"Perempuan apa maksud kamu? Jangan ngomong sembarangan, Freya." Zyan menoleh sesaat pada istrinya.
Freya menggedikkan kedua bahu dan kedua alisnya bersamaan. Tidak ingin menyahut dan semakin memancing emosi Zyan.
'Bener ya ternyata kata Mbak Hilda dulu, tempramen kamu buruk banget. Sama istri aja udah kayak sama musuh,' batin Freya.
Karena menyebut nama perempuan kurang ajar itu, Freya jadi teringat kembali pada dua makhluk yang minim akhlak itu. Sedang apa mereka? Apa mereka masih berada di kota yang sama? Atau sudah menghilang dari kota yang sudah memberikan kesuksesan untuk keduanya? Pikir Freya.
Mata Freya menatap lurus ke arah jendela kaca samping. Pikirannya mulai menembus kenangan masa lalu yang pernah di laluinya bersama Bisma mau pun Hilda dengan manis. Banyak suka duka yang telah mereka lewati bersama, terlebih Hilda yang telah di anggap Freya seperti kakak kandungnya sendiri. Siapa sangka Hilda justru telah menabur luka mendalam di hati Freya.
Iris hazel milik Freya tampak basah, tanpa di sadari sudut matanya telah mengeluarkan air bening yang sulit untuk di bendungnya. 'Andai aja, saat ini ... entahlah, aku juga enggak bisa menjamin jika pernikahan kita berhasil di laksanakan bisa bahagia tanpa adanya gangguan dari luar,' batin Freya.
"Besok pagi pagi kita akan pindah ke penthouse. Kamu udah kemasi semua barang kamu di apartemen belum?" tanya Zyan dengan nada datar. Matanya masih fokus pada jalanan.
Tidak ada jawaban dari Freya, tampaknya perempuan itu masih terperangkap dalam lamunannya sendiri, hingga mengabaikan pertanyaan dari sang suami.
Merasa tak mendapat jawaban, Zyan pun menoleh, mendapati Freya yang sedang menghadap ke jendela kaca samping. "Hei, Freya. Kamu dengar enggak sih?" ucapnya sedikit menaikkan volume suaranya.
"Freya!" Bersamaan dengan suara ban mobil yang berderit karena Zyan mengerem mendadak.
Tubuh Freya langsung bergerak maju, beruntung saat itu seat belt masih terpasang di depan tubuhnya hingga bisa melindunginya dari benturan.
"Astaga... Mas, kenapa?" tanyanya sambil mengelus d**a karena terkejut.
"Kamu itu aku ta-" Zyan menghentikan ucapannya saat matanya menangkap wajah dan bulu mata lentik Freya yang masih terdapat jejak air mata.
Freya mengerutkan dahinya melihat perubahan wajah Zyan yang tiba tiba. Bahkan perempuan itu tidak menyadari sama sekali jika saat ini wajah basahnya yang menjadi alasan di balik perubahannya.
"Loh, kenapa mas? Aku kenapa?"
"Enggak, enggak jadi. Nanti aja," sahut Zyan pelan lalu kembali melajukan mobilnya hingga ke hotel yang masih akan mereka tempati malam ini.
'Dia nangis? Kenapa?' batin Zyan.
***
Pagi harinya, setelah selesai sarapan bersama di resto hotel, Zyan dan Freya hari ini akan bersiap kembali ke penthouse milik Zyan yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama masa pernikahan berlangsung.
"Beresinnya enggak usah lama lama, keburu banyak wartawan nanti," celoteh Zyan saat keduanya baru saja masuk ke dalam mobil yang di kemudikan oleh asisten sekaligus sekretaris pribadinya Zyan.
"Enggak bisa sebentar dong mas, masih banyak yang belum aku pisah pisah. Aku lupa kasih tahu Bik Darmi sih semalam," sahut Freya santai.
"Loh? Sudah siap nikah tapi belum siapin barang barang untuk pindah, itu gimana bisa?"
"Ya, kemarin kan rencananya emang bakal tinggal di apartemen aku, bukan apartemen Bisma."
Freya memang berkata jujur, sejak awal merencanakan pernikahan bersama Bisma, ia tak memiliki keinginan untuk pindah dari apartemen yang telah di belinya dari hasil jerih payahnya selama ini. Beruntungnya saat itu Bisma tidak memaksakan untuk tinggal di apartemennya. Kebetulan juga sampai saat ini Bisma masih menyewa tempat itu, belum memiliki seutuhnya.
Senyum mengejek terpahat di wajah tampan Zyan yang nyaris sempurna itu.
"Cih... Laki laki macam apa yang menumpang hidup dengan perempuan? Hanya ingin numpang tenar saja. Itu namanya enggak tahu diri. Enggak pantas untuk di jadikan seorang suami," cibir Zyan dengan wajah dingin yang mengalahkan dinginnya bongkahan es.
Sakit hati kah Freya mendengarnya? Jelas sakit hati, bagaimana pun juga Bisma adalah laki laki yang sampai detik ini masih di cintainya. Tidak mudah bagi Freya untuk menghapus segala perasaannya pada Bisma, baik rasa cinta mau pun kebenciannya. Entah butuh waktu berapa lama baginya untuk membunuh perasaan itu di hidupnya. Tapi, Freya tetap tenang, seperti saat menatap birunya air laut.
"Itu bukan masalah sih mas bagi aku, mau tinggal di mana saja, asalkan selalu berdampingan. Dari pada punya pasangan hidup yang memiliki segalanya tapi enggak pernah bisa berdampingan dengan kita? Untuk apa juga kan?" Menggedikkan kedua bahunya sambil tersenyum tipis.
Zyan melempar tatapan tajamnya pada Freya. Aura mencekam seketika menjalar ke seluruh tubuh Freya. Tapi sekali lagi, perempuan itu tetap terlihat rileks.
"It's all bullshit," ucapnya. "Suami tetaplah kepala rumah tangga yang harus menanggung semua biaya hidup istrinya. Dia memang enggak pantas untuk jadi suami kamu," sambungnya.
Tiba tiba saja kedua bahu Freya berguncang, sebelah tangannya sempat menutup mulutnya sebelum akhirnya perempuan itu menggeleng pelan dengan mata yang menatap Zyan.
"Jadi, menurut kamu siapa yang pantas jadi suami aku?" selorohnya di ikuti sudut alis yang terangkat, "KAMU?" tanyanya lagi dengan penuh penekanan.
Terkejut bukan main Zyan mendengar keberanian Freya yang menekankan kata katanya seolah meragukan Zyan. Begitu pula dengan Samuel--asisten pribadi Zyan yang tak kalah terkejutnya. Ia bahkan membulatkan matanya sambil menatap Freya dari balik kaca spion tengah di dalam mobil itu. Baru kali ini ia mendapati seorang perempuan yang berani memperlakukan sang bos dengan kata kata menohoknya. Selama ini bahkan perempuan perempuan di luar sana rela melakukan apa pun bahkan nyaris melupakan harga diri mereka hanya untuk bisa naik ke atas pangkuan sang bos.
"Nyonya muda, tolong perhatikan ucapan anda." Samuel akhirnya mengambil tindakan untuk memperingatkan cara bicara Freya pada Zyan.
Zyan masih manatap Freya dengan penuh amarah, entah apa yang akan di lakukannya pada Freya setelah ini. Tapi Freya tidak peduli, ia hanya bertanya dan ingin mencari tahu jawaban yang pasti dari mulut suaminya itu.
"Kenapa, Sam? Saya hanya bertanya loh sama Tuan Muda kamu. Apa salah?" Freya balik menatap Samuel melalui kaca spion tengah itu. "Atau, kamu bisa mewakili Tuan Muda kamu untuk menjawab pertanyaanku?" sambungnya.
"Cukup Freya!" Zyan bersuara dengan nada beratnya.
Freya bisa melihat kedua tangan Zyan yang mengepal erat di atas lutut yang di jadikan tumpuan kedua tangan kekarnya itu.
"Kau ingin mendengar jawaban dariku?" Memicingkan matanya menatap Freya.
"Ya mas, tentu saja aku ingin mendengarnya."
"Tidak ada yang pantas menjadi suami dari seorang perempuan sepertimu," sahut Zyan mengucap satu per satu kata kata itu.