Satpam itu terus menggeret Layla hingga keluar pintu gerbang.
"Sudah, Pak, sudah!" Seli memperingatkan.
"Ibu Layla kalo masih ngotot minta masuk, saya gak segan bawa Ibu ke kantor. Biar nanti diproses oleh polisi." Satpam tambun itu mengancam.
"La, udah ... sebaiknya kita pulang aja dulu, yuk!" Seli kembali mengajak, "kita cari solusinya di rumah dengan kepala dingin, okey?" bujuknya halus.
Layla yang masih tersedu hanya bisa mengangguk pasrah.
Seli lekas membimbing Layla pergi. Wanita itu membukakan pintu mobil untuk Layla. Setelah Layla masuk, Seli menutupnya.
Kaki Seli menderap cepat memutari mobil. Wanita itu masuk dan duduk di belakang setir. Setelah memakai safety belt, dia menjalankan mobilnya.
Sementara itu di teras, Panji memandang kepergian mobil Seli. Matanya terus mengawasi hingga kendaraan tersebut mulai tidak terlihat lagi. Pria itu menarik napas perlahan.
Kini tangannya merogoh kantong celana. Benda persegi berwarna hitam itu ambil. Jempol Panji mencari nomor kontak seseorang. Begitu dapat, dia langsung memencet nomor tersebut.
"Ya ... Nji," sahut suara pria di seberang begitu Panji menempatkan ponselnya pada telinga.
"Layla ternyata kabur ke rumahnya Seli," lapor Panji datar.
"Seli? Okey ... terus?"
"Ya lu awasi gerak-gerik bini gue." Panji menyahut cepat, "laporkan tiap detail apa yang ia lakukan. Gue butuh bahan buat ngalahin dia di pengadilan nanti, kalo dia jadi gugat gue."
"Siap! Tapi gue sekarang lagi butuh suntikan, Nji."
"Gampang ... abis ini gue transfer." Panji berjanji dengan serius, "yang penting elu kerja dengan baik."
"Siap, Bos."
"Yodah ... cepetan elu buntuti Layla!" titah Panji segera, "paling dia baru keluar dari kompleks rumah gue."
"Okey, Bos."
Panji memencet tombol merah pada layar ponselnya. Bibirnya berkedut miring.
"Aku akan bikin kamu menderita, La," tekad Panji dingin, "kamu udah berani melawan aku. Aku akan menggantung kamu, biar gak ada pria yang bisa dekatin kamu." Bibir Panji berkedut lagi.
*
Sementara itu di dalam mobil, Layla terus terisak. Bayangan Kenzi yang meronta dari dekapan sang ayah terus saja menari di maniknya. Belum lagi dia membayangkan betapa menderitanya Azriel.
Dari bayi Azriel tidak akan pernah bisa tidur, jika tidak dikeloni oleh Layla. Azriel tipe anak yang susah makan dan pemalu. Bahkan sama Bik Ijah saja, bocah itu tidak terlalu dekat. Hari-harinya harus terus menempel pada Layla.
"Sudah ... La. Sabar, ya," ujar Seli halus. Tangan kirinya menepuk pundak sang sahabat, sedangkan kanan fokus memegang setir.
"Aku gak bisa bayangin bagaimana menderitanya Ziel, Sel," isak Layla terus terguguk. "Anak itu baru berumur empat tahun. Masih terlalu kecil. Masih butuh kasih sayang seorang ibu."
Hati Seli trenyuh mendengarnya. "Aku ngerti perasaan kamu, La," tutur Seli ikut bersedih.
Dia sendiri pernah merasakan bagaimana sedihnya berpisah dari anak. Dulu Seli pun pernah cekcok dengan suaminya. Mereka juga sempat pisah ranjang. Di mana sang anak ada dalam kekuasaan sang mertua. Untung baik Seli dan sang suami bisa saling berintrospeksi diri, sehingga keduanya memutuskan rujuk demi buah hati.
"Sekarang pasrahkan semuanya pada yang di atas," pesan Seli menenangkan.
"Kenapa justru Allah melimpahkan ujian seberat ini, Sel," keluh Layla dengan air mata yang berlinang, "aku gak papa jika harus kehilangan harta, papan, ataupun usaha. Tapi aku gak bisa jika harus kehilangan anak-anak."
"Kamu adalah orang yang terpilih, La."
"Ini terlalu berat untukku, Sel," tukas Layla frustrasi. "Uang, pekerjaan, dan anak aku diambil secara bersamaan."
"Gak boleh putus asa begitu, La." Seli mengingatkan, "itu sama aja kamu gak percaya sama campur tangan Allah."
Layla hanya menunduk. Sementara air matanya terus saja mengalir tanpa mau berhenti. Semakin ia susut, kian deras bulir tersebut jatuh.
"Dengar! Allah gak akan menguji kesabaran umatnya melebihi kemampuannya." Seli masih saja memberi wejangan, "sekarang kamu serahkan saja sama Allah, aku yakin cepat atau lambat kamu akan mendapatkan keadilan."
Layla menatap Seli masih sambil tersedu. "Terima kasih banyak kamu ada untuk aku, Sel."
"Aku akan selalu ada untuk kamu." Seli berjanji dengan seulas senyum.
Tidak terasa keduanya telah memasuki kompleks perumahan. Seli membelokan mobilnya sesuai blok rumahnya. Ketika mereka sampai, ternyata suami Seli baru saja pulang dari kantornya.
Suami Seli membukakan pintu pagar untuk sang istri. Seli memarkirkan mobilnya di bawah kanopi. Dia dan Layla bergegas turun.
Layla yang lelah jiwa dan raga merasa sedikit oleng. Tiba-tiba pandangannya berkunang-kunang. Menit berikutnya wanita itu tumbang.
Untung suami Seli sedang melangkah di belakangnya. Sehingga saat Layla oleng, pria itu sigap menyambut. Layla pun jatuh ke pelukannya.
"La, sadar, La!" Seli menepuk-nepuk pipi sang kawan. Namun, mata Layla tetap tertutup rapat. "Bawa Layla ke dalam, Bang!" suruhnya sedikit panik.
"Iya." Pria berpostur tinggi besar itu dengan gampangnya menggendong tubuh kecil Layla. Bersama sang istri, dia masuk ke rumah.
*
Layla jatuh sakit. Wanita itu tidak berselera makan. Setiap hari hanya bisa menangis jika teringat Kenzi dan Azriel. Alhasil berat badannya perlahan menyusut.
"Kamu harus bangkit, La!" nasihat Seli begitu prihatin melihat keadaan sahabatnya. Lingkar hitam di bawah kelopak mata menjadi pertanda jika Layla kurang tidur.
"Aku gak papa, Sel," ujar Layla lemah. "Aku hanya kangen sama anak-anak." Bibir pucatnya melukis senyum getir.
Seli tercabik melihat penderitaan Layla. Hatinya tergerak ingin lekas menarik Layla dari lembah kesedihan ini. Maka wanita itu membuat rencana.
Keesokan harinya saat menjemput putrinya, Seli menemui Kenzi. Kebetulan Hani belum datang untuk menjemput anak itu.
"Kenzi sayang, kamu rindu gak sama Bunda?" tanya Seli pada bocah berseragam merah putih itu.
Kenzi mengangguk cepat. "Kangen banget, Tante."
"Besok Tante akan bawa kamu dan Dek Ziel buat ketemu Bunda kamu."
"Benarkah?" Mata Kenzi membulat sempurna.
"Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya?"
"Iya." Kenzi semangat mengangguk.
Seli pun membisikan apa saja yang harus Kenzi lakukan besok. Ketika Kenzi mengangguk paham, Seli pamit pergi.
*
Sore harinya, Seli memberi tahu rencana yang sudah ia susun pada Layla. Tentu saja Layla setuju dengan rencana tersebut. Sehingga besok paginya, kedua wanita itu melancarkan aksi.
Seli membawa Layla pergi ke sekolahnya Kenzi. Keduanya tetap berada di mobil untuk menunggu kedatangan Kenzi. Seli sendiri sengaja menyuruh putrinya untuk tidak masuk sekolah hari itu.
Lima belas menit menanti, mobil Panji pun terlihat. Pintu mobil belakang terbuka. Turunlah Kenzi bersama anaknya Hani. Rupanya perempuan itu sudah memindahkan anaknya sekolah di situ.
Kedua bocah itu melambai sebentar pada Pak Jono yang mengantar. Setelah itu mereka memasuki gerbang. Begitu Pak Jono berlalu, Layla gegas turun. Dia berjalan terburu menyusul Kenzi.
Rupanya Kenzi sudah menunggu. Sementara Atha telah masuk ke kelasnya. Layla langsung mendekap putra sulungnya begitu bertemu.
"Kenzi kangen banget sama Bunda," ungkap anak itu sembari mendongak. Iris bening itu tampak berkabut.
"Bunda juga kangen, Sayang," balas Layla haru. Dia mengecup kening Kenzi, "sekarang Kenzi masuk ke mobil mamanya Chelsea, ya," suruh Layla seraya menyebut anaknya Seli.
"Baik." Kenzi yang patuh mengangguk semangat. Anak itu berlari menuju mobilnya Seli.
Layla sendiri gegas berjalan menuju ruang guru. Wanita itu meminta izin mengenai absennya Kenzi. Sebagai seorang ibu, tentu saja Layla tidak kesulitan mendapatkan izin.
Dengan hati yang berbunga Layla mendatangi mobil Seli. Wanita itu langsung memeluk Kenzi dengan sayang. Di jok depan Seli dan Chelsea ikut terharu melihat perjumpaan ibu dan anak itu.
"Kita pergi sarapan bubur, yuk!" ajak Layla pada Kenzi, "abis itu kita jemput Dek Ziel."
"Iya, Bun." Kenzi melendot lagi pada ibunya.
Seli membawa mobilnya tiba di sebuah warung bubur ayam yang cukup terkenal. Keempat orang itu sarapan dengan suka cita. Layla yang begitu rindu menyimak obrolan Kenzi dengan Chelsea dengan senyum yang terus berkembang.
Pukul delapan kurang lima belas menit, mereka meninggalkan warung tersebut. Kini mobil Seli mengarah pada sekolahnya Azriel. Tepat di saat mereka sampai, Azriel baru saja digandeng oleh Hani dan Bik Ijah memasuki gerbang.
Layla dengan sabar menunggu mereka keluar. Sekitar sepuluh menit kedua wanita itu baru menampakan diri. Pre-school tempat Azriel memang tidak mengizinkan orang tua murid untuk menunggui, sehingga Hani dan Bik Ijah memang harus pergi dari sekolah tersebut.
Begitu mobil Hani berlalu, Layla gegas turun. Wanita itu sedikit berlari menuju kelas Azriel. Di dalam sana ia menjumpai putra kecilnya tengah menangis. Ketiga gurunya tidak ada yang bisa membujuknya untuk diam.
"Bundaaa!" Azriel melihat sosok Layla. Bocah itu langsung menghambur memeluk perut Layla, "El, kangen, Nda," tuturnya polos.
"Iya, Sayang. Bunda juga kangen sama kamu." Layla mendekap erat Azriel.
*
"Terus bagaimana selanjutnya?" tanya Banyu ketika Seli menjeda kisahnya.
"Ya ... aku sengaja bawa mereka ke vila kita. Sengaja juga biar Panji tahu keberadaan kita."
"Panji nyamperin kalian?"
"Gak."
"Terus?" Dahi Banyu sedikit mengerut.
"Dua hari kemudian, Panji ngelaporin kita ke polisi."
Next