Setelah Gista mengancam untuk Freya untuk meliburkannya dari segala kegiatan, di sinilah Freya berada, di ranjang pesakitan salah satu rumah sakit swasta dengan jarum infus yang terpasang di punggung tangannya.
Walau pun hanya beberapa jam ke depan saja ia berada di sana, tetap saja Freya merasa di anggap jika dirinya terlalu lemah oleh managernya sekaligus sahabat baiknya itu.
Sebelumnya Gista berniat untuk menghubungi suami sang artis untuk memberi kabar keberadaan Freya saat ini, tapi karena melihat Freya yang memohon dengan sangat untuk tidak di beberkan pada siapa pun mengenai kondisinya saat ini dengan alasan tak ingin membuat Zyan panik karena baru pulang dari luar kota. Mau tidak mau Gista mengalah. Kini hanya ada dirinya berdua Freya saja.
"Yakin kan enggak ada wartawan di luar sana?" tanya Freya khawatir.
"Aman, tenang saja. Sudah, istirahat sana. Kalau enggak, aku pastiin kamu bakal nginap ntar malam," ancam Gista lagi.
Freya hanya berdehem, tapi mata dan tangannya masih terpokus pada benda pipih berbentuk persegi panjang di tangannya, berselancar di akun media sosial miliknya untuk melihat aktivitas yang di bagikan beberapa artis luar negeri yang menjadi idolanya.
Tak sengaja Freya melihat postingan dari sang suami yang menunjukkan gambar beberapa tangkai Bunga Daisy berwarna putih dengan caption, 'You' dan dibubuhi emoticon love di sebelahnya.
Jika saja postingan itu di tujukan untuknya, tentu Freya akan menjadi istri yang paling bahagia saat itu. Merasa di cintai sepenuh hati. Bagaimana tidak, makna yang terkandung dari Bunga Daisy tersebut adalah kesuciaan, kesetiaan dan kebahagiaan yang mewakili perasaan cinta. Freya tahu jika postingan itu di peruntukkan untuk Mitha, bukan dirinya.
"Istirahat, Freya. Bukan main handphone." Gista mengambil paksa benda pipih itu dari tangan Freya.
"Eh, ta-"
"Tidur Freya, pejamkan mata kamu. Aku mau ke bawah dulu cari makanan. Nanti aku minta perawat yang jaga kamu sebentar." Memasukkan handphone Freya ke dalam tasnya, lalu berjalan keluar kamar.
Freya hanya menghela napas lesu, dan memilih patuh dengan perintah sang manager padanya.
Tak butuh waktu lama untuk perempuan itu memejamkan matanya, Freya sudah akan bergabung ke alam mimpi. Tapi, tiba tiba saja ia merasa jika wajahnya terasa hangat. Sayangnya mata Freya enggan terbuka hanya untuk memastikan apa yang sedang di alaminya itu dan justru semakin merasa nyaman di alam mimpinya.
***
"Dua hari kedepan istirahat yang cukup di rumah. Aku sudah atur semua jadwal syuting. Jangan bandel dan rutin minum vitamin dari dokter." Gista mengingatkan Freya. Sore ini Freya sudah di perbolehkan pulang setelah melakukan perawatan hampir delapan jam lamanya di rumah sakit tersebut.
"Aku bukan anak kecil lagi, tahu kok apa yang harus aku lakuin," gerutu Freya.
"Nah itu tahu, tapi kenapa juga masih sok kuat?" tanya Gista sekenanya. Keduanya kini telah berada di dalam mobil untuk pulang. Gista ngotot untuk mengantarkan Freya sampai rumah. Ia tak mau jika sang artis keluyuran di lokasi syuting dalam kondisi yang seperti ini.
"Hey, aku memang kuat. I'm a wonder women." Mengangkat kedua tangannya yang terkepal sambil menunjukkan lengannya yang tak berotot sama sekali.
Gista terkekeh melihat gerakan tangan Freya tersebut, lalu memukul pelan lengan sahabatnya. "Sok kuat ah, padahal hatinya lagi sesak tuh."
Entah apa maksud dari ucapan Gista itu, apa dia mengetahui masalah yang tengah terjadi pada Freya saat ini? Atau dia hanya asal bicara saja? Entahlah Freya tak ingin menerka nerka.
Setibanya di rumah, Freya langsung memasang wajah ceria. Wajahnya yang pucat telah tertutupi dengan make up yang sengaja di pakainya sebelum keluar dari rumah sakit tadi.
Sepi, tak tampak sang mertua yang biasanya akan duduk santai di ruang keluarga sore sore seperti ini. Hanya pelayan rumah tangga yang menyapanya. Syukurlah, kalau begitu ia akan terhindar dari kecurigaan sang mertua.
Begitu pula di dalam kamarnya. Tidak ada tanda tanda keberadaan Zyan. Jadi Freya bisa dengan leluasa untuk beristirahat. Tapi sayang sekali, dugaan Freya meleset. Dari arah balkon, muncul Zyan yang masih menggunakan setelan rapi tiga potong lengkap dengan dasi di yang melingkari kerah bajunya, menunjukkan ekspresi tidak sukanya pada Freya.
"Freya, Freya, Freya..." Bertepuk tangan dengan sudut alis yang terangkat ke atas. Lalu menutup pintu yang terhubung dengan balkon menggunakan kakinya.
Hening, Freya tidak menyahut. Ia lebih memilih untuk menunggu kata kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut Zyan.
"Perfect. Akting yang luar biasa." Berhenti tepat di hadapan Freya.
"Maksud kamu?" tanya Freya mulai tak tahan.
Senyum Zyan mengembang lengkap dengan tatapan tajamnya pada Freya. "Berpura pura sakit demi mendapatkan perhatian mama dan Jericho. Untuk apa? Sengaja supaya aku bisa pulang dan tidur sama kamu?"
"Pura pura apa mas? Aku beneran sakit, lagi pula aku enggak tahu kalau bakalan sakit setelah pulang dari apartemen kamu." Membela diri. "Kamu jangan sembarang nuduh," sambungnya.
"Jangan berkilah kamu. Enggak ada orang sakit bisa keluyuran dari pagi sampai sekarang. Bahkan kamu pergi sebelum aku bangun." Zyan tak melepaskan sedikit pun tatapan mematikannya pada iris hazel Freya.
Sudah lah, sepanjang apa pun Freya menjelaskan tetap saja Zyan tidak akan percaya padanya. Hanya buang buang waktu saja. Lagi pula Freya masih butuh istirahat, demi tubuhnya sendiri. Setidaknya ia harus sehat untuk berdebat kembali dengan sang suami selama satu tahun lebih ke depan.
"Terserah kamu." Berniat untuk melangkahkan kembali kakinya, tapi pergelangan tangannya langsung di tarik oleh Zyan dengan kuat hingga membuatnya sedikit meringis menahan sakit.
"Apaan sih mas, sakit," ucap Freya.
"Dari mana kamu seharian ini?" tanya Zyan dengan rahang mengetat.
"Syuting," sahutnya asal tak berniat untuk memberi tahu kebenarannya pada Zyan.
Laki laki berparas tampan dengan sejuta pesona itu menampilkan seringai licik di wajahnya, lalu mengangkat ke atas tangan Freya yang terus berontak. "Dari mana?" Teriaknya tertahan. Sungguh, Freya benar benar tak melihat sedikit pun cinta di mata Zyan untuknya.
Karena terlanjur sakit, Freya bahkan mengabaikan punggung tangannya yang sedikit bengkak akibat jarum infus yang sempat tertusuk di sana. "Apa alasan kamu bertanya seperti itu?" tanyanya dengan senyum getir di wajahnya.
"Aku suamimu. Tanpa alasan pun aku berhak tahu kemana kamu pergi."
"Suami seperti apa yang menghabiskan malamnya dengan perempuan lain yang enggak punya ikatan apa pun." Freya menaikkan suaranya dengan tatapan yang tak kalah tajam.
"Beraninya kamu!" Semakin mengeratkan cengkeramannya di pergelangan tangan Freya.
Sontak Freya meringis, wajahnya terlihat jelas sedang merasakan sakit yang teramat, sambil menggerakkan pelan tangannya dengan sisa sisa tenaga.
"Argh, lepasin. Sakit." Sebelah tangannya bergerak mengelus punggung tangannya yang bengkak.
Mata Zyan mengikuti pergerakan tangan Freya, ia mendapati warna kebiruan serta plaster luka yang menempel di punggung tangan sang istri. "Kamu ... Ini ke-"
"Bukan urusan kamu," ucap Freya lirih sambil menarik tangannya hingga terlepas dari cengkeraman Zyan, lalu berjalan masuk ke kamar mandi dan membanting kasar pintu kaca yang menjadi pembatas.
Zyan terdiam dengan dahi yang berkerut, seolah berpikir keras dengan apa yang baru saja ia lihat. Jika benar dugaan Zyan, seharusnya itu bekas jarum infus.
Sementara Freya di dalam kamar mandi langsung menghidupkan kran air dengan deras untuk menyamarkan suaranya yang kini telah berubah menjadi isakan tangis.
"Setidaknya beri aku ketenangan dengan sikap kamu mas," gumannya di iringi isakan tangis.