Seorang pria berusia dua puluh empat tahunan itu berjalan melangkah menuju tempat hingar bingar yang dipenuhi oleh lautan manusia, sepatu mahalnya berderit dengan lantai meskipun teredam oleh suara musik.
Hiruk pikuk serta gemerlapnya lampu seolah tidak mempedulikan keadaan gelapnya malam diluar sana, sorak sorai dan juga pinggul yang bergerak kesana kemari menari-nari diirngi dengan lagu yang memeningkan kepala bagi siapapun yang jarang mendengarnya. Ramainya tempat itu tidak menjadi penghalang bagi siapa saja yang berniat menginjakkan kaki disana, semua tertawa lepas diselingi oleh gurauan dan halusinasi.
Langkah kaki yang mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilat tidak bisa meredam hiruk pikuknya keadaan sekitar, kemeja mahal yang melekat tepat didada bidang menambah kesan maskulin dan juga gagah. Wanita-wanita yang berdiri disekitar jalannya mulai menggoda, tapi ia tepis dengan kasar.
Mata elang itu meyapu lorong-lorong yang mulai redup, kanan kirinya terdapat pintu kamar berjejeran, yang tentu saja dikhususkan untuk mereka yang ingin menikmati cinta satu malamya. Namun, kali ini bukan hal tersebut tujuannya.
Kini kaki-kaki itu menelusuri anak tangga yang akan membawanya ke sebuah ruangan khusus, atau yang biasa disebut kelas vvip. Raut wajahnya datar tanpa menunjukkan eskpresi apapun, pekerja yang mengenal sempat menyapanya, tapi pria itu sama sekali tak berminat menyapa balik.
Sebuah pintu besar bercat abu-abu sudah terlihat didepan mata, tangannya menarik tuas dan langsung mendorongnya. Ruangan yang tadinya cukup ramai langsung sepi seketika, suara-suara itu terdiam seolah menyapa orang yang baru saja datang.
Salah seorang pria yang duduk disofa mulai bangkit dari duduknya, melepaskan tangan-tangan wanita yang bergelayut mnja dilengannya, ia tersenyum menyambut kedatangan sekutunya.
“Wahh, Johan Zachari akhirnya memunculkan batang hidungnya juga.” Pria itu terkekeh pelan, mendekati pria yang bernama Johan itu.
Johan mengabaikan sapaan pria tersebut, ia lebih memilih duduk disofa, tapi lagi-lagi ada yang mengganggunya. Wanita yang dibayar pria tadi mulai menggoda Johan, sedangkan ia langsung menggeram marah dan menatap tajam wanita-wanita itu. Sontak mereka mengendurkan eratan tangannya, mulai ketakutan oleh ekspresi Johan yang sekarang.
“Danial, singkirkan manusia murahan ini.” Johan berkata tanpa melirik mereka sama sekali, sedangkan wanita-wanita itu menyebikkan bibir kesal karena diabaikan.
Danial, orang yang diminta oleh Johan pun akhirnya mengusir wanita bayarannya. Yah, meskipun ia merasa rugi karena telah membayar mahal dan berakhir sia-sia. Namun, perintah Johan adalah titah yang mutlak dan tak dapat diganggu gugat.
Setelah kepergian tiga wanita itu, Danial duduk tepat disamping Johan, ekspresi pria itu kini mmenunjukkan sebuah guratan tanda tanya ketika melihat sahabatnya sedang berdiam diri tak biasanya seperti ini.
Johan melirik ke depan tanpa ekspresi apapun, ia sendiri juga bingung entah kenapa akhir-akhir ini pikirannya terasa runyam dan merasa bahwa ia telah melakukan kesalahan. Memangnya kesalahan apa yang telah dilakukan olehnya? Johan tak merasa bersalah atas apapun.
Tapi tiba-tiba saja sekelumit bayangan tentang Aleya muncul, anak dari musuh bebuyutan Johan. Kepalanya berdenyut nyeri memikirkan kejadian malam itu, seharusnya Johan merasa senang karena telah berhasil menghancurkan masa depan gadis itu. Ahh bukan, ia sudah menjadi wanita.
“Jo, ada apa?” Danial menyentak bahu Johan dengan keras, membuat sang empunya tersadar dan langsung menatap Danial dengan tajam karena merasa terganggu.
Danial menyengir kuda, ia bisa melihat guratan kecemasan diwajah Johan, sahabat karibnya.
Tadinya Johan berpikir bahwa menemui Danial dan pergi ke klub bisa menjernihkan pikirannya barang sejenak, tapi yang ada ia malah bertambah kacau. Mengapa putaran-putaran tangisan dan teriakan suara Aleya terngiang dipikirannya, Johan menepuk-nepuk kepalanya dengan kasar.
“Dani, ambilkan aku segelas.” Ujarnya.
Dengan sigap Danial menuangkan air memabukkan itu pada gelas, lalu memberikannya pada Johan. Jika seperti ini Johan memang lebih suka menjernihkan pikirannya dengan alcohol, dibanding bermain wanita.
Dengan sekali teguk Johan mampu menghabiskan minuman itu tanpa sisa, ia menghela napas kasar lalu meletakkan punggungnya pada kepala sofa. Matanya menatap langit-langit plafon yang Nampak berbinar diterpa lampu.
“Aku sudah berhasil membalasnya,” ujarnya pada Danial yang tidak mengerti apa maksud pria itu.
“Maksudmu?” Danial mengerutkan dahinya, ia sangsi apakah Johan sudah mabuk sekarang? Toh pria itu sangat kuat dalam meminum alcohol, apalagi Cuma segelas saja.
“Wanita itu, anak dari sialan Hartono sudah ku hancurkan masa depannya.” Johan tertawa sinis, ia bahkan sudah mulai cegukan.
Danial terdiam, bukan bermaksud mengabaikan Johan tapi pria itu memikirkan hal lain. Sejujurnya Danial sudah sering kali berkata pada Johan untuk mengurungkan niat jahatnya itu, karena bagaimanapun Aleya tidak mengetahui permasalahan yang dilakukan sang ayah, terlebih masalah yang terjadi menimpa keluarga Johan belum diketahui kejelasannya. Danial hanya takut jika Johan salah sasaran dan malah membalas dendam pada orang yang salah, Danial tahu jika Aleya adalah gadis yang baik-baik, karena Danial pernah menjadi senior gadis itu di sekolah menengah atas.
“Kenapa diam? Terkejut ya, hahaha.” Johan tertawa kesetanan, dan Danial yakin jika Johan sekarang sudah mabuk berat.
Danial tidak menyangka jika seorang Johan mampu mabuk dengan minuman segelas itu, apakah Johan sedang mempunyai masalah? Pikir Danial dalam hati.
Danial sudah lama menjadi sahabat dari Johan, pria itu tahu dengan detail tentang pribadi Johan. Johan tidak akan semengerikan ini jika tidak sedang memikirkan suatu masalah, kelemahan Johan adalah ketika ia memiliki pikiran-pikiran buruk dalam otaknya, dan itu membuat pria tersebut menggila dan lebih cepat untuk mabuk.
Menyapu wajah dengan kasar, Danial mengembuskan napas lelah.
“Jo, tidak seharusnya kamu melampiaskan kesalahan Hartono pada anaknya, gadis itu tidak mengetahui apapun.” Lagi, Danial mencoba menasehati Johan meski sia-sia, karena Johan telah terlanjur melakukannya.
Johan mengangkat jari telunjuknya, “sstttt… diamlah, Dani. Kamu tidak tahu apapun tentang permasalahan keluargaku dengan Hartono, dan gadis itu pantas menerima semua dendamku. Oh ya, menurutmu bagaimana reaksi Hartono ketika mengetahui bahwa anak gadisnya telah ternoda?”
Danial menggelengkan kepala dengan pelan, dendam Johan pada keluarga itu sungguh besar. Dani sendiri tidak menyangka bahwa Johan akan senekat ini, sejujurnya jika boleh Danial berkata bahwa Johan sungguh keterlaluan.
“Hahh.. Mengapa dirimu tidak seseru biasanya sih?” Johan mulai meracau. Lihat saja efek alcohol segelas itu dengan cepat merayap ke pikiran Johan hingga pria itu mulai terlimbung limbung tubuhnya.
Danial mencoba menopang tubuh kekar Johan, pria itu kualahan saat Johan tersungkur ke meja depan dan memukul-mukul kayu itu tanpa ampun.
“Arghh sialan! Kenapa aku tidak merasa puas setelah melakukannya, kenapa?” Johan merebahkan tubuhnya pada sofa, jari-jarinya membentuk pola tak kasat mata dialngit-langit atasnya. Sesekali pria itu cegukan dan tertawa sendiri, membuat Danial merasa ngeri.
Entahlah apa yang sedang terjadi pada Johan, beberapa hari setelah melakukan tindakan jahatnya ia malah merasa kepikiran terus menerus, seolah-olah Johan telah bersalah karena melakukan suatu yang jahat. Pikiran Johan sangat runyam, ia dihantui oleh wajah dan tangisan Aleya malam itu.
“Ugh!” Johan menekan mulutnya kuat-kuat, perutnya bergejolak meminta untuk dimuntahkan isinya.
Danial yang melihat hal itu langsung mengambil tempat sampah atau apapun itu agar Johan tidak mengotori lantai, yah walaupun para pelayan klub tidak akan berani memarahi si tuan bos Johan tersebut. Johan adalah orang yang berpengaruh, pria itu memiliki kuasa dan ha katas apapun.
Danial menggeser tong sampah yang terbuat dari bahan plastic, lalu menaruhnya tepat dibawah kaki Johan yang menggantung.
“Sudahlah Jo, lupakan kebencianmu pada anak dari Hartono. Aku tahu betul seluk beluk tentangmu, dirimu tidak akan mudah mabuk hanya dengan segelas alcohol. Tapi apa ini? Kamu pasti sedang memikirkan wanita itu, dia yang sekarang ada didalam kepalamu kan.”
“Diamlah, Dani. Ucapanmu sama sekali tidak membantuku, aku datang kemari untuk bersenang-senang, bukan untuk mendengar nasehat murahanmu itu.” Tukas Johan sembari memegangi kepalanya yang terasa pening, ia menormalkan pernapasannya yang sempat memburu.
Danial terdiam, percuma saja memberi tahu Johan yang keras kepala itu.
Sedangkan Johan sendiri mulai bangkit dari duduknya, ia berjalan dengan sempoyongan. Hal itu membuat Danial turut berdiri, pria itu menghampiri Johan untuk memganginya. Namun, Johan segera menepis tangan Danial, membuat sang empunya melongo tak percaya. Danial mendengus, dalam hati ia menyumpah serapah Johan sebagai sahabat yang kurang ajar!
“Tidak usah sok peduli padaku. Minggir! Jangan halangi jalanku.” Ujar Johan menepis tubuh Danial yang terasa menutup jalannya. Dengan segera Danial menggeserkan tubuhnya, tapi ia tidak tega jika harus membiarkan Johan berkendara dengan situasi seperti itu.
“Jo, akan ku antar pulang.” Danial mencekal lengan Johan, tapi lagi-lagi ditepisnya.
“Aku tidak butuh bantuanmu, menyingkir.” Kali ini Johan bertindak lebih kasar, terlebih kepalanya masih berdenyut nyeri dan bahkan semakin menjadi. Johan hanya ingin segera pulang ke rumahnya, menidurkan tubuhnya agar segar keesokan harinya.
Danial menghela napas, ia langsung menjauh dari posisi Johan. Biar saja pria itu pulang sendirian, Danial tidak peduli lagi pada sahabat tak tahu diuntung seperti Johan tersebut.
Dengan perjuangan sepenuh tenaga akhirnya Johan membuka pintu ruangan, ia menatap keluar yang dipenuhi oleh lorong. Ia berjalan diantara lorong itu dengan tubuh sempoyongan, bahkan orang-orang yang sempat berpapasan dengannya pun dibuat heran. Terlebih mereka tidak mau berurusan dengan pria kejam seperti Johan, nama Johan Zachari terkenal dikalangan public atas karena sifat arogan dan semena-mena. johan bukanlah manusia ramah meskipun hanya untuk berbasa basi, Johan adalah pria yang kejam, bengis, dan juga seenak maunya.
Kakinya sudah berhasil keluar dari lorong, kini Johan harus melewati ruangan luas yang digunakan sebagai lantai dansa, setelahnya baru Johan bisa menemukan kendaraannya di parkiran.
“Arghh, ayolah sebentar lagi sampai, kepala sialan!” Johan memukul-mukul kepalanya yang pening lebih menjadi, tatkala ia menatap gerlapnya lampu warna warni yang mengganggu penglihatannya. Suara musik dan teriakan manusia-manusia ‘lapar’ terdengar keras, bahkan seolah berlawanan dengan malam yang suram.
Dengan berpegangan pada tembok, Johan merayap pelan-pelan untuk berjalan. Sebenarnya ada beberapa orang yang ingin membantunya, salah satunya adalah barista klub, tapi pandangan tak bersahabat milik Johan membuat nyalinya ciut.
Jangan lupakan bahwa Johan tidak menyukai dirinya terlihat lemah dihadapan orang lain, terlebih orang yang kelasnya jauh dibawah dirinya. Ya, Johan tergolong pria yang sombong.
Dengan susah payah Johan kembali melanjutkan langkahnya, akhirnya ia bisa menemukan parkiran. Johan merogoh kunci mobilnya dalam saku, segera Johan membuka pintu dan memasuki kendaraannya. Pria itu menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan pelan.
Kepalanya ia sandarkan pada jok, lalu memejamkan mata dengan sejenak. Beberapa detik setelahnya Johan membuka mata dengan terkejut, lagi-lagi kilasan malam itu menghadiri pikirannya.
“SIALAN! WANITA k*****t ITU.” Johan menggebrak stir kemudi, kepalanya semakin panas.
Dengan sekali sentakan, Johan menggas mobilnya dengan kecepatan penuh. Ia tidak mempedulikan umpatan orang-orang yang hampir tertabrak mobilnya, Johan hanya ingin melampiaskan kekesalannya dan membuat pikiran tentang Aleya musnah.
Tak jauh dari parkiran tersebut, seseorang tersenyum miring melihat kepergian Johan yang berkendara dengan ugal-ugalan, tangannya saling menggenggam erat disertai gemelatuk gigi yang menahan amarah.
Bising suara serta umpatan masih terdengar, mereka tidak tahu saja bahwa orang yang ada didalam kendaraan itu adalah Johan Zachari, si manusia arogan.
Jalanan sangat sepi dibandinding malam-malam biasanya, mengingat ini bukanlah hari libur atau sejenisnya. Keadaan itu semakin membuat Johan puas, ia menginjak pedal gas kuat-kuat dan mencengkram erat kemudi.
Johan merasa marah, entah pada siapa dank arena apa. Tiba-tiba saja hatinya bergemuruh, dan juga ia merasa was-was, cemas, khawatir.
“Ada apa dengan diriku ini, argh sialan!”
Ditikungan depan sana, truk pengangkat pasir sedang melintas dijalan turunan, sementara Johan yang masih sibuk dengan pikirannya pun tidak sadar bahwa ia sedang menaiki tanjakan dengan posisi kecepatan ekstra.
“Hahh..” Johan mendesah kasar, kepalanya terangkat ke depan sembari menatap jalanan yang mulai naik. Matanya memburam karena kabut tipis menghalangi pandangannya, pria itu mencoba mengerjabkan mata tapi setelahnya ia membelalakkan matanya.
“s**t!” umpatnya. Johan segera menarik tuas rem dengan cepat, tapi gagal.
Bibirnya menggeram marah, remnya tidak berfungsi. Sedangkan didepan sana truk pengangkut pasir telah melaju dengan kencang dan juga tepat ke arahnya, Johan mengerem kuat-kuat pun percuma.
Jarak antara mobilnya dan truk tersebut semakin dekat, dari sini Johan tahu bahwa truk itu menargetkan dirinya.
Dengan perasaan berkecamuk, akhirnya Johan memilih banting stir ke arah kanan yang berbatasan dengan garis jalan. Tidak ada acara lain, ia tidak mungkin memakan umpan dari musuh yang telah mengincarnya. Johan tidak meau mengambil resiko dengan tetap melajukan mobilnya hingga bisa bertubrukan dengan truk pengangkut pasir itu.
BRAK..
Kendaraan beroda empat itu menabrak pembatas jalan dengan keras, kecelakaan tak bisa dihindarkan. Mobil milik Johan berguling-guling dijalanan, bahkan sebagian lagi ada yang hancur menyisakan puing-puing. Sedangkan sang pemilik sedang mengerang kesakitan, tubuhnya terasa remuk, ia terjepit diantara stir dan jok, Johan mengerjapkan mata sayunya.
Paha dan betisnya yang tertusuk oleh pecahan kaca terlihat menganga mengalirkan darah, tangan kirinya juga menekan stir kemudi kuat-kuat dan juga menopang tubuhnya.
Suara sirine mobil polisi dan ambulan terdengar dari kejauhan, karena pria itu memasang alat khusus dan deteksi jika sewaktu-waktu ada kejadian yang tidak diinginkan. Dengan cepat anak buah pria itu bisa mendeteksi keberadaan sang majikan, dan menyusulnya.
Dengan perlahan mata Johan mulai terpejam, kali ini ia merasa damai dan tak memiliki beban. Bibirnya sedikit tertarik untuk mengulas senyuman, kali ini ia menerima dengan sukarela ketika otaknya memproses wajah ayu milik Aleya. Ya, Johan melihat Aleya di alam bawah sadarnya.