Kelab Malam

1240 Words
Tama memukulkan stik ke atas beberapa bagian drum yang mengeluarkan suara berbeda secara bergantian. Kaki pria itu juga menghentak-hentak pedal drum. Dengan dua telinga tertutup headset, kepala sang drummer bergerak-gerak mengikuti hentakan stik di tangannya. Rambutnya yang sudah cukup panjang bergerak. Sesekali sebagian helainya menutup wajah pria tersebut. Keringat yang sudah mulai banyak, membuat wajah dengan kulit yang cukup bersih itu mengkilat. Kaos putih pas badan yang dipakai, menempel sempurna di tubuhnya. Tama sudah berganti kaos, ketika kaos yang ia kenakan saat datang--terasa lengket oleh keringat. Otot-otot lengan yang tidak seberapa besar terlihat jelas saat sang drummer memainkan tongkat kesayangan di tangannya. Sepasang mata elang Tama menyorot ke depan. Dua bibir pria itu terkatup rapat. Hanya bola mata yang mengedar menyaksikkan orang-orang yang sedang menikmati tampilan band nya. Beberapa saat pria itu masih menggerakkan stik di tangannya sampai kemudian tiba pada alunan akhir lagu yang dibawakan oleh salah satu sahabatnya. Tama mengakhiri tampilannya dengan memutar stik di tangan hingga membuat banyak wanita yang menyaksikan menjerit histeris. “Tambah lagi!” “Iya … satu kali kali!” Teriakan beberapa orang yang meminta band nya kembali beraksi tidak mengurungkan niat Tama melepas headset, lalu turun dari kursi di balik satu set drum yang menutupi sebagian tubuhnya. Pria itu menoleh, lalu mengedik kepala saat tiga temannya menatap ke arahnya. Ketiganya kemudian ikut meninggalkan tempat itu—berjalan mengikuti Tama. “Yah … kenapa udahan? Padahal asyik loh.” “Iya … ayo, satu lagu lagi, dong!” “Lo nggak dengar permintaan penggemar kalian, Tam? Main nyelonong pergi aja.” Dion menghadang langkah Tama dan tiga temannya. “Kontrak kita cuma 5 lagu, Dion. Lo lupa?” “Astaga … kita bisa ngobrolin fee nya di belakang. Gue juga pasti tahu lah, lo mau dapat bayaran lebih.” Dion berdecak. Hanya masalah kecil yang seharusnya bisa mereka bicarakan. “Udah … sana, balik lagi.” Dion mencoba memutar tubuh Tama agar pria itu kembali ke panggung. Tama menarik napas dalam lalu menghembuskan perlahan. “Nggak. Kita ada acara di tempat lain. Lo pikir cuma tempat ini yang mau bayar kami?” Tama menoleh ke arah tiga temannya. Ketiganya langsung mengangguk membenarkan. “Lo kenapa sensitif banget sih, Tam? Lo lagi butuh hiburan? Lo bisa gabung tuh sama Rendra di atas. Dia bawa tiga cewek.” Tama yang sudah akan memutar tubuh, urung--begitu mendengar Dion menyebut nama Rendra. Pria itu mengembalikan fokus ke arah sang pemilik tempat hiburan malam tersebut. “Rendra? Dia ada di sini?” Dion mengangguk membenarkan. “Dia bilang lagi pusing … butuh hiburan.” “Bangs*t memang orang satu itu,” kata Tama yang langsung membuat Dion menaikkan sebelah alis. “Jangan bilang lo sekarang iri sama dia. Salah lo sendiri.” Dion menyahut. Tama berdecak. “Siapa yang iri? Gue nikmatin hidup gue yang seperti ini. Gue bisa ngelakuin apa yang gue suka. Gue bisa gebuk drum,” kata Tama yang tidak terima dengan sindiran Dion. Tama mengedarkan mata. Napas pria itu terhembus perlahan. “Beneran lo nggak iri lihat dia pakai jas … sementara elo—” Dion kemudian memperhatikan penampilan Tama dari atas hingga bawah. Sepasang bibir pria itu berkerut dengan dua alis terangkat. “Gue nggak bakalan cocok pakai jas.” Lalu Tama memutar kepala. “Yuk, cabut.” Tama memberi kode tiga temannya dengan kedikan kepala. Dia tidak peduli pada Rendra. Iri? Hah ... dia tidak akan iri dengan kehidupan pria itu. Apalah arti jas kalau dia terkekang. “Eh, Tam … beneran lo nggak mau gabung sama Rendra? Doi pasti kesulitan tuh ngurusin tiga cewek. Bantuin sana.” Dion masih tidak beralih dari posisi berdiri di depan Tama. Pria itu menggulir bola mata ke atas ketika bertemu tatap dengan Tama—seolah menunjukkan di mana tempat Rendra sedang bersenang-senang sekarang. “Ogah. Nggak ada urusannya sama gue.” Lalu Tama mengedik bahu. “Bukan cewek murahan kelas gue, Bro,” tambah Tama sambil tersenyum miring. Sepasang mata pria itu sedikit mengecil dari ukuran normal. “Elah … lo kira gue cuma punya cewek begituan? Gue juga punya yang masih ori. Tuh yang sekarang lagi ada di ruangan si Rendra. Ada anak baru yang kepepet butuh duit.” Dion berujar panjang lebar. “Tam, bukannya lo bilang si Rendra lagi dijodohin sama orang tuanya?” Barry—si pemain gitar menoleh ke arah Tama. Melihat anggukan kepala Tama, Barry menambahkan. “Kali aja Rendra nggak suka sama cewek yang dijodohin sama orang tuanya. Mungkin dia mau bawa tuh cewek ori.” Lalu pria itu terkekeh sendiri. “Gila aja kalau Rendra sampai ngambil cewek dari tempat kayak gini.” Tama memperlihatkan wajah ngeri. "Lo kenapa sih ngehina gue terus, Tam? Lo tadi ngehina cewek-cewek gue, sekarang lo ngehina tempat gue. Apa salah tempat ini, Bro? Lo juga cari cuan di tempat gue.” Dion mencebik ke arah Tama. “Lagian, nih cewek beda. Dia beneran masih ori. Dia cewek baik-baik. Kalau memang Rendra kecantol sama tuh cewek, nggak ada salahnya.” “Mana ada cewek baik-baik kerja di tempat ini? Lo pikir gue buta?” Lalu Tama kembali memutar kepala. “Tuh … liat cewek elo itu.” Tama mengedik ke arah satu sisi ruangan tersebut, hingga Dion dan yang lainnya ikut memperhatikan tempat yang sama. “Apa cewek kayak gitu bisa dibilang cewek baik-baik?” Tama mendengkus sambil menatap jijik ke arah satu pasangan yang sedang saling melumat bibir. Sang wanita yang merupakan pekerja di tempat milik Dion, duduk dipangkuan si pria yang sedang mencari hiburan. "Bilang sama gue ... itu yang lo bilang cewek baik-baik?" Tama melirik Dion yang masih belum mengalihkan pandangan mata dari tempat semua. Dion mendesah. "Gue sudah bilang kalau yang di atas, yang lagi sama Rendra beda. Dia baru malam ini datang ke kelab. Dia cewek baik-baik." "Omong kosong. Cewek baik-baik bakalan milih kerja keras buat dapetin duit. Bukan kerja seperti itu." Tama kembali mengedik ke arah beberapa pekerja Dion yang sedang merayu para pria mata keranjang. Dion hanya bisa menghembus keras napasnya. Susah bicara dengan Tama. *** Sementara di dalam sebuah ruangan VIP—Naira mengedip begitu mendengar permintaan dari pria yang belum dia ketahui namanya. Jari-jari tangan yang terjalin di depan tubuh, kembali saling meremas. “Puaskan aku.” Kalimat itu kembali terngiang di telinga Naira. d**a wanita itu bergerak ke atas, lalu berhenti beberapa detik sebelum kemudian bergerak turun. “Tunggu apa lagi? Kamu mau uangnya atau enggak? “Um ….” Naira gugup. Menggulir bola mata hingga bertemu tatap dengan pria itu, Naira menelan susah payah salivanya. “Ak-a-aku … bukan … pelacur.” Akhirnya Naira memberanikan diri untuk bersuara. Tangannya sudah berkeringat. Sepertinya dia tidak akan sanggup untuk melakukannya. Dua bahu wanita terjatuh saat membayangkan keluarganya besok harus keluar dari rumah kontrakan itu, karena dia tidak akan bisa membayar uang kontrakan. Naira menggelengkan kepala. “Maaf … aku … nggak bisa.” Pria yang duduk di sofa tersenyum sementara sepasang matanya menahan pergerakan bola mata Naira. “Memangnya keperawananmu harganya cuma 15 juta?” “Hah?” Naira mengedip. Dia tidak mengerti dengan pertanyaan yang baru saja terlontar untuknya. Sepasang alis yang tidak terlalu tebal itu bergerak. Sorot sepasang mata Naira memperlihatkan kebingungan sang pemilik. "Aku dengar dari Dion kamu masih ... perawan. Apa informasi itu salah?" Naira buru-buru menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia memang masih perawan di usia yang sudah 26 tahun, dan dia bangga akan hal itu. "Lima belas juta?" “Semurah itu harga keperawananmu ... Naira?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD