Naira duduk dengan punggung tegak. Wanita itu merapatkan kedua kaki. Rok span yang dipakainya tersingkap ke atas hingga hanya menutup sedikit pahanya. Naira mengatur napas. Wanita itu berdoa dalam hati agar malam ini segera berakhir. Oh … padahal mulai pun belum. Naira mengeluh dalam hati. Dari ruangan tertutup tempatnya menunggu saat ini, suara dentum musik di lantai bawah masih terdengar—meskipun tentu saja tidak sekeras ketika dia berada di lantai satu.
Tamu yang Naira tunggu pun belum datang. Olif mengatakan jika orang yang akan datang kali ini adalah tamu spesial kelab. Jantung Naira bergedup semakin kencang. Seperti apa tamu spesial itu? Apakah pria dengan kepala botak dan perut buncit? Ataukah pria yang sudah lanjut usia? Hanya dua kemungkinan itu yang sekarang ada di dalam kepala Naira mengingat perkataan Olif jika orang yang akan menjadi tamunya itu adalah orang besar. Orang yang memiliki pengaruh dan tentu saja kekayaan berlimpah. Orang yang tidak akan merasa berat hanya untuk mengeluarkan uang 15 juta jika merasa puas.
Mengingat kata puas, Naira merinding. Olif sudah mengajarkan apa yang harus dia lakukan ketika menemani orang itu. Napas Naira mulai terhela kasar saat merasa panik. Wanita itu kembali berusaha mengatur napasnya. Mengingatkan pada dirinya sendiri akan tujuannya berada di tempat tersebut. Naira meremas dua telapak tangan yang berada di atas pangkuan. Dia mulai merasa ada sesuatu yang bergerak di punggungnya. Dari atas turun perlahan. Sumpah … Naira benar-benar tegang.
Daun pintu terdorong dari luar tanpa ada suara ketukan terlebih dahulu. Naira yang sedang menenangkan diri, terkejut. Buru-buru Naira berdiri dari sofa empuk yang ditempatinya selama hampir setengah jam dia menunggu. Naira menarik dalam-dalam napasnya, lalu memaksa sepasang bibir yang malam ini berwarna merah darah, melengkung ke atas.
Sepasang mata Naira mengedip, lalu senyum yang sudah diusahakan selebar mungkin itu perlahan mulai pudar--ketika melihat seorang pria dengan pakaian ala bos melangkah masuk. Bukan. Bukan karena pria yang masuk itu jelek, atau tua atau berkepala botak dan berperut buncit yang membuat senyum Naila pudar, tapi, karena pria itu masuk tidak hanya sendiri.
Bola mata Naira bergeser. Wanita itu kemudian menelan ludahnya susah payah, sebelum menurunkan pandangan mata—memperhatikan penampilannya. Naira menghembuskan napas pelan. Sepertinya, harapannya pun harus pupus. Jangankan 15 juta, 10 juta pun tidak akan bisa didapatnya. Dia bukan saingan dua wanita cantik jelita dengan tubuh bak gitar spanyol. Memiliki bagian tubuh yang besar di beberapa tempat yang tepat. Seperti kata Olif, senjata mereka selain paras adalah d**a dan p****t. Naira putus asa. Dalam hati dia menyerah. Lebih baik dia pergi daripada hanya akan dipermalukan. Naira menarik langkah meninggalkan sofa.
“Mau ke mana?”
Suara bariton itu membuat kepala Naira yang masih tertunduk, perlahan terangkat. Naira mengerjap bingung.
“Jangan diam kalau ditanya. Kamu nggak bisu, kan?”
Naira mengalihkan tatapan mata ke arah seorang wanita cantik berpakaian seksi yang baru saja mengeluarkan suara. “Ti-tidak.”
“Kalau gitu, dijawab. Jangan malah plonga-plongo kayak orang bodoh.” Wanita lainnya ikut membuka suara.
Naira kembali menelan salivanya. Naira mengikuti pergerakan tiga orang yang baru saja masuk tersebut hingga mereka duduk di sofa dengan posisi sang pria berada di tengah. Diapit dua perempuan yang memakai pakaian super mini hingga memperlihatkan nyaris setengah aset di d**a mereka. Naira merinding melihat bagaimana dua wanita itu langsung beraksi—persis seperti apa yang diajarkan Olif padanya. Tangan mereka mulai berselancar di tubuh sang tamu. Tersenyum dengan jenis senyum yang Olif bilang senyum m***m. Tanpa sadar, Naira meringis saat membayangkan dirinya yang melakukan semua itu. Oh … Naira tidak yakin akan bisa melakukannya.
“Ngapain masih berdiri di situ? Kamu … Naira, kan?”
Naira dengan cepat menggulir bola mata ke arah suara bariton yang kembali terdengar. Kelopak mata Naira bergerak tertutup lalu terbuka. “I-iya. Sa-saya Naira.”
“Nggak usah pakai bahasa formal. Kamu nggak lagi kerja di kantor.”
Naira buru-buru menggerakkan kepala turun naik. Wanita itu membasahi bibir yang kering dengan lidahnya. Naira menatap pria yang kini sedang menerima gelas berkaki yang baru saja diisi oleh salah satu wanita yang duduk di sebelahnya. Pria itu membawa gelas ke mulut, sementara sepasang matanya masih memperhatikan Naira.
Merasa diperhatikan, Naira menurunkan kepala. Wanita itu sudah pasrah sekalipun setelah ini akan diusir. Toh dia sebenarnya sudah sadar jika tempatnya tidak di sini. Dia sudah akan pergi sebelum tertahan.
“Kemarilah. Isi gelasku.”
Naira kembali mengangkat kepala. Dua tangan wanita itu masih terjalin di depan tubuh. Pria yang duduk di sofa mendesah, lalu memberi kode dengan kedikan kepala agar Naira segera melakukan apa yang diperintahkannya. Naira bisa mendengar suara decakan.
“Dasar lambat. Darimana sih Dion dapat perempuan kampungan seperti ini?”
Naira mengayun langkah. Tangan yang terjalin di depan tubuh teremas kuat untuk menghilangkan getaran yang muncul tiba-tiba.
“Iya … lagaknya kayak masih suci aja.”
“Mana ada perempuan suci kerja kayak kita.”
“Bisa kalian diam?”
Dua perempuan yang semula sedang memperbincangkan Naira langsung menutup kedua belah bibirnya rapat-rapat, meskipun ekspresi wajahnya terlihat kesal.
Naira berhenti melangkah setelah tiba di depan meja setinggi kurang lebih setengah meter. Wanita itu kemudian menurunkan tubuh, lalu menggunakan dua lutut untuk menumpu tubuhnya di lantai.
Suasana di dalam ruangan itu mendadak hening karena tiga orang yang sama-sama duduk di sofa panjang itu diam dengan sepasang mata menatap ke depan. Ke arah Naira yang kini sudah meraih botol di atas meja, kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas berkaki milik sang tamu.
“Silahkan.” Naira mengangkat wajah. Netra wanita itu mengedip saat menyadari tatapan tiga orang di depannya. Mulutnya terbuka, lalu kembali tertutup. Naira mengernyit saat bertemu tatap dengan dua perempuan pekerja kelab.
Dua perempuan itu menatap syok pekerja baru di tempat mereka bekerja. Bagaimana tidak? Naira membuang kesempatan merayu sang tamu. Wanita itu seharusnya hanya perlu membungkuk di depan tamunya untuk menuangkan isi botol ke dalam gelas, hingga dadanya terlihat. Supaya sang tamu tergoda lalu meminta pelayanan lainnya. Supaya sang tamu membuka dompetnya.
“Dasar bodoh,” gumam salah seorang wanita yang duduk di sofa.
“Kalian berdua, keluarlah.”
Bukan hanya dua perempuan yang duduk mengapit seorang pria dengan potongan rambut cepak itu yang langsung menoleh ke arah pemilik suara bariton. Begitupun Naira. Wanita itu mengembalikan fokus sepasang matanya pada pria di depannya. Pria tampan dengan tubuh yang jelas terawat. Dia bisa membayangkan tubuh berotot di balik setelan jas yang membungkusnya. Ya … pria yang dipromosikan Olif sebagai pria istimewa karena memiliki nama besar dan juga banyak uang itu, ternyata memang seistimewa itu.
“A-Apa?”
Naira kembali menggeser bola mata ke samping karena refleks. Dia bisa melihat wajah kesal wanita penghibur tersebut.
“Kenapa kami harus keluar?” Wanita lainnya mulai meraih sebelah lengan sang tamu, kemudian memeluknya dengan manja. Naira yang melihat hanya bisa menahan ringisan. “Kita bisa bersenang-senang bersama.”
“Iya, benar. Seperti biasanya. Kami akan memuaskanmu.” Wanita itu tersenyum sambil menatap menggoda sang tamu.
“Nggak malam ini. Pergilah.” Pria itu kembali mengusir dua perempuan yang menempelinya seperti ulat. Bola mata pria itu bergerak ke kiri—melirik tajam perempuan yang seketika langsung melepas pelukan tangannya. Setelahnya, bola mata itu bergerak bergantian arah. Sama seperti perempuan penghibur yang duduk di sebelah kirinya, perempuan dengan rambut panjang yang duduk di sebelah kanannya juga langsung berhenti mengelus lengannya. Pria itu mengedik kepala ke arah pintu yang masih tertutup.
“Jangan khawatir. Kalian akan tetap dapat bayaran.”
“Beneran?” Dua wanita itu langsung bertanya. Begitu melihat gerakan kepala turun naik dari orang yang ditanya—senyum sumringah langsung menghiasi wajah keduanya setelah beranjak dari sofa.
“Makasih, Sayang. Kami akan selalu menunggumu,” kata salah satu wanita sebelum memberikan ciuman jauh pada sang pria. Wanita itu tersenyum sekali lagi, lalu memutar tubuh—berjalan meninggalkan sofa bersama satu temannya.
Naira memutar kepala mengikuti pergerakan dua perempuan pekerja kelab malam itu dengan mulut sedikit terbuka saat melihat bagaimana mereka berdua menggerakkan p****t mereka yang sudah berukuran besar itu. “Wow ….” Tanpa sadar Naira berucap sambil menggelengkan kepala. Wanita itu memutar kepala saat mendengar suara kekehan.
“A-ada apa?” tanya bingung Naira. “Oh … apa … aku juga harus keluar?” Naira buru-buru berdiri dari tempatnya berlutut.
Pria itu berdecak. “Lalu siapa yang akan membuatku senang kalau kamu ikutan pergi?” Sepasang mata pria mengecil saat kedua bibirnya terkulum. “Katakan, apa yang bisa kamu lakukan untuk membuatku puas?” tanya pria itu sambil mengangkat sebelah alis.
“Kamu butuh uang 15 juta, bukan?”
Naira menutup mulut yang semula terbuka. Wanita itu menelan susah payah salivanya. Melihat alis terangkat dan juga sorot mata pria di depannya, Naira menganggukkan kepala.
“Mau kamu pakai apa uang itu?” Pria itu kemudian mendorong punggung ke depan, lalu tangan kanannya meraih gelas berkaki. Sambil menegakkan kembali punggungnya, pria itu membawa tepi gelas ke sela bibir. Dia sudah akan mendorong ke atas tangkai gelas, sebelum gerakan tangannya terhenti saat mendengar jawaban Naira.
“Membayar kontrakan rumah keluargaku.” Naira memberanikan diri menatap sepasang mata tajam di depannya. Wanita itu menarik napas dalam, lalu menghembuskan perlahan. Sepasang matanya terasa panas saat mengingat dia harus melakukan hal memalukan ini demi keluarganya.
Sementara pria yang duduk di sofa menurunkan tangannya. Sepasang mata pria itu menatap dalam bola mata perempuan di depannya yang kini sudah berkaca. Sepasang rahangnya tertekan kuat. 15 juta untuk bayar kontrakan? Kontrakan seperti apa dengan harga 15 juta yang bisa di dapat di ibu kota sekarang ini? Apa perempuan ini sedang berbohong?
Naira menarik napasnya, lalu menghembuskan perlahan. Sekali lagi wanita itu menelan ludahnya. Sepasang bibir yang beberapa saat terakhir tertutup rapat, mulai kembali terbuka. “Ap-apa yang harus kulakukan supaya kamu mau memberikan uang itu padaku?”
Sesaat kemudian suasana di dalam ruangan itu terasa begitu dingin ketika dua orang berlawanan jenis yang menghuni tempat itu sama-sama diam. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga nyaris satu menit kemudian, sang pria menjawab.
“Puaskan aku.”