"Poligami?" Banyu menyela cerita Seli saking terkejutnya.
Seli mengangguk. "Iya, jadi si Panji menawarkan pilihan itu ke Layla, tapi sama Layla ditolak mentah-mentah," terangnya tenang, "dulu itu sebenarnya Panji gak mau nyeraiin Layla lho."
"Oh ya? Kok bisa?" kejar Banyu kian penasaran.
"Namanya orang serakah." Seli menjeda penuturannya untuk mengambil napas, "jadi mentang-mentang lagi banyak duit ketemu janda langsung ngiler."
Banyu tersenyum tipis mendengar seloroh kakak iparnya. "Mbak kita mampir di depan yuk! Aku agak laper nih," ajaknya sembari menunjuk gerai bakmi.
"Ayolah!" Seli setuju.
Mobil Banyu pun berhenti di depan gerai bakmi. Keduanya masuk ke tempat tersebut. Kebetulan suasana sedang tidak begitu sepi. Mereka sengaja memilih tempat duduk di dekat jendela.
Banyu lantas berlalu untuk memesan makanan. Lima menit kemudian dia kembali lagi ke meja. Keduanya berbincang lagi.
Sekitar sepuluh menit orderan keduanya datang. Banyu memesan dua porsi mie ayam bakso, dua botol teh, dan satu porsi pangsit. Keduanya menikmati penganan masing-masing dengan nikmat.
"Terus gimana Layla bisa lepas dari Panji, kalo Panji gak mau nyeraiin dia?" Banyu mulai membahas Layla lagi.
"Butuh dua tahun perjuangan bagi Layla untuk bisa bebas, Nyu," tutur Seli usai menyedot teh botolnya.
Angan Seli melayang lagi.
*
Sudah tiga hari Layla menginap di rumah Seli. Dia sangat merindukan anak-anaknya. Namun, dirinya tidak punya kekuatan.
Layla diusir dari rumah tanpa boleh membawa uang, ponsel, dan barang lainnya. Baju pun hanya yang melekat di badan.
"Seli." Layla menyambut kepulangan Seli. Kawanannya itu habis menjemput sang putri. "Gimana kabar Kenzi, Sel?" tanya Layla antusias.
Tiga hari tidak bisa bertemu dengan buah hatinya, Layla dilanda rindu yang mendalam. Bahkan sekedar untuk menelepon pun tidak bisa karena ponselnya disita Panji. Sementara jika Seli yang menghubungi, Panji juga tidak mengizinkan.
Seli menggeleng lesu. "Kenzi masih belum berangkat sekolah juga," jawabnya iba.
"Ya Allah ... sebenarnya apa yang terjadi?" Layla mulai bersedih kembali. Hari-hari Layla hanya dipenuhi tangis. "Kayaknya aku gak bisa berdiam diri terus, Sel. Aku harus pulang buat temuin anak-anak," tekadnya bulat.
"Kamu yakin, La?" tanya Seli serius.
"Apapun yang terjadi aku harus bawa anak-anak pergi dari rumah itu, Sel." Layla menatap Seli dengan yakin, "aku gak mau anak-anak diasuh oleh wanita jalang itu," imbuhnya terdengar geram.
Bagaimana Layla tidak geram pada Hani. Dia tidak menyangka jika pegawai suaminya yang ia kasihi justru menikamnya dari belakang.
Layla menghormati Hani sebagai teman lama Panji. Apalagi saat mendengar kesusahan hidup janda satu anak itu, hati Layla tergugah ingin selalu menolong Hani dan anaknya. Ternyata kebaikannya justru dimanfaatkan oleh Hani dan Panji.
"Ayo, Sel, antar aku pulang!" pinta Layla serius, "dari kemarin hati aku gak enak terus. Aku takut Ziel kenapa-napa. Soalnya waktu aku diusir, anak itu nangis kejer," jelasnya terlihat cemas.
"Baiklah." Seli yang prihatin dengan kondisi Layla mengiyakan.
Wanita itu menitipkan sang putri pada asisten rumah tangganya. Selanjutnya dia dan Layla gegas menuju mobil. Dalam mobil Seli terus mewanti-wanti Layla. Agar sang kawan itu tetap bersikap sabar dan tenang.
Satu jam perjalanan, mobil Seli sudah tiba di depan rumah Panji. Seli membuka kaca mobil. Layla langsung memperhatikan rumah yang sudah delapan tahun ia tempati.
"Kayaknya sepi, La," ujar Seli sambil menatap pagar setinggi dua meter itu.
"Coba aku lihat dulu," putus Layla sembari membuka pintu. Sebagai teman, Seli ikut turun.
Wanita bertubuh ramping itu mendekati pagar besi. Dari celah-celah besi, Layla menatap rumahnya. Sepi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Ketika lelah berdiri, tiba-tiba Layla melihat pembantunya.
Seli yang menyusul setia berdiri di samping Layla.
"Bik Ijaaah!" Layla memanggil perempuan paruh baya yang tengah menenteng plastik besar berwarna hitam.
Merasa dipanggil, wanita bernama Ijah itu bergegas menemui majikan perempuannya.
"Bu Layla?" sapa Ijah cukup kaget, tetapi senang juga. Tangannya masih memegangi plastik bekas sampah.
"Seli bilang sudah dua hari Kenzi gak masuk sekolah, itu kenapa, Bik?" cecar Layla penasaran.
Wajah Ijah mendadak suram. "Dek Ziel, Bu."
"Kenapa dengan Ziel?" kejar Layla cepat.
"Dek Ziel sakit dari Ibu pergi," lapor Bik Ijah sendu.
"Terus sekarang?" Layla yang cemas langsung mengguncang lengan Ijah.
"Kemarin dibawa Bapak dan Bu Hani ke dokter. Dek Ziel diopaname, Bu."
"Innalilahi." Layla membekap mulutnya saking kagetnya. Sementara Seli hanya bisa mengelus pundak sang teman untuk memberi kekuatan. "Bik Ijah tahu Ziel dibawa ke rumah sakit mana?"
"Aduh ... kalo itu Bibik kurang tahu, Bu," sesal Ijah merasa bersalah, "tahu sendiri Bapak jadi gak ramah semenjak kenal Ibu Hani," kilahnya jujur, "Bu Hani apalagi ... saya gak berani tanya duluan sama dia."
Layla menghembus napas risau.
"Sabar, La." Seli merangkul Layla yang tengah kalut, "gini aja ... sebaiknya kita ke Bakery kamu. Nanti kamu tanya asistenmu di mana Ziel dirawat, siapa tahu Hani cerita sama dia. Kan sekarang Hani yang handle toko kamu kan?"
Layla menatap Seli dengan takjub. "Kenapa aku gak kepikiran itu?"
"Yodah Ayuk kita berangkat!"
Layla setuju. Dia dan Seli kembali ke mobil usai pamit pada Ijah. Begitu memasang sabuk pengaman, tangan Seli dengan lincah langsung menyetir mobilnya.
Wanita itu mengarahkan kendaraan menuju toko rotinya Layla. Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit mereka sudah tiba di tujuan. Saat itu bakery tersebut masih ramai. Karena karyawannya belum pada mengundurkan diri.
Layla dan Seli langsung turun dari mobil begitu mesin dimatikan. Keduanya tergesa masuk ke toko berwarna peach orange tersebut.
"Bu Layla?" sapa seorang pegawai begitu melihat kedatangan Layla.
"Ita mana?" tanya Layla menyebut orang kepercayaannya.
"Sebentar saya panggilkan."
Gadis berseragam itu beranjak. Hanya sekitar lima menit dia kembali bersama orang yang dimaksud Layla.
"Ibu tiga hari ini ke mana saja?" tanya gadis yang bernama Ita dengan antusias, "aku sebel banget sama asisten Pak Panji deh, Bu. Tiba-tiba Bu Hani yang ngatur semua," lapornya menggebu-gebu.
Layla menggigit bibirnya guna meringankan rasa sakit yang menusuk hati. Belum apa-apa, Hani sudah seenaknya menguasai toko ini. Usaha yang dirintis Layla dari nol.
"Sekarang Hani di mana?" tanya Layla berusaha tenang.
"Eum ... itu ... lagi jenguk Dek Ziel yang sakit, Bu."
"Kamu tahu di rumah sakit mana Ziel dirawat?"
Ita memincing bingung.
"Aku tiga hari ini menginap di rumah Bu Seli," tutur Layla menjawab kebingungan pada wajah Ita, "makanya aku gak tahu Ziel dirawat di mana?"
"Katanya si di rumah sakit Puri Indah, Bu."
"Kamarnya?"
"Wahhh kalo itu kurang begitu paham," ujar Ita jujur.
Bahu Layla turun mendengarnya.
"Udah kamu gak usah bingung." Seli kembali menenangkan Layla, "kita ke sana saja. Nanti gampang tinggal tanya sama petugas di mana letak kamar Ziel."
"Kenapa aku gak bisa berpikir sejernih kamu ya, Sel?" sesal Layla sedih.
"Karna kamu lagi kalut. Udah sekarang kita pergi, yuk!" ajak Seli lembut.
Seli dan Layla berpamitan pada Ita. Keduanya masuk mobil kembali. Sesuai permintaan Layla, Seli mempercepat laju kendaraannya. Sehingga mereka tiba sepuluh menit lebih awal dari waktu biasa.
Seli menggandeng tangan Layla memasuki lobi rumah sakit. Keduanya berjalan menuju bagian informasi. Pada petugas yang berjaga, Layla menanyakan letak kamar Azriel.
"Nama lengkap pasien siapa, Bu?" tanya petugas berseragam suster itu.
"Azriel Pradipta." Layla menjawab cepat.
"Sebentar saya cari." Perawat muda itu langsung menggerakkan tetikusnya. Sementara matanya fokus menatap layar laptop. "Azriel Pradipta dirawat di ruangan Mawar. Tapi, satu jam yang lalu baru saja chek out."
Layla dan Seli saling berpandangan.
"Terima kasih banyak. Kalo begitu kami permisi," ucap Layla sopan.
Dia dan Seli kembali menuju mobilnya.
"Andai kita nunggu di rumah, pasti sudah ketemu Ziel," sesal Layla di dalam mobil.
"Udah gak usah disesali." Seli mengelus pundak sahabatnya, "sekarang gimana? Kita balik lagi ke rumah kamu?"
Layla mengangguk.
Seli dengan senang hati memutar balikkan kendaraannya. Mereka kembali menuju rumah Layla. Tepat saat mereka tiba, mobil Panji juga baru saja memasuki pintu gerbang.
Layla yang teramat rindu dengan anak-anaknya gegas turun dari mobil. Dia berlari menuju pintu gerbang. Wanita itu menggedor pintu gerbang tersebut dengan semangat.
Dari jauh tampak berlari suami Ijah yang bekerja sebagai sopir di rumah itu. "Bu Layla?" sapanya dari balik jeruji pagar.
"Tolong bukakan pintu ini, Pak! Aku mau lihat kondisi Ziel," mohon Layla serius.
"Eh iya, Bu." Pria itu mengangguk patuh.
"Pak Jonooo!" Di teras Panji berteriak keras, "cepat masuuuk!"
"Pak Jono, tolong buka sebentar saja. Aku cuma mau ketemu Kenzi dan Ziel," pinta Layla sembari menangkupkan kedua tangan.
"Pak Jonooo! Jangan sampai aku marah dan memecat kamu, ya!" ancam Panji jumawa.
Next
Ingin kenal lebih dekat dengan authornya silahkan kunjungi IG aku yenika_koesrini atau tik tok @ : yenikakoesrini01