Sweet Sekali

1158 Words
Tangan Zyan sudah bersiap untuk melayangkan sebuah tamparan keras di wajah Freya, tapi terhenti tiba tiba. "Kenapa enggak jadi? Tampar saja mas. Tampar, ayo." Dengan lantang dan tanpa sedikit pun rasa takut Freya menyodorkan wajahnya pada Zyan, siap untuk di tampar. "Jaga bicara kamu, Freya. Jangan pernah mengatakan hal buruk tentang Mitha." Sumpah, Freya muak mendengar suaminya membela perempuan lain di depannya secara langsung. Ia menghele napas kasar dengan senyum yang tersungging. "Ya sudah, kalau gitu kamu nikahin dia, aku dengan senang hati akan mundur mas. Silahkan." "Kamu pikir a-" "Berhenti, Sam!" pinta Freya dengan nada ketus. "Jalan terus." Zyan menatap Samuel dengan tatapan tajam dari balik kaca tengah. "Aku bilang berhenti, Sam." Freya tetap pada pendiriannya, tak takut sedikit pun pada Zyan yang kini beralih menatapnya. Zyan menarik tangan Freya dengan kasar, "Jangan macam macam, Freya." Sudut alis Freya tertarik ke atas, "Berhenti Sam, atau aku akan lompat sekarang juga?" Sebelah tangannya sudah membuka jendela kaca dengan lebar, lalu menepis paksa tangannya hingga terlepas dari cengkeraman Zyan. Takut terjadi hal yang buruk pada Freya, segera Zyan memberi perintah pada Samuel. "Berhenti, Sam." Mobil terhenti secara mendadak hingga menimbulkan bunyi yang cukup mengganggu pendengaran. Segera Freya keluar dari dalam mobil, mengabaikan ancaman yang di lemparkan Zyan padanya. "Kamu akan menerima akibatnya, Freya." Rahang Zyan mengetat sempurna, terlebih saat dirinya melihat Freya menghentikan sebuah taksi dan segera masuk ke dalamnya. "Sialan!" Memukul kasar kursi bagian belakang yang sedang di duduki Samuel. *** Freya tampak termenung di dalam taksi, ingin menangis tidak mungkin karena keberadaannya saat ini yang masih di tempat umum, meski pun di dalam mobil taksi, tapi Freya tidak akan melakukan hal konyol yang bisa membuatnya malu. Entah apa yang ada di pikiran Freya, cukup lama dia terdiam. Sampai akhirnya dia bersuara. "Pak, tolong putar arah ya," pintanya, lalu mengatakan alamat yang ingin di kunjunginya. 'Aku harus buat perhitungan. Enggak bisa seperti ini terus. Kalau enggak, Mas Zyan akan selalu berbuat semena mena denganku.' Sopir taksi mengangguk, memutar arah, melajukan mobilnya hingga tiba di tempat tujuan. "Di sini bu?" tanya sopir taksi itu. Freya menganggukkan kepalanya, "Iya benar pak, sebentar." Mengeluarkan dompet dari dalam tas lalu memberikan tiga lembar uang pecahan seratus ribu pada sopir taksi tersebut. "Ini pak, enggak usah di kembalikan sisanya." "Tapi ini banyak banget bu," ucap sang sopir. Freya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, "Anggap aja rezeki tambahan dari Tuhan melalui saya untuk bapak." Lalu bergerak membuka pintu mobil. "Terimakasih banyak bu, terimakasih." "Sama sama, pak." Langkah kaki Freya melebar, memasuki bangunan tinggi menjulang yang terkenal dengan fasilitas mewah nan berkelasnya. Menaiki lift khusus, Freya telah menguatkan tekadnya untuk menemui seseorang yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Seperti benalu yang terus saja menghantui hidupnya. Freya telah tiba di lantai tertinggi bangunan itu. Tanpa harus menekan bel, Freya sudah membuka pintu sendiri. "Oh, belum berubah," gumannya. Mata Freya segera menelusuri setiap jengkal apartemen mewah milik suaminya itu. Sudah lama sekali Freya tidak menginjakkan kakinya di sana, tempat yang seharusnya menjadi surga untuknya dalam mengarungi rumah tangga bersama Zyan. Walau pun keinginan itu hanya ada di benak Freya. Seperti biasanya, apartemen itu selalu sepi jika di malam hari seperti ini, karena Bik Minah yang akan selalu pulang jam lima sore setelah menyelesaikan pekerjaannya. Bisa saja Bik Minah pulang lebih cepat dari biasanya, mengingat rumah itu di huni oleh perempuan lain yang di undang langsung oleh Tama untuk menetap di sana. Miris bukan? Sementara istri sahnya sendiri di lempar jauh ke kediaman orang tuanya. Tidak ada yang berubah sama sekali pada bangunan itu. Bahkan poto pernikahannya masih terpampang jelas di ruang tamu dan ruang keluarga. Iris hazel milik Freya menatapi rona bahagia yang terpancar dari gambar berukuran besar tersebut, ekspresinya tak terbaca. Langkah kaki Freya kini telah terhenti tepat di ujung anak tangga pertama. Tekadnya untuk menemui perempuan yang sudah menggantikan posisinya di kamar utama, sudah bulat dan mantap. Setelah menghela napas panjang, Freya kembali melangkahkan kakinya, menaiki satu persatu anak tangga dengan irama yang teratur. Kebetulan kamar tidak tertutup, Freya bahkan bisa mendengar suara yang di duga berasal dari televisi di dalam kamar itu. Benar saja dugaan Freya, dari luar pintu sudah terlihat jika televisi sedang menyala. Tampak Mitha sedang menyandar santai di sofa empuk berukuran panjang dengan kaki yang menjulur ke atas meja dan beberapa makanan yang terletak di atas meja juga. 'Cih, berlaku seperti nyonya besar di sana. Dasar enggak tahu diri,' umpat Freya dalam hati. "Ehm..." Freya berdehem, berhasil membuat Mitha menoleh padanya. Langsung saja Mitha bangkit dari duduknya, berdiri menatap Freya beberapa saat sebelum akhirnya mendekati Freya yang sudah berjalan masuk ke dalam kamar itu. "Kamu, ngapain kamu kesini?" tanya Mitha dengan tatapan tidak sukanya. Freya langsung menoleh, fokusnya pada seluruh isi kamar berpindah pada Mitha. Senyum tipis di bibir Freya tersungging kala mengingat perlakuan Mitha yang berubah tiga ratus enam puluh derajat dari sebelumnya. "Aku? Kesini?" Bola mata Freya memutar ke atas, seolah sedang berpikir. "Seingat aku, sampai saat ini aku masih jadi istri sahnya Mas Zyan deh." Mengangkat tangannya menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. "Dan, harusnya aku yang bertanya sama kamu. Kenapa kamu masih di sini? Betah banget ya nginap di kamar yang pernah aku tiduri sama Mas Zyan?" Mitha membulatkan matanya sempurna, kesal mendengar kata kata yang terlontar dari mulut Freya. "Jangan lupa, Freya. Zyan enggak mencintaimu. Dia cuma mencintai aku. Buktinya saja, sampai sekarang dia belum pernah menyentuhmu kan?" tersenyum mengejek sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Senyum Freya melebar, menampilkan barisan gigi putih bersih miliknya, dan semakin menambah kadar kecantikan alami yang di milikinya. Tawa kecil keluar dari mulut Freya, sebelah tangannya menyalipkan anak rambut ke telinga. "Emm... Ngomong ngomong soal itu. Sepertinya kamu sudah banyak tertinggal informasi, Mitha." "Apa maksud kamu? Jangan berbohong. Aku enggak akan terganggu sedikit pun dengan bualan kamu." Tak terima, Mitha berusaha menggertak Freya. Freya melangkahkan kakinya sambil tersenyum girang, berhenti tepat di sisi kasur. Meraba alas kasur yang begitu lembut, tentu alas kasur yang berbeda dari yang dulu pernah menemaninya mengenyam mimpi indah. "Sore tadi, ah... luar biasa ..." Freya menggantungkan kata katanya, menjatuhkan bokongnya di sisi kasur. Lalu menatap Mitha yang masih berdiri menegang menunggu kelanjutan serangkaian kalimat yang akan di ucapkan Freya. "Mas Zyan begitu hangat, memelukku di bawah pancuran air shower. Sweet sekali. Dan tubuh kami ... sama sama polos, seperti bayi yang baru lahir ke dunia. Oh... rasanya kami sangat enggan untuk saling melepaskan pelukan." Perempuan itu sengaja mendramatisir ceritanya, walau pun semua yang di ucapkannya adalah fakta, tapi Freya sebenarnya begitu geli untuk mengingatnya. Oh, perlu di ingat. Kalimat terakhir Freya, bukanlah seperti itu kejadiannya, dia hanya menambahkannya saja. 'Hiiih... Bahkan pelukan itu enggak sampai satu menit.' Kedua tangan Mitha mengepal sempurna, begitu pula dengan wajahnya yang di penuhi amarah membara. 'Sial! Zyan saja enggak pernah melakukan hal seperti itu denganku,' batinnya. Mitha tampak percaya dengan kata kata Freya, walau pun sekeras mungkin mulutnya berkata tidak percaya. "Apa mau mu, Freya? Zyan hanya milikku." Freya tertawa puas, kedua bahunya bahkan bergetar hebat. "Ayo buat kesepakatan denganku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD