5. Cerita Seli

1016 Words
"Kamu serius, Mbak?" tanya Banyu masih tidak percaya saat mendengar penuturan Seli. "Kalo nama dan alamat rumah mantan suaminya Layla ya memang ini. Panji, " balas Seli merasa yakin, "Layla's Bakery yang mau kamu beli itu ada di daerah jalan Ahmad Yani nomor lima belas kan?" tebaknya kemudian. "Ho-oh." Banyu mengangguk mengiyakan. "Tokonya ngadep ke utara terus deket sekolah TK gitu kan?" "Bener banget." "Ya udah ... ini sih toko bekas punya Layla sendiri," Ujar Seli seraya mengembalikan dompetnya kembali pada si empunya yakni Banyu. "Kok bisa ya? Kalo menurut pandangan aku si Panji ini kayak belum move on gitu lho dari Layla," ujar Banyu sedikit heran. Tangannya menaruh dompet. Kali ini ia masukkan ke saku kemeja. "Padahal katanya Panji dan Layla udah cerai selama enam tahun," sambungnya mulai fokus menyetir kembali. "Aku sendiri juga gak tahu." Seli menghembus napas dan menggeleng, "pokoknya kalo ingat perjuangan Layla lepas dari Panji itu aku ikut nyesek sendiri, Nyu," tuturnya tampak menerawang. "Oh ya? Emang gimana kejadiannya dulu, Mbak?" tanya Banyu menunjukkan ketertarikan. Banyu baru mengenal Layla dua tahun terakhir ini . Itu pun dia dan Layla belum terlalu dekat. Laki-laki itu mengenal Layla hanya sebatas kenal sebagai asisten kakak iparnya. Walaupun dari awal sudah tertarik begitu melihat pembawaan Layla yang tenang. Namun, sikap datar wanita itu membuat Banyu tidak langsung berani mengutarakan niat. Sang kakak iparlah yang mendekatkan keduanya. Banyu lama tinggal di negeri jiran Malaysia. Dia baru pulang saat suami Seli atau kakak kandungnya meninggal dunia dua tahun lalu. Sebenarnya laki-laki itu sudah betah hidup di negara orang. Apalagi di sana pekerjaan Banyu juga sudah terbilang cukup mapan. Tetapi, sebagai satu-satunya anak yang masih tersisa di keluarga, Banyu dituntut untuk meneruskan usaha warisan orang tuanya. Usaha yang sempat dikelola oleh sang kakak. Alasan itulah yang membuat Banyu tidak begitu tahu mengenai seluk-beluk masa lalu Layla. Dirinya bisa dikatakan dekat dengan Layla, baru sekitar tujuh bulanan ini. Karena wanita yang usianya terpaut dua tahun lebih tua darinya itu memang selalu menjaga jarak dengan pria. "Coba dong ceritakan lebih detail mengenai perpisahan mereka, Mbak," pinta Banyu kemudian dengan wajah serius. Seli mengangguk pelan. Sebelum bercerita dia menghela napas panjang untuk mengisi rongga paru-parunya dengan oksigen. Baru setelah merasa tentang wanita itu mulai menuturkan kisah. "Aku tuh masih inget banget kejadian enam tahun yang lalu, Nyu. Malam-malam ... di bawah guyuran hujan Layla datang seorang diri." Angan Seli melayang pada masa enam tahun silam. * Saat itu sekitar pukul delapan malam. Seli, almarhum suami dan putri semata wayangnya baru saja selesai makan bersama. Keluarga kecil itu melanjutkan kebersamaan dengan mengobrol santai di ruang keluarga. TING TONG! TING TONG! "Bunda lihat dulu siapa yang datang, ya," pamit Seli begitu mendengar bel rumah berbunyi. Wanita itu berlalu usai mendapat anggukan setuju dari anak dan suaminya. Seli melangkah ke pintu depan. Asisten rumah tangga Seli hanya berkerja dari pagi hingga sore saja. Sehingga kalau malam tidak ada orang lain selain keluarga inti. "Layla?" sapa Seli lumayan kaget melihat sahabatnya itu. Belum pernah sekalipun, Layla berkunjung ke rumah Seli sendirian. Apalagi malam-malam seperti ini. Wanita itu jika main pasti bersama anak-anak. "Aku boleh masuk?" tanya Layla terdengar lemah. "Masuklah!" Seli langsung mempersilakan. "Kamu sendirian?" Layla hanya mengangguk kecil. "Ya udah ayok!" Seli menarik lengan Layla. "Tapi tolong bayarkan aku taksi dulu, Sel," mohon Layla dengan tatapan sayu. Seli memandang sopir taksi yang masih setia menunggui mereka. "Sebentar aku ambil uang dulu," pamitnya kemudian. Seli masuk lagi ke dalam. Dia tergesa menuju kamarnya. Wanita itu mengambil dompet. Setelahnya dia kembali lagi ke teras depan. "Terima kasih," ucap Layla begitu menerima selembar uang kertas dengan nominal seratus ribu. Layla berlari-lari kecil menemui Pak sopir. Dia membayar argo taksi. Setelah beres dirinya kembali lagi menemui Seli. "Ayo masuk!" Seli merangkul pundak Layla untuk memasuki rumahnya. "Wahhh ... baju kamu lembap," ujar Seli begitu menyentuh atasan Layla. "Tadi kena air hujan waktu turun dari taksi," jawab Layla pelan. "Ya udah nanti aku pinjami kamu baju." "Makasih," ucap Layla tersenyum tipis. Seli membawa temannya menuju ruang keluarga. Tempat di mana suami dan anaknya tengah santai berbincang. Wanita itu gegas menuju kamar usai mempersilakan Layla duduk. Saat itu Seli dan Layla sudah berkawan sekitar lima tahunan. Mereka saling mengenal karena anak Seli satu kelas dengan Kenzi dari TK. Keduanya akrab dan menjadi seperti saudara. Baik Seli ataupun Layla sering saling berkunjung. Padahal jarak rumah mereka lumayan jauh. Butuh waktu satu jam sendiri untuk bisa sampai. Layla sendiri sudah menganggap Seli sebagai kakaknya sendiri. Kebetulan keduanya berasal dari kota yang sama, yakni Banjarnegara. Dan di Jakarta ini Layla tidak punya sanak saudara. Seli menarik dress panjang berbahan kaos dari lipatan di rak lemari. Wanita itu keluar lagi. Lalu menyerahkan baju tersebut pada Layla. Dia menyuruh Layla untuk berganti pakaian di kamar tamu. "Sebenarnya ada apa malam-malam ke sini?" tanya Seli begitu Layla telah mengganti bajunya. Layla terdiam. Wanita itu justru menunduk. Dia merasa malu jika harus bercerita di depan suami dan anaknya Seli. Seli yang pengertian langsung memberi kode suaminya untuk membawa sang putri masuk ke kamar. "Kenapa, La?" Seli mengulang pertanyaan begitu suami dan anaknya berlalu. Dia menyentuh pundak sang sahabat. "Kamu berantem lagi dengan Panji?" tebaknya hati-hati. Kala itu rumah Layla memang sudah mulai dilanda prahara. Enam bulan sebelumnya, Layla cerita kalau Panji baru saja mengangkat pegawai baru. Usut punya usut ternyata pegawai baru tersebut adalah mantan gebetannya Panji sewaktu sekolah. Kata Layla semenjak itu sikap Panji mulai berubah. Panji yang dulu begitu mencintai Layla mendadak jadi kaku bahkan cenderung kasar. Salah sedikit Layla akan kenapa bentakan. Lalu dua bulan lalu tanpa malu Panji dan perempuannya yang bernama Hani mengaku jika ingin bersatu. "Kenapa kamu diam, La? Ada apa?" cecar Seli tidak sabar. Tiba-tiba tangis Layla pecah. "Aku ... aku baru saja diusir sama ... sama Mas Panji, Sel," adunya dengan suara tersengal. "Astaghfirullah hal adzim!" Seli gegas memeluk Layla. "Memangnya kenapa, La?" tanyanya begitu melerai dekapan. Layla masih terisak. "Mas Panji ... Mas Panji marah ... karena aku menentang permintaannya," tuturnya masih terbata. "Memang apa yang Panji inginkan?" tanya Seli serius. "Poligami." Seli tercengang mendengarnya. Next Jangan lupa pencet tanda love agar dapat notifikasi kalo n****+ ini up.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD