8

1734 Words
Hari demi hari telah berlalu. kini Aleya dan Renata sudah saling mengenal dekat, Renata pun mulai terbuka dengan Aleya, keduanya bagai kakak dan adik yang akrab walaupun tidak sedarah. Renata menepati janjinya untuk membantu Aleya dalam mengelola toko, bahkan Renata lebih cekatan dari Aleya sendiri. Tak jarang Renata juga melakukan pekerjaan rumah, Aleya malah menjadi segan jika Renata melakukan itu semua, tapi Renata meyakinkan Aleya bahwa dirinya menikmati kegiatannya selama berada di rumah Aleya. Seperti saat ini Aleya dan Renata baru saja membuka toko, terlihat Renata sedang mendorong pintu untuk terbuka sepenuhnya. “Leya, nanti biar aku saja yang pergi ke tengkulak, kasihan perut kamu sudah mulai membuncit.” Renata menggerakkan lehernya yang terasa kebas. Renata sudah berkata bahwa mulai saat ini ia yang akan pergi mengkulak bunga, itu karena demi keselamatan Aleya, Renata tidak mau menanggung hal-hal buruk yang akan terjadi jika nantinya Aleya kenapa-apa dijalan. “Yahh, Mbak Renata. Aku kan juga mau jalan-jalan menghirup udara segar, sekalian ke tengkulak gitu.” Aleya menekuk bibirnya masam. “Nanti setelah kamu lahiran boleh jalan-jalan sepuasnya, fokus ke kehamilan kamu aja dulu.” Terkadang Renata tak habis pikir dengan Aleya yang masih bisa aktif, perutnya sudah membesar bagaikan hamil lima bulan, padahal Aleya baru mengandung selama tiga bulan ini. “Tapi kan – Ugh, hoek.” Aleya tidak melanjutkan ucapannya, ia mendekap mulutnya yang ingin mengeluarkan sesuatu, buru-buru Aleya berlari ke toilet. Sedangkan Renata menyusulnya dibelakang, dengan sigap wanita itu memegangi helaian rambut Aleya yang terasa mengganggu. “Kan sudah ku bilang, kamu istirahat saja Leya.” Renata membantu Aleya bangkit dari bersimpuhnya. Meski kandungan Aleya sudah masuk difase trisemester pertama yang akhir, ia amsih merasakan mual, sepertinya anaknya ini terlalu aktif didalam sana. Dan Aleya belum memeriksakan kandungannya lagi sejak hampir dua bulan yang lalu, Aleya berusaha berdiri dengan dibantu oleh Renata, keduanya berjalan menuju sofa. Renata berjalan dengan sigap menuju dapur, wanita itu membuatkan teh jahe untuk Aleya demi mengurangi rasa mualnya. Renata bagaikan seorang kakak dan ibu bagi Aleya, wanita itu tulus menyayangi Aleya, selain karena ia memiliki hutang budi pada Aleya, Renata juga merasa memiliki keluarga baru yang baik hati. Aleya mendapati Renata yang tengah membawa nampan dan segelas teh jahe hangat untuknya, jika seperti ini Aleya merasa enggan, ia telah menyusahkan Renata. Asal tahu saja, Aleya menampung Renata di rumahnya dengan tulus, ia tidak meminta Renata untuk memegang kendali rumah, tapi dasarnya Renata yang aktif mengerjakan semua pekerjaan rumah, bahkan tak membiarkan Aleya untuk bergerak memegang sapu barang sedikit saja. “Mbak Renata tidak perlu susah payah membuatkan aku teh, kasihan Mbak Renata capek.” Aleya merasa tak enak hati, ia berujar dengan serius. Pasalnya semua pekerjaan telah di handle oleh wanita itu. Dipagi hari Renata akan menyiapkan sarapan, membuka toko dan juga sorenya akan menyapu dan mengepel lantai. Renata menghela napas kasar, dilihatnya wanita itu duduk disamping Aleya yang sedang meminum minumannya. “Leya, sebelum ini bahkan keluargaku tidak menganggapku ada. Mereka hanya memanfaatku untuk menjadi mesin penghasil uang untuknya, jujur saja meskipun begitu aku sangat menyayangi mereka. Orangtuaku selalu mendekte agar aku bisa menjadi orang kaya ataupun menikah dengan pria kaya, rasa sayang yang mereka berikan padaku semata-mata agar aku bisa menghasilkan uang bagi mereka.” Renata menatap ke depan dengan wajah teduh, ia memutar kembali memori dalam pikirannya. “…. Menikah dengan Mas Pram adalah sebuah hal yang ditentang oleh keluargaku, Mas Pram dulunya adalah pria yang tidak berpunya. Orangtuaku bersikeras memisahkan kita, pada akhirnya aku dan Mas Pram pun menikah dengan tanpa restu orangtua. Pernikahan kita sudah berjalan cukup lama, dan aku belum dikaruniai momongan, sedangkan Mas Pram sendiri sudah mulai bangkit ekonominya. Masalah demi masalah pun mulai bermunculan, Mas Pram berbalik menghina orangtuaku ketika dirinya sudah jaya, terlebih aku yang belum bisa memberinya keturunan, mulai saat itu keretakan hubungan semakin parah. Puncaknya adalah saat Mas Pram berselingkuh dengan wanita lain, bahkan ia membawa wanita itu ke rumah tanpa rasa segan.” Renata menjeda kalimatnya dengan wajah yang mulai memerah menahan tangis, Aleya mengusap bahu wanita itu dengan pelan. “Sudah, Mbak, jangan diteruskan jika tidak kuat.” Ya, selama ini Renata belum menceritakan detil kehidupannya, dan baru sekarang ia menceritakan semuanya tanpa terkecuali. “Tidak apa, Leya. Kamu berhak tahu, lagipula ku harap kamu bisa mengambil hikmah dari pengalamanku ini, jangan menjadi wanita bodoh karena cinta sepertiku, aku sangat bodoh, sangat-sangat bodoh, Leya!” “Sesaat setelah ia membawa selingkuhannya itu, aku mencoba untuk bersabar dan memulai semuanya dari awal. Aku dan Mas Pram akhirnya pindah ke rumah digang sebelah, tapi ternyata kehidupan tak semulus yang aku duga. Wanita itu kembali menggoda suamiku, dan entah apa yang ia katakan sehingga Mas Pram berniat menceraikanku dan mengusirku dari rumah itu.” Renata mengelap air matanya dengan kasar, ia mencoba untuk tegar. Aleya diam mendengarkan cerita Renata dengan baik, benar saja ia bisa mengambil hikmah dari kejadian yang Renata alami. Kehidupan rumah tangga akan selalu menemui masalah, entah kecil ataupun besar, semua pasangan suami istri pasti akan diuji, untuk hasilnya semua tergantung pada para pasangan yang menyikapinya. Entah mereka akan kembali berdamai dan saling berkasih serta menguatkan, atau memilih untuk saling berpisah. “Maka dari itu aku sangat memperhatikan kandunganmu Leya, aku tahu bahwa aku tidak akan bisa merasakan nikmat kehamilan dan mengandung, dan sebagai penebusnya aku ingin menjaga anakmu dengan baik. Aku tidak bisa menjadi seorang Ibu, tapi aku bisa berusaha menjadi Bibi dari anakmu. Kamu beruntung Leya, kamu diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk mengandung, sayangi anakmu dengan tulus, bahkan jika nyawa menjadi taruhannya, tetaplah berjuang untuk anakmu.” Renata mengulas senyumnya, walau ada kegetiran didalamnya. Hati Aleya mencelos, ia tak tahu persis bagaimana rasanya menjadi Renata. Seorang wanita yang tidak bisa memiliki momongan, Aleya menggelengkan kepala pelan ikut prihatin atas kehidupan Renata. “Mbak Renata, terimakasih sudah berbagi pengalaman dan nasehatmu, aku sangat merasa bersyukur dengan kehidupanku ini.” Jika mengingat ide kejinya beberapa waktu lalu, rasanya Aleya benar-benar menjadi wanita jahat. Bagaimana mungkin ia sempat berniat membunuh kandungannya, darah dagingnya sendiri. Aleya menyesal, untung saja pikiran jahat itu tidak terlaksana. Jika iya, maka Aleya akan menyesal sampai seumur hidupnya, dan ia bahkan rela mati demi menebusnya. “Istirahat yang cukup, jangan kecapean, oke?!” Renata mengulas senyumnya dengan sedikit tawa disana, wanita itu mudah menutupi kesedihan hatinya beberapa saat lalu. Aleya menganggukkan kepala, “tapi rasanya aku menginginkan sesuatu.” “Menyidam, lagi?” tanya Renata sembari berdecak pelan. Memang selama tiga bulan berturut-turut ini Aleya sering menyidam sesuatu, dan Renata selalu sigap membantu wanita hamil itu. “Hehehe, iya.” Aleya meringis pelan. “Omong-omong, jika dilihat-lihat sepertinya kamu mengandung bayi kembar.” Renata menatap perut Aleya yang cukup membuncit besar. Dulu Renata sering membaca buku-buku terkait kehamilan, wanita itu setia membaca semua artikel yang berkaitan dengan bayi-bayi lucu. Bagaimana ciri-ciri kehamilan, apa saja yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan, bahkan cara posisi tidur yang baik. Semua telah Renata pelajari ilmunya, sayang sekali ia belum memiliki kesempatan untuk mempraktekkannya secara nyata. Pada kenyataannya Renata memang tidak bisa mengandung. Kalimat ‘mandul’ selalu terngiang-ngiang dikepalanya, membuat Renata harus menelan pil kesedihan. Aleya mengendikkan bahu, “aku tidak tahu, tapi sepertinya Mbak Renata benar. Entah berhubungan atau tidak, beberapa hari lalu aku bermimpi bertemu dua anak-anak, yang satu cowok dan satunya perempuan.” “Lusa kita akan ke klinik, cek kandunganmu! Dan sekarang, apa permintaan keponakanku ini hmm?” “Aku menginginkan rujak, buahnya harus ada mangga muda, bengkuang, pepaya dan juga mentimun.” Aleya menatap Renata dengan puppy eyes andalannya, membuat Renata memutar bola mata jengah. “Tanpa menatapku seperti itu aku akan membuatkan permintaanmu, Nyonya Aleya.” Aleya terkekeh keras. “Hahaha, iya deh iya.” “Dan kabar baiknya.. semua bahan tersebut sudah tersedia dikulkas, tinggal membuat bumbunya saja.” Renata tersenyum membanggakan diri, karena ia sudah hapal dengan Aleya yang menyukai buah-buahan selama kehamilan ini, alhasil wanita itu berinisiatif menyetok buah dikulkas. Aleya menjentikkan jarinya, “siap, ayo ku bantu membuat bumbunya.” “Eitss…. Tunggu dulu, kamu duduk aja disini, biar aku yang bikin.” Renata langsung menyegat langkah Aleya yang hendak pergi ke dapur, membuat Aleya mendengus masam. “Oh ayolah, aku hanya ingin melihat saja kalau begitu.” Tukas Aleya setelahnya. “Oke, deal,” jawab Renata. Akhirnya Renata dan Aleya sedang berkutat di dapur, Aleya duduk menonton Renata yang sedang mengulek bumbu. Renata dengan cekatan membuat bumbu dan mengiris buah-buahan yang ada, wanita itu sangat handal dalam urusan dapur. Karena merasa bosan, alhasil Aleya memilih merangkai bunga mawar kesukaannya, ia merangkainya menjadi buket yang indah sembari menunggu rujak Renata jadi. Dapur minimalis dengan meja makan yang berada ditengah dan juga letak yang rapi membuat ruangan Aleya terlihat indah, Aleya menyukai kerapihan dalam rumahnya. Beberapa perabotan ada yang ditaruh dalam rak lemari, Aleya sebenarnya jarang memasak hal yang sulit, ia terbiasa makan apa adanya. Namun, semenjak kedatangan Renata, wanita itu menyulap dapur Aleya penuh dengan aneka masakan beraneka ragam, dan itu juga yang menjadi salah satu alasan naiknya berat badan Aleya, selain dari mengandung. Renata sering membuatkan ia berbagai jenis makanan, setiap hari menu yang dimasak akan berbeda. Renata sangat lihai dalam urusan dapur, kepiawaiannya jauh diatas Aleya, tentu saja karena ia pernah berpengalaman menjadi istri dalam rumah tangganya dulu. “Ohh ya, ku pikir-pikir apa tidak sebaiknya kita meminta agar tengkulak yang mengantarkan bunga ke toko saja?” Tanya Renata yang memecah keheningan, karena Aleya sibuk memasang pita pada buket karyanya. “Hmm kenapa?” Renata meletakkan cobeknya, menggerakkan lehernya yang terasa pegal. “Tokomu semakin banyak pengunjung dan pasti kita tidak bisa meninggalkan begitu saja untuk mengkulak dagangan, lagipula jika kamu melahirkan nanti pastinya akan lebih sibuk. Lebih baik kita minta saja agar mereka yang mengantarkan bunga-bunga kemari, jadi kita tidak usah bersusah payah bepergian.” Usul Renata, Aleya mengangguk paham. Benar juga apa yang dikatakan Renata bahwa nantinya Aleya pasti akan disibukkan mengurus bayinya, jika Renata yang pergi ke tengkulak maka Aleya tidak akan tega membiarkan wanita itu semakin keletihan. “Mbak benar! Ya sudah besok aku akan meminta mereka yang mengantar.” Final Aleya. Renata menyodorkan sebaskom buah-buahan dan juga sepiring kecil bumbu rujak, Aleya menatap makanan itu dengan pandangan berapi-api, diteguknya ludah dengan susah payah, itu benar-benar menggiurkan. Aleya langsung mengambil sepotong manga muda dan tak lupa mencocolnya pada bumbu rujak, rasa asam, manis dan sedikit pedas melumer ke dalam mulutnya. “Nyamm nikmat, sungguh ini enak sekali.” Aleya berbinar sembari menatap sang koki. “……. tapi sayangnya kurang pedas,” tambahnya dengan nada memelas. Renata menggelengkan kepala, “itu sudah level terpedas bagi Ibu hamil, yang penting enak kan?” “Huum memang enak, sedap dan nikmat.” Aleya melanjutkan sesi makannya, ia tidak berhenti mengunyah sampai titik buah penghabisan, membuat Renata geleng-geleng kepala. Ya, seperti itu lah nafsu ibu hamil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD