7. Masalah Keluarga

1316 Words
Entah sudah berapa lama Gea tetap diam dalam posisinya ini. Dia sama sekali tidak berani untuk bergerak atau sekedar membangunkan sosok pria yang tidur di sampingnya. Ia sadar bahwa apa yang mereka berdua lakukan saat ini tidaklah benar. Sekalipun dia tidak melakukan apapun selain membiarkan Rendra tertidur sambil memeluknya di atas ranjang. Gea menolehkan kepalanya ke arah samping. Memandang sosok Rendra yang kini terlihat tidur dengan pulas. Wajah pria itu tampak damai dan tenang. Jika dalam kondisi biasa, mungkin Gea akan merasa senang dan terus menatap wajah pria di sampingnya dalam jarak sedekat ini sambil tersenyum manis. Akan tetapi setelah semua yang terjadi, ia hanya bisa menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. Ia masih belum bisa merelakan sosok Rendra untuk pergi begitu saja dari hidupnya. Tapi di sisi lain, pria itu juga semakin mempersulit Gea untuk bisa melepaskannya. Jika saja Rendra mau bekerjasama dengannya untuk melepaskan hubungan ini. Mungkin Gea tidak akan merasa segusar dan sesakit ini. Antara bertahan di tengah hubungan yang tidak sehat, atau pergi melepaskan walaupun berat. Opsi kedua sangat ingin dia lakukan, sayangnya Gea tidak tahu harus berbuat apa dengan sikap Rendra yang terus saja menahannya. Membuat Gea sendiri juga merasa semakin bimbang. Ingin pergi tapi tidak bisa. "Dengan posisiku saat ini, apa yang harus kulakukan?" Gea bergumam dengan pelan, suaranya lirih agar tidak sampai membangunkan Rendra. Tanpa sadar air mata kembali meluruh dari mata Gea, dia tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya. Ingin mengadu, tapi dia tidak memiliki teman atau seseorang yang bisa dia ajak untuk bertukar pikiran. Apa lagi selama ini hanya Rendra satu-satunya orang yang selalu dia ajak bertukar pikiran dan berkeluh-kesah. Tanpa sadar, seluruh dunianya telah berpusat pada pria yang ada di sisinya saat ini. Hingga ketika hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini terjadi, Gea merasa bingung dan tidak memiliki tujuan. Dunianya seakan hancur secara perlahan. Impian yang talah dia bangun mendadak kabur. Hanya menyisakan puing-puing harapan yang berserakan tanpa bisa dia susun kembali. Suara getaran pada ponselnya, membuat Gea menolehkan kepalanya pada luar kamar yang saat ini dia tempati. Dengan segera dia menyeka air mata yang membasahi pipinya. Lalu ia mengangkat sebelah tangan Rendra yang memeluk perutnya ke samping dengan pelan. Setelah memastikan bahwa pria itu tidak terbangun dan sudah tidak lagi memeluknya, Gea lalu turun dari ranjang. Ia pergi ke ruang tamu untuk mengangkat panggilan telepon pada ponselnya. Saat melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel, Gea mengambil napas dalam terlebih dahulu. "Halo, assalamu'alaikum Ma!" 'Walaikumsalam Nak, Nenek sakit lagi. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit, apa kamu bisa mengirimi uang ke sini untuk biaya berobat Nenek? Uang Mama udah nggak ada lagi sekarang.' Mendengar perkataan mamanya, seketika membuat Angelia terdiam selama beberapa saat. Kedua matanya langsung berkaca-kaca, apa lagi dia masih belum gajian saat ini. Baru lusa dia akan menerima gajinya. "Saat ini Gea juga belum mempunyai yang Ma, masih lusa Gea baru gajian." Gea berkata dengan nada suara pelan. 'Terus bagaimana ini? Nenekmu didiagnosa terkena diabetes dan harus menjalani cuci darah setiap sebulan dua kali. Kita sebagai orang yang kurang berada tidak memiliki uang sebanyak itu untuk menjalani cuci darah untuk nenekmu. Apa lagi untuk makan sehari-hari saja, kita masih serba berkecukupan.' Gea lagi-lagi hanya bisa terdiam, masalah ekonomi keluarga memang satu hal yang selalu menjadi momok permasalahan keluarganya. Tiap kali ibunya berbicara mengenai masalah ekonomi, selalu saja membuat Gea tidak berkutik. Sekalipun dia sendiri juga tidak tahu harus berbuat apa, dia juga tidak bisa melakukan apa-apa dalam situasi dan kondisi seperti ini. Semuanya terasa sangat sulit untuk bisa dia lalui begitu saja. Belum jelas masalahnya sendiri dengan Rendra saat ini. Justru malah harus ditambah lagi dengan masalah keluarganya. "Mau bagaimana lagi Ma, Gea juga belum ada uang. Lusa setelah Gea gajian baru bisa transfer ke Mama seperti biasanya." 'Seperti biasanya? Kamu kan tahu biaya SPP adikmu masih belum bayar selama tiga bulan ini. Belum lagi ini untuk biaya rumah sakit dan cuci darah nenekmu. Ibu juga sudah tidak punya tabungan lagi. Perhiasan ibu sudah ibu jual semua untuk makan sehari-hari. Ayahmu belum mendapatkan pekerjaan. Ibu bahkan sampai menjadi buruh cuci baju tetangga untuk menyambung hidup, tapi kamu tahu jadi buruh cuci baju juga tidak banyak uang yang didapatkan.' Gea yang mendengar hal itu hanya bisa memijat pelipisnya karena terasa pening. Dihadapkan pada banyak sekali permasalahan dalam hidupnya secara bersamaan, membuat gadis itu merasa bahwa tanggungan atau beban yang dipikulnya terlalu berat. "Udah dulu ya Ma, Gea masih ada urusan. Lusa Gea janji bakal transfer ke Mama, mungkin sekarang Mama pinjam sama siapa dulu sampai nanti Gea ada uang untuk transfer ke Mama!" Setelah itu Gea langsung menutup panggilan telepon dari mamanya secara sepihak. Tanpa menunggu balasan dari mamanya. Gea lalu duduk di atas sofa, ia menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa serta menjadikan lengannya sebagai penutup wajahnya. Suara isak tangis perlahan keluar dari bibirnya, tanpa bisa dia cegah Gea kembali menangis. Air matanya terus saja mengalir dari kedua matanya saat ia memejamkan mata sambil menutupi dengan lengannya. Rasanya lelah, menanggung begitu banyak beban dalam pundaknya seorang diri. "Kenapa seorang wanita harus menanggung beban sebanyak ini? Bukankah orang lain mengatakan bahwa wanita diciptakan sebagai tulang rusuk? Lalu mengapa saat ini aku seolah diperlakukan sebagai tulang punggung keluarga? Apakah nasibku memang terbalik dari wanita lain pada umumnya?" Ada begitu banyak pertanyaan dalam benak Gea yang membuat gadis itu bertanya-tanya. Mengapa dia harus menjadi anak pertama sehingga mau tidak mau dia harus menjadi tulang punggung keluarga dan memikul beban keluarga seorang diri di pundaknya. Mengapa dia selama ini tidak bisa menikmati hidupnya sendiri. Memikirkan besok ingin pergi kemana, hang out bersama teman-temannya dan masih ada banyak hal lainnya yang tidak bisa dia lakukan. Masa mudanya harus dia habiskan dengan berkerja dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Jika saja dia boleh egois, ingin sekali Gea kabur dari tanggung jawabnya. Sekalipun mengenai hal ini seharusnya semua itu bukanlah menjadi tanggung jawabnya. Tapi sayangnya, Gea tidak berani untuk melakukan hal itu sekali pun dia ingin. Selalu ada rasa iri dalam dirinya tiap kali dia melihat gadis lain yang seumuran dengannya masih bisa menikmati waktu mereka dengan bahagia. Menjalani masa muda dengan bersenang-senang, nongkrong dan melakukan aktivitas lainnya yang biasa dilakukan oleh para anak muda pada umumnya. Sedangkan dia setiap harinya hanya tau bagaimana dia harus bekerja. Mengerjakan tugas kuliah, makan sehari-hari, dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan tak jarang Gea sering kali memangkas uang sakunya untuk dia berikan pada keluarganya. Hingga dia harus benar-benar berhemat dan sangat jarang membeli jajanan di luar. Karena takut uangnya tidak akan cukup sampai akhir bulan. Kejadian seperti apa yang dia dapati tadi tidak hanya sekali atau dua kali terjadi. Sering kali ibunya menelpon Gea untuk meminta uang untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Entah dengan berbagai macam permasalahan. Tanpa mereka sendiri sadari, bahwa Gea bahkan lupa bagaimana caranya agar dia bisa membahagiakan dirinya sendiri. Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa Gea jarang pulang ke rumah. Sekalipun jarak antara ia pulang ke rumah tidak begitu jauh dan masih satu provinsi. Jika dia ingin pulang, paling tidak hanya memerlukan waktu 5 jam perjalanan, tapi Gea enggan untuk berada di rumahnya. Karena begitu dia pulang, justru bukan rasa tenang dan hangatnya keluarga yang dapat dia rasakan. Justru tekanan mental dan masalah yang datang bertubi-tubi, hingga membuat gadis itu seakan tidak diberikan ruang untuk bisa bernapas dengan lega. "Kamu kenapa Gea?" Gea buru-buru menyeka air matanya saat mendengar suara itu. Ia memalingkan wajahnya, agar Rendra tidak sampai memergoki dia saat sedang menangis baru saja. "Apa ada yang terjadi? Kamu masih marah sama aku?" Gea hanya menggelengkan kepalanya, enggan untuk menjawab, "bukan apa-apa, aku hanya ingin sendiri dulu." Gea melirik pada ponsel milik Rendra yang ada di atas meja. Hanya dengan melihat nama kontak tersebut telah membuat Gea tertawa sendiri. Seolah menertawakan nasibnya yang benar-benar sedang dipermainkan oleh takdir. "Aku angkat telepon dulu!" Rendra berlalu menjauh dari sosok Gea yang tengah memalingkan wajahnya. meninggalkan Gea yang sebisa mungkin menahan agar air matanya tidak lagi meluruh jatuh untuk saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD