"Kamu tadi keluar kemana aja Mas?"
Rendra yang baru saja selesai mandi dan saat ini hanya memakai celana boxer menatap Rana selama beberapa saat. Lalu dia mengacuhkannya. Lanjut mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kering. Bersikap seolah-olah dia tidak pernah mendengar pertanyaan dari istrinya.
"Kenapa gak dijawab Mas?"
"Kamu ini kenapa sih? Suami baru pulang kerja bukannya diurus, disenengin. Malah diintrogasi kayak gini!" Rendra menatap Rana dengan ekspresi wajah tidak suka yang sulit untuk bisa dia sembunyikan.
"Aku cuman nanya loh Mas. Emang salah ya kalau aku nanya sampai bikin kamu curiga kayak gini?" Rana menjawab dengan nada jenaka dan tidak ikut terpancing emosi seperti suaminya saat ini.
Pada akhirnya Rendra hanya menghela napas panjang. Lalu dia duduk di samping Rana dan membawa wanita itu bersandar pada d**a bidangnya yang tidak memakai baju. "Kenapa kamu nanya kayak gitu?"
"Gak apa-apa. Cuman kadang aku ngerasa kalau semakin lama kamu kayak menghindar aja dari aku." Rana menjawab dengan pelan. Pandangan matanya tampak lesu dan sayu. Dengan banyaknya spekulasi dan hal-hal negatif yang menghantui pikirannya.
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh, cukup fokus aja sama kebahagiaan diri kamu sendiri. Jangan biarin hal-hal negatif kayak gitu mempengaruhi kamu." Rendra mengecup pelan punggung istrinya dan mengecup rambut Rana dengan sayang.
Rana pada akhirnya hanya menganggukkan kepalanya. Dia tidak ingin kembali memancing keributan dengan bertanya mengenai aroma parfum yang menempel pada baju suaminya. Meskipun hal itu jelas sekali sangat menggangu pikirannya hingga membuat wanita itu sangat sulit untuk bisa berpikir positif. Tapi melihat reaksi marah dari Rendra membuat Rana ragu untuk bertanya. Sekalipun dia berhak untuk menanyakan hal itu agak tidak sampai mempengaruhi pikirannya.
'Kuharap ini hanya pemikiranku saja Mas. Kalau sampai apa yang aku khawatirkan memang benar terjadi entah apa yang harus kulakukan. Yang jelas aku akan sangat merasa sakit hati dan mungkin akan sulit untuk bisa menerimanya.'
"Hari ini kamu gak ada rencana buat pergi keluar lagi kan?"
"Memangnya kenapa?"
"Aku ngerasa kesepian di rumah sendirian, kamu sering keluar tanpa ngajak aku. Atau bagaimana kalau nanti malam kita dinner di luar?" Rana melepaskan pelukan Rendra dan menatap wajah pria itu yang entah hanya perasaannya saja atau bukan. Namun Rendra terlihat seperti mencoba mengalihkan pandangan, agar tidak bersitatap dengan matanya.
"Sebenarnya nanti aku mau keluar sebentar," ucapan Rendra terhenti, dia berusaha mencari alasan agar dia bisa keluar. Karena dia sudah berjanji dengan Gea kalau dia akan membantu gadis itu untuk pindahan dari kos-kosan lamanya ke apartemen yang baru dia berikan pada Gea.
Jika Rana ikut, maka dia tidak akan bisa bertemu dengan Gea. Tapi dia juga sama sekali tidak terpikirkan apapun untuk bisa dia jadikan alasan untuk saat ini. Belum lagi tatapan mata Rana yang seperti berharap agar mereka berdua bisa dinner bersama, semakin membuat Rendra merasa bimbang di antara dua pilihan.
"Kamu ada urusan apa memangnya Mas? Aku gak bisa ikut kamu memangnya?" Rana sengaja memancing Rendra, karena dia ingin melihat bagaimana respon suaminya jika dia ingin ikut dalam urusan yang dikatakan oleh Rendra.
Rendra yang mendengar hal itu hanya bisa menghela napas panjang, "baiklah kalau begitu, kamu bisa ikut aku nanti. Aku hanya ingin bertemu dengan rekan kerja sekaligus teman lama saja sebenarnya."
Dengan sangat mulus Rendra mampu menyingkirkan pemikiran negatif Rana dengan alasan ingin bertemu dengan rekan kerja. Karena kebetulan dia juga ada janji dengan beberapa rekan kerja atau lebih tepatnya bertemu dan makan-makan dengan beberapa teman karibnya di sebuah rumah makan. Awalnya dia sudah berkata bahwa dia tidak jadi datang karena ingin menemani Gea agar gadis itu tidak lagi berubah pikiran untuk pergi meninggalkannya. Tapi jika situasi sudah seperti ini, maka Rendra tidak memiliki pilihan lain. Dia hanya bisa kembali menyetujui ajakan temannya untuk ikut bergabung dalam acara makan-makan tersebut agar tidak sampai membuat Rana merasa curiga.
"Kalau begitu cepatlah mandi dan bersiap-siap."
"Oke Sayang!" Rana sengaja hendak mencium pipi Rendra, namun tanpa sadar pria itu justru refleks agak menjauhkan wajahnya sehingga Rana urung mencium pipi suaminya.
"Cepat mandi sana!" Rendra yang tidak ingin dicurigai atas sikap refleknya tadi hanya memalingkan wajahnya dan kembali berusaha untuk sibuk mengeringkan rambutnya yang setengah basah.
Sementara Rana yang melihat hal itu hanya mencoba untuk tersenyum masam sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi, wanita berusia awal 30 tahunan itu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Memperhatikan dengan seksama wajahnya yang masih terlihat mulus, namun memang ada kantong mata yang sedikit mengusik penampilannya. Lalu ia hanya bisa menghela napas panjang. Menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk mengusir kerisauan dalam dirinya akan sikap suaminya, yang dinilai ada sesuatu yang tengah disembunyikan oleh Rendra darinya.
***
Gea terbangun dari posisi tidurnya yang kurang nyaman, rupanya saat dia terbangun hari sudah gelap. Kondisi di dalam apartemen yang dia tempati saat ini sudah gelap gulita, namun beruntung ada sedikit cahaya yang masuk dari luar gedung apartemen karena jendelanya masih terbuka.
Ia dengan segera berjalan dengan hati-hati untuk menemukan letak saklar lampu dan menyalakannya agar kondisi apartemen tidak gelap yang membuat Gea merasa tidak nyaman serta agak takut. Setelah lampu telah menyala, dapat dia lihat kondisi sekitarnya yang terang dan terlihat sangat nyaman untuk apartemen yang akan ditinggalinya. Namun tetap saja, rasanya sangat sepi, tidak seperti ketika dia masih berada di kosannya. Paling tidak Gea masih bisa mendengar gurau canda tawa anak kos di luar kamarnya sehingga suasananya tidak begitu sesepi ini.
Ia melihat layar ponselnya, rupanya sekarang sudah jam 10 malam. Ia telah tertidur cukup lama dan rasanya dia akan kesulitan untuk kembali tertidur lagi malam ini. Belum lagi dia datang ke sini tanpa persiapan, ia tidak membawa apapun. Pakaian, barang-barang miliknya atau bahkan makanan pun dia tidak ada. Sementara perutnya kini telah meronta minta diisi.
Sekalipun kondisinya saat ini cukup berantakan, terutama kondisi hati dan pikirannya. Namun tetap saja Gea tidak bisa menampik rasa lapar yang dirasakannya sekalipun dia tidak begitu memiliki nafsu makan.
"Apa yang harus kulakukan?"
Gea beberapa kali berjalan mondar-mandir di ruang tamu apartemen. Perutnya terasa perih, dia lalu pergi untuk mengecek isi kulkas. Tapi hasilnya nihil, tidak ada bahan makanan satupun di sana. Sehingga Gea tidak memiliki apapun yang bisa dia makan untuk saat ini. Ingin turun ke bawah tapi dia tidak membawa uang. Ia hanya membawa ponselnya saja saat pergi menemui Rendra karena Gea sama sekali tidak menyangka kalau pria itu akan membawanya ke sini.
Dalam kondisi perut yang lapar hingga terasa perih, belum lagi seluruh tubuhnya terasa sakit karena salah posisi tidur. Gea mengintip ke bawah dari atas apartemen, dia melihat tidak begitu banyak orang berjualan di pinggir jalan. Malah kebanyakan yang berjualan di sekitar sini adalah restoran, rumah makan elit dan sejenisnya. Yang tentu saja sangat tidak ramah kantong baginya.
Gea lalu melirik pada ponsel miliknya, tidak ada satupun pesan dari Rendra untuknya. Bahkan lagi dan lagi pria itu mengingkari ucapannya yang berkata akan kembali untuk membantunya pindahan. Tapi nyatanya, sekedar satu pesan pun tidak ada dikirimkan.
Meski Gea cukup sadar diri akan posisinya, namun tetap saja ada rasa kesal dalam dirinya. Bagaimana dia bisa terjebak di sini sendirian. Tanpa membawa apapun dan bahkan makanan pun tidak ada sama sekali. Hanya ada air yang bisa dia minum.
"Apa aku akan mati kelaparan di sini? Ingin kembali ke kosan juga sudah melewati jam malam. Aku pasti tidak bisa masuk."
Meskipun ia ingin sekali menghubungi Rendra, sekedar memastikan sesuatu hal yang membuatnya merasa penasaran. Gea sekali lagi memandangi layar ponselnya, menekan kontak milik Brian dan terus menatapnya lama. Ia menghela napas panjang, sebelum meletakkan ponselnya dan urung untuk menelpon pria itu.
Sungguh tidak beradap rasanya menelpon suami orang pada tengah malam seperti ini. "Sadarlah Gea, dia suami orang!"
Suara bel apartemen yang berbunyi membuat Gea tanpa sadar langsung menoleh ke arah pintu apartemen miliknya. Dadanya tiba-tiba saja berdebar. Sadar atau tidak, saat ini ada di benak Gea adalah sosok Rendra yang menunggunya di depan pintu apartemen.
"Apa dia datang selarut ini? Jangan bilang dia ...,"
Gea tampak gugup, ia menelan salivanya dan mencoba menenangkan dirinya jika memang Rendra yang ada di balik pintu. Gadis itu sama sekali belum siap jika Rendra akan bermalam bersamanya di sini. Ia belum siap untuk semuanya, karena ini sama sekali belum ada dalam pikirannya.