Naira berdiri di depan meja perawat. Sebelum berangkat ke rumah makan, dia ingin memastikan ibunya mendapat kamar di kelas tiga. Naira berkali-kali mengatur napas. Dia masih menunggu seorang perawat yang sedang membantunya mengkonfirmasi pada pihak terkait. Tangan Naira yang terjalin di atas meja—teremas perlahan. Sesekali napas wanita itu terhembus kuat. Ada rasa cemas yang menyusup begitu saja. “Bagaimana, Sus?” tanya Naira dengan raut wajah cemas. Kedua mata wanita itu berkedip. Melihat anggukan kepala sang perawat, Naira menghembuskan napas lega. Ekspresi wajah wanita itu berubah seketika. “Syukurlah.” “Bukan saya nggak sayang ibu saya, Sus. Tapi saya mau pakai logika saja dari pada nanti saya nggak bisa bayar rumah sakit.” “Kenapa nggak pakai BP*S saja?” Naira menelan ludah. Pert