolong buka sebentar saja. Aku cuma mau lihat kondisi Ziel," mohonnya memelas.
Sayangnya usaha Layla tidak mendapatkan hasil. Tidak ada tanda-tanda akan dibukakan pintu. Hingga suaranya serak pun pintu tetap tertutup rapat.
Sebenarnya di dalam Ijah dan Jono iba mendengar teriakan permohonan Layla. Namun, keduanya tidak punya daya. Mereka terpaksa berlagak tidak tahu menahu dalam diam.
Sementara itu, usai memasukan Kenzi pada kamarnya, Panji langsung mengambil ponselnya. Pria itu menghubungi nomor satpam kompleks. Tanpa ragu lagi dia menyuruh petugas keamanan untuk mengamankan Layla.
Di luar Layla menarik napas lega. Pintu jati yang menjulang tinggi itu perlahan terbuka. Wajah Panji terlihat kembali.
"Mas ...."
Panji acuh tak acuh. Lelaki itu bergerak menjauhi Layla. Ternyata dia menuju pintu gerbang. Dirinya membukakan pagar tersebut tepat satpam kompleks tiba.
"Bawa pergi wanita itu!" titah Panji sambil menunjuk Layla.
Kedua pria berseragam itu langsung beringsut mendekati Layla.
"Ibu Layla, tolong jangan buat keributan di sini!" tegur salah seorang satpam. Pria berbadan gempal itu langsung memegangi lengan Layla.
"Pak, saya tidak berbuat keributan. Saya hanya ingin bertemu dengan anak-anak," sanggah Layla seraya menepis tangan sekuriti.
"Tapi, pemilik rumah ini tidak mengizinkan Ibu masuk." Satpam yang lain menimpali.
"Saya juga pemilik rumah ini," tegas Layla berani.
"Wanita itu sudah bukan lagi pemilik rumah ini semenjak tiga hari terakhir," sergah Panji jumawa, "jadi tolong usir dia jika kedapatan datang ke sini!" titahnya sambil menyeringai.
"Ayok, Bu Layla." Kedua satpam itu menggeret lengan Layla untuk pergi.
"Saya berhak mengunjungi anak-anak saya." Layla berusaha menahan diri.
Namun, kekuatan dua orang pria dewasa tentu tidak sebanding dengan tubuhnya yang ramping. Layla diseret hingga ke luar pintu gerbang.
*
"Ishhh ... keterlaluan sekali Panji itu," geram Banyu mendengar penuturan Seli. "Benar-benar seorang pria yang zolim."
Seli menghembus napas panjang. "Penderitaan Layla tidak sampai di situ. Masih ada lagi fitnah-fitnah keji yang ia dapatkan."
Next